Kamu Menyelamatkan Seseorang dari Kesepian, Tapi Saat Kamu Kesepian, Siapa yang Menyelamatkanmu?
Hari ini aku duduk sendirian di kamar, memeluk lututku sambil menatap dinding kosong. Tak ada suara, tak ada notifikasi, tak ada siapa-siapa. Hanya aku dan detak jantung yang terasa lebih keras karena sunyi yang begitu menekan dada. Aku menangis tanpa suara, bukan karena ingin diperhatikan, tapi karena aku bahkan tak tahu kepada siapa aku boleh menangis.
Aku pernah menyelamatkan seseorang dari kesepian.
Dia datang padaku, hancur, pecah, penuh luka yang tak bisa dia jelaskan. Aku tak banyak bertanya, aku hanya mendengarkan. Aku tidak menyuruhnya cepat bangkit, aku tidak memaksanya berhenti menangis. Aku duduk di sebelahnya, menemaninya dalam diam, membiarkan dia merasa diterima dalam bentuk paling hancur sekalipun. Lama kelamaan, dia mulai tertawa lagi. Dia bilang aku adalah rumah. Tempatnya kembali setelah dunia terlalu bising dan hidup terlalu menyesakkan.
Aku bahagia, sungguh. Rasanya seperti aku berguna. Seperti kehadiranku berarti. Aku mencintai proses itu. Mencintai bagaimana seseorang yang tadinya patah, pelan-pelan bisa berdiri lagi karena tahu ada seseorang di sisinya. Tapi hari ini, aku sadar satu hal.
Saat aku yang kesepian, tak ada yang datang duduk di sebelahku.
Aku menghabiskan banyak waktu jadi pelipur lara orang lain, tapi siapa pelipur laraku?. Aku jadi tempat curhat, tapi kemana aku harus curhat saat aku kelelahan jadi kuat?. Aku dibilang penyayang, sabar, menenangkan, tapi siapa yang menenangkan aku?. Siapa yang bilang ke aku, "Gak apa-apa, kamu boleh capek. Aku di sini kok."
Ada malam-malam di mana aku berharap seseorang menyadari aku juga manusia. Bahwa aku juga punya hari buruk, juga butuh pelukan, juga ingin dimengerti tanpa harus menjelaskan panjang lebar. Aku ingin didengarkan tanpa dijadikan beban. Aku ingin menjadi lemah tanpa takut ditinggal.
Tapi nyatanya, tidak banyak orang yang benar-benar bertanya "Apa kamu baik-baik saja?" bukan karena basa-basi. Mereka tahu aku kuat. Atau mungkin, mereka hanya terbiasa melihatku jadi yang paling kuat.
Itu beban yang aneh. Karena semakin kamu terlihat mampu, makin banyak yang bergantung padamu. Tapi siapa yang kamu sandari?
Aku menulis ini buat kamu yang mungkin sedang baca dan merasa hal yang sama.
Yang selalu ada buat orang lain, tapi tak tahu harus kemana saat jiwamu sendiri runtuh. Yang bisa menguatkan banyak hati, tapi hatimu sendiri kosong dan tak terisi. Aku tahu rasanya. Aku tahu rasanya tersenyum sambil mati-matian menahan tangis. Aku tahu rasanya tetap hadir untuk orang lain, padahal kamu sendiri berharap ada yang hadir untukmu.
Aku ingin kamu tahu... kamu tidak salah karena jadi baik. Kamu tidak bodoh karena terus peduli. Kamu luar biasa, bahkan kalau kamu tidak pernah diberi ucapan terima kasih.
Tapi kamu juga pantas dicintai, kamu juga pantas ditemani. Dan jika sekarang kamu belum punya siapa-siapa yang benar-benar melihatmu, aku berharap suatu hari akan ada seseorang yang mencarimu, bukan karena butuh ditolong, tapi karena ingin tahu, "Apakah kamu benar-benar bahagia, atau kamu hanya pandai berpura-pura?".
Aku menulis ini bukan untuk minta dikasihani, aku menulis ini supaya kamu tahu kamu tidak sendiri. Kalau kamu sedang sendirian sekarang, anggap ini pelukan hangat dariku, dari satu jiwa kesepian kepada jiwa kesepian lainnya.
Kita pernah menyelamatkan banyak orang. Semoga suatu hari nanti, akan ada yang menyelamatkan kita juga. Bukan karena kita butuh bantuan, tapi karena akhirnya ada yang melihat kita, benar-benar melihat kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI