Mohon tunggu...
Hilma Nuraeni
Hilma Nuraeni Mohon Tunggu... Content Writer

INFP-T/INFJ Book, nature, classical music, and poem🍁 Me and my writing against the world 🌼

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Ingin Sekuat Ibu, Tapi Tidak Ingin Bernasib Sama

27 Mei 2025   11:50 Diperbarui: 27 Mei 2025   11:48 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Pexel/ Olly)

Ingin Sekuat Ibu, Tapi Tidak Ingin Bernasib Sama

Di era saat ini, semakin banyak perempuan yang merasa takut untuk menikah. Bukan karena kehilangan harapan akan cinta, tetapi karena mereka menyimpan luka yang diwariskan secara diam-diam oleh kehidupan ibu mereka. Fenomena ini layak diperbincangkan dengan cara yang mendalam dan menyentuh hati, bukan untuk menyalahkan, melainkan untuk menyadarkan. Berikut adalah beberapa poin penting yang dapat menjelaskan mengapa seorang perempuan bisa berkata, "Aku ingin sekuat Ibu, tapi aku tidak ingin bernasib sama."

Anak Laki-Laki Mengagumi Kekuatan, Anak Perempuan Mewarisi Luka

Anak laki-laki cenderung melihat ibunya sebagai sosok yang luar biasa. Mereka menyaksikan ibunya memasak, mengurus rumah, menghibur ayahnya, merawat anak-anak tanpa lelah dan tetap tersenyum. Dari situ mereka belajar bahwa cinta adalah pengorbanan, dan perempuan hebat adalah yang tahan banting.

Sebaliknya, anak perempuan bukan hanya melihat tindakan ibunya, tapi juga merasakan emosinya. Mereka melihat air mata yang disembunyikan, luka yang ditutupi, dan kelelahan yang dipaksa dibungkus tawa. Karena perempuan tahu rasanya menjadi perempuan, mereka tahu bahwa itu bukan kekuatan semata, tapi keterpaksaan yang dibungkus cinta.

Standar yang Dibanggakan vs Trauma yang Diwariskan

Ketika seorang laki-laki tumbuh dengan ibu yang 'tahan banting', ia cenderung menjadikan itu sebagai standar, "Aku ingin istri yang seperti Ibu." Ia tidak sadar bahwa ketangguhan yang ia banggakan lahir dari situasi yang berat, bahkan menyakitkan.

Sementara anak perempuan menyimpan kekhawatiran dalam hati, "Jangan-jangan nanti aku juga harus menahan semuanya sendirian seperti Ibu." Ini bukan keinginan untuk menjadi lemah. Justru sebaliknya, mereka ingin menciptakan hidup yang lebih sehat, lebih manusiawi, di mana cinta tidak identik dengan mengorbankan diri.

Kuat Bukan Berarti Harus Menderita

Banyak perempuan muda kini menyadari bahwa kekuatan tidak harus lahir dari penderitaan. Mereka ingin kuat seperti ibu mereka, tapi tidak ingin ditempa dengan cara yang sama, dicaci, diabaikan, dibebani, dan dianggap harus selalu sanggup.

Ketakutan terhadap pernikahan seringkali muncul bukan karena tidak percaya pada cinta, tapi karena mereka tidak percaya pada sistem yang membuat perempuan hanya diberi satu pilihan, bertahan. Mereka ingin menikah, tapi tidak ingin kehilangan jati diri. Mereka ingin mencintai, tapi tidak ingin dipaksa bertahan dalam ketimpangan.

Kehadiran Ayah dalam Narasi Ini

Artikel ini bukan tentang menyalahkan laki-laki. Banyak ayah yang juga berjuang, banyak suami yang baik. Tapi tak bisa dipungkiri, sebagian besar ibu harus bekerja lebih keras secara emosional, fisik, dan mental karena pasangannya abai atau tidak hadir.

Narasi tentang "ibu yang kuat" harus disandingkan dengan kesadaran tentang peran ayah yang adil. Jika laki-laki mengagumi ibunya, maka bentuk penghargaan terbaik adalah tidak mewariskan luka yang sama pada istri dan anak-anaknya kelak.

Indonesia kini dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat fatherless tertinggi di dunia, di mana banyak anak tumbuh tanpa kehadiran atau keterlibatan emosional dari sosok ayah. Bukan hanya karena perceraian atau kematian, tapi juga karena budaya yang menempatkan ayah hanya sebagai pencari nafkah, bukan pengasuh. Akibatnya, banyak anak kehilangan sosok teladan, pendamping, dan pelindung dalam masa tumbuh kembangnya. Fenomena ini tak bisa dianggap sepele, karena dampaknya menjalar ke rasa percaya diri, perilaku sosial, hingga pola relasi di masa depan. Sudah saatnya kita mengubah pandangan bahwa peran ayah hanya sebatas hadir di meja makan, karena anak butuh lebih dari sekadar nama di kartu keluarga.

Menghormati Ibu Tidak Sama dengan Meniru Jalan Hidupnya

Menghindari nasib seperti ibu bukan berarti tidak menghargai perjuangannya. Justru karena kita sangat mencintai ibu, kita tidak ingin luka itu terus berulang. Kita ingin kehidupan yang lebih adil, agar perempuan tidak harus kuat karena tidak punya pilihan.

Anak perempuan yang takut menikah bukanlah pengecut. Mereka adalah pemikir. Mereka ingin pernikahan yang tumbuh bersama, bukan hubungan yang menuntut salah satu pihak untuk terus mengalah.

Pencerahan untuk Anak Laki-Laki dan Perempuan

Untuk anak laki-laki: jika kamu mengagumi ibumu, pastikan pasanganmu nanti tidak harus menjalani beban yang sama. Jadilah laki-laki yang mencintai tanpa menyuruh bertahan, yang membantu tanpa diminta, dan yang sadar bahwa kekuatan perempuan tidak boleh dieksploitasi.

Untuk anak perempuan: kamu tidak salah karena takut. Kamu boleh memilih lebih baik. Kamu boleh menikah dengan hati-hati, dan kamu berhak bahagia tanpa harus melalui jalan berduri yang pernah ditempuh ibumu. Jangan merasa bersalah karena ingin hidup yang lebih damai, lebih terasa ringan dipundak.

Warisan Terindah dari Seorang Ibu

Ibu yang baik tidak ingin anaknya mengulangi hidupnya. Ibu ingin anaknya hidup lebih tenang, lebih sehat, dan lebih dihargai. Maka jika hari ini kamu berkata, "Aku ingin sekuat Ibu, tapi tidak ingin bernasib sama," ketahuilah bahwa itu bukan bentuk pemberontakan. Itu adalah bentuk cinta yang dewasa.

Cinta yang tidak ingin mengulang luka. Cinta yang ingin mengubah arah. Dan cinta yang tidak menjadikan penderitaan sebagai warisan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun