Mohon tunggu...
Hida Al Maida
Hida Al Maida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara

Seorang introvert yang menyukai seni, puisi, langit, bintang, hujan, laut, bau buku, dan menulis. Punya kebiasaan aneh berbicara dengan diri sendiri, dan mencoret-coret setiap halaman paling belakang buku pelajarannya karena merasa isi kepalanya terlalu meriah, riuh, dan berisik untuk didiamkan begitu saja. Gemar menulis novel, puisi, serta tertarik tentang banyak hal berkaitan dengan hukum, perempuan, dan pendidikan. Baginya, setiap hal di muka bumi ini adalah keindahan dan makna yang perlu diselami sampai jauh, sampai kita menemukan sesuatu bernama hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Takut

5 Maret 2023   11:53 Diperbarui: 22 Juni 2023   10:23 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Makin hari, gangguan kecemasannya tidak berkurang. Pertemuannya dengan gadis muda empat bulan lalu atau petuah rekan kerjanya yang sudah seperti ceramah wajib juga tidak menghasilkan apa-apa. Harianja tetap saja ketakutan. Harianja tetap saja tak siap jika dia harus mati bak orang bodoh dan semua yang dicapainya lenyap begitu saja. Meski begitu, pria itu juga menolak pilihan untuk menikah.

            Belakangan ini, dia merasa bahwa menikah untuk pria mapan sepertinya adalah pilihan yang bodoh. Menikah sama saja menyerahkan seluruh hartanya untuk orang asing yang akan menyusahkan hidupnya. Harianja tidak pelit. Dia hanya tidak ingin melakukan hal bodoh.

            Sejak itu, Harianja jadi rutin berkonsultasi untuk menangani masalah kecemasannya. Dia diberi banyak kiat-kiat untuk hidup dengan tenang, dan bahagia. Hanya saja, sejauh ini tidak ada yang mempan. Alih-alih merasa tenang, pria itu merasa semakin tua dan ringkih setiap harinya. Pekerjaannya tidak memburuk, tetapi Harianja merasa sangat lelah melakukannya. Sedikitpun dari hartanya tidak berkurang, tetapi dia dihantui rasa takut setiap malam; bukan lagi takut mati, sekarang Harianja juga takut dirampok.

            "Kau tidak perlu minum terlalu banyak obat, Pak." Dokter konselingnya berpesan di pertemuan terakhir mereka. "Hidup yang tenang adalah hidup yang bahagia. Obat-obatan tidak akan membuatmu bahagia. Hiduplah untuk Tuhan, atau setidaknya, hiduplah untuk seseorang yang akan membawamu kepada Tuhan," katanya lagi.

            Harianja bertanya-tanya. Bagaimana mungkin dia bahagia jika hidupnya diserahkan seutuhnya kepada Tuhan? Tuhan saja enggan memerhatikannya. Tuhan saja berkali-kali mendorongnya jatuh, saat dia bersusah-payah berdiri. Bagaimana bisa Harianja mempertaruhkan hidup untuk Tuhan? Hal itu sama seperti mempertaruhkan boneka kepada anak-anak; kita akan dipermainkan.

            Karena itu, di ulang tahunnya yang ke-36, dengan tubuh ringkih kesusahan, Harianja menyembunyikan semua harta-hartanya. Sangat jauh sampai tak seorang pun tahu di mana dia menyimpannya. Sehari-harinya, Harianja hanya menggunakan satu kartu kredit yang berisi uangnya yang tak seberapa. Setidaknya dengan cara itu, Harianja dapat tidur dengan nyenyak---di samping masih harus mengonsumsi obat penenang. Untuk menikmati masa tua yang damai dan menyenangkan, dia harus rela hidup sederhana dengan sedikit siksa di usia muda.

            ***

            Berita itu menyebar dengan cepat. Seorang pria ditemukan tewas di lantai 20 sebuah apartemen mewah. Tubuhnya ambruk di lantai dengan pakaian yang lengkap dan rapi. Hasil autopsi menyatakan dirinya overdosis obat. Hasil identifikasi pihak kepolisian juga menyatakan dugaan bahwa kematian itu terjadi tak lama setelah pria itu pulang bekerja.

            Harianja yang mapan, berkelas, dan dipuja lenyap begitu saja.

            Topik kematiannya menjadi topik hangat di perusahaan tempatnya bekerja hingga seminggu. Banyak yang membicarakan kepribadiannya semasa hidup, tetapi tak sedikit pula yang mengolok-olok kebodohannya.

            "Andai dia sedikit rendah hati, kuyakin dia tidak akan hidup semenyedihkan itu," kata orang-orang di pemakamannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun