Pernahkah kamu merasa seperti ini? Kamu berjuang keras, diam-diam menyelesaikan banyak hal, mengupayakan banyak kebaikan, mencoba menjadi versi terbaik dari dirimu... tapi semua itu dianggap biasa.
Tidak terlihat, tidak dihitung, bahkan tidak dianggap sebagai pencapaian. Lalu saat kamu sedikit saja terpeleset atau salah langkah, reaksi orang-orang langsung tajam seperti pisau, "Kamu tuh selalu begitu." "Makanya dari awal jangan sok." "Kok gak bisa sih?".
Menyakitkan, bukan?
Banyak orang menjalani hari dengan luka-luka semacam ini, yang tak terlihat. Mereka tak meminta pujian, hanya ingin dihargai. Tapi dunia terlalu sibuk menyoroti kesalahan, dan terlalu pelit memberikan apresiasi.
Entah dalam keluarga, lingkungan kerja, pertemanan, atau hubungan asmara. Semua bisa jadi tempat yang kejam bagi mereka yang sebenarnya sedang berjuang.
Dan inilah saatnya kita belajar untuk tidak menjadi salah satu dari orang-orang kejam itu.
Keluarga: Tempat Paling Dekat, Tapi Kadang Juga Paling Dingin
Lucunya, rumah yang katanya tempat pulang justru sering jadi tempat paling menyakitkan. Anak-anak yang belajar keras, membantu di rumah, mengatur emosi, menahan tangis, menyimpan kecewa, tapi dianggap biasa. Tidak diberi pelukan, tidak diberi "terima kasih", tidak diberi "aku bangga sama kamu".
Namun, ketika sedikit saja melakukan kesalahan? Nada tinggi, hukuman, dan sindiran datang seolah itu membatalkan semua kebaikan sebelumnya.
Padahal, anak-anak bukan robot. Mereka punya perasaan. Mereka tumbuh dengan memori siapa yang memeluk mereka, siapa yang membentak mereka. Dan percaya atau tidak, kurangnya apresiasi di rumah bisa jadi akar dari krisis kepercayaan diri di masa dewasa.