Mohon tunggu...
Hilma Nuraeni
Hilma Nuraeni Mohon Tunggu... Content Writer

INFP-T/INFJ Book, nature, classical music, and poem🍁 Me and my writing against the world 🌼

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Ingin Sekuat Ibu, Tapi Tidak Ingin Bernasib Sama

27 Mei 2025   11:50 Diperbarui: 27 Mei 2025   11:48 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Pexel/ Olly)

Ketakutan terhadap pernikahan seringkali muncul bukan karena tidak percaya pada cinta, tapi karena mereka tidak percaya pada sistem yang membuat perempuan hanya diberi satu pilihan, bertahan. Mereka ingin menikah, tapi tidak ingin kehilangan jati diri. Mereka ingin mencintai, tapi tidak ingin dipaksa bertahan dalam ketimpangan.

Kehadiran Ayah dalam Narasi Ini

Artikel ini bukan tentang menyalahkan laki-laki. Banyak ayah yang juga berjuang, banyak suami yang baik. Tapi tak bisa dipungkiri, sebagian besar ibu harus bekerja lebih keras secara emosional, fisik, dan mental karena pasangannya abai atau tidak hadir.

Narasi tentang "ibu yang kuat" harus disandingkan dengan kesadaran tentang peran ayah yang adil. Jika laki-laki mengagumi ibunya, maka bentuk penghargaan terbaik adalah tidak mewariskan luka yang sama pada istri dan anak-anaknya kelak.

Indonesia kini dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat fatherless tertinggi di dunia, di mana banyak anak tumbuh tanpa kehadiran atau keterlibatan emosional dari sosok ayah. Bukan hanya karena perceraian atau kematian, tapi juga karena budaya yang menempatkan ayah hanya sebagai pencari nafkah, bukan pengasuh. Akibatnya, banyak anak kehilangan sosok teladan, pendamping, dan pelindung dalam masa tumbuh kembangnya. Fenomena ini tak bisa dianggap sepele, karena dampaknya menjalar ke rasa percaya diri, perilaku sosial, hingga pola relasi di masa depan. Sudah saatnya kita mengubah pandangan bahwa peran ayah hanya sebatas hadir di meja makan, karena anak butuh lebih dari sekadar nama di kartu keluarga.

Menghormati Ibu Tidak Sama dengan Meniru Jalan Hidupnya

Menghindari nasib seperti ibu bukan berarti tidak menghargai perjuangannya. Justru karena kita sangat mencintai ibu, kita tidak ingin luka itu terus berulang. Kita ingin kehidupan yang lebih adil, agar perempuan tidak harus kuat karena tidak punya pilihan.

Anak perempuan yang takut menikah bukanlah pengecut. Mereka adalah pemikir. Mereka ingin pernikahan yang tumbuh bersama, bukan hubungan yang menuntut salah satu pihak untuk terus mengalah.

Pencerahan untuk Anak Laki-Laki dan Perempuan

Untuk anak laki-laki: jika kamu mengagumi ibumu, pastikan pasanganmu nanti tidak harus menjalani beban yang sama. Jadilah laki-laki yang mencintai tanpa menyuruh bertahan, yang membantu tanpa diminta, dan yang sadar bahwa kekuatan perempuan tidak boleh dieksploitasi.

Untuk anak perempuan: kamu tidak salah karena takut. Kamu boleh memilih lebih baik. Kamu boleh menikah dengan hati-hati, dan kamu berhak bahagia tanpa harus melalui jalan berduri yang pernah ditempuh ibumu. Jangan merasa bersalah karena ingin hidup yang lebih damai, lebih terasa ringan dipundak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun