Semua itu terjadi pelan-pelan. Tidak langsung. Tapi menyelinap dalam bentuk perhatian, permintaan kecil, atau ancaman emosional yang dibungkus manis. Sampai akhirnya, aku tidak tahu lagi siapa aku. Semua karena aku menyukai seorang laki-laki.
Penyebab yang Jarang Kita Sadari
Masalah ini tidak berdiri sendiri. Ia tumbuh di dalam sistem yang membentuk cara berpikir perempuan tentang cinta, tentang identitas, tentang nilai diri.
1. Budaya Patriarki yang Masih Kuat.
Perempuan dibesarkan dengan keyakinan bahwa nilai dirinya akan lebih lengkap jika memiliki pasangan. Bahwa tujuan akhirnya adalah menjadi "pendamping" yang baik. Dan pendamping itu, katanya, harus menyesuaikan, melayani, mengalah. Maka, ketika perempuan bertemu laki-laki yang ia cintai, seluruh jati diri bisa jadi tawarannya demi status sebagai "perempuan yang cukup baik untuk dicintai".
2. Kurangnya Self-Awareness dan Self-Worth.
Banyak dari kita yang tumbuh tanpa dibekali pemahaman tentang harga diri. Tentang batas sehat dalam relasi. Kita tidak diajarkan untuk melihat cinta sebagai hubungan dua insan yang setara. Akibatnya, kita menganggap kehilangan diri sendiri sebagai bagian dari cinta, bukan sebagai red flag.
3. Ketakutan Akan Penolakan dan Kesendirian.
Ketika seseorang sangat takut ditinggal, ia akan melakukan apapun agar tetap dicintai. Termasuk menjadi bukan dirinya sendiri. Laki-laki menjadi pusat gravitasi, dan perempuan rela mengelilinginya tanpa arah.
4. Romantisasi Toxic Relationship.
Film, lagu, dan cerita yang kita konsumsi sejak kecil seringkali mengagungkan cinta yang penuh air mata, drama, dan pengorbanan ekstrem. Padahal cinta yang sehat seharusnya mendewasakan, bukan memerosotkan. Tapi kita tidak tahu itu, karena kisah Cinderella lebih dikenal daripada kisah perempuan yang memilih dirinya sendiri.