Mentari pagi menembus celah jendela kamarku, membangunkan tidur yang terbilang cukup nyenyak. Hari ini berbeda. Ada perasaan campur aduk yang menguasai hatiku, sebuah harapan sekaligus kegelisahan. Aku akan bertemu mereka. Orang-orang yang mengubah hidupku, mengisi kekosongan dengan kehangatan, dan membuatku menyadari betapa berharganya sebuah perjumpaan.
Langkahku ringan menuju stasiun kereta. Tas kecil yang kugendong berisi beberapa hadiah sederhana---cokelat untuk sahabatku, buku untuk keluargaku. Kereta pagi itu ramai, tetapi entah kenapa aku tidak merasa sesak. Sebaliknya, pikiranku dipenuhi kenangan saat pertama kali bertemu mereka.
Dulu, aku hanyalah seorang yang merasa dunia ini tak berpihak padaku. Kehilangan arah dan merasa sendirian. Namun, semuanya berubah ketika aku bertemu Ayahku, yang selama ini jauh, lalu sahabat-sahabatku, yang selalu menyambutku dengan senyum.
Kereta berhenti di stasiun tujuan. Aku menarik napas panjang sebelum melangkah keluar. Di depan stasiun, terlihat sosok pria dengan senyum hangat. Itu Ayahku. Dia melambai dari kejauhan. Perasaan haru menyelimutiku. Kami sudah lama tidak bertemu karena jarak dan kesibukan.
"Akhirnya kamu datang," katanya sambil merangkulku. Dalam pelukannya, aku merasa kembali menjadi anak kecil yang dipenuhi rasa aman.
Kami berjalan menuju kafe kecil di ujung jalan. Di sana, sahabat-sahabatku sudah menunggu. Ada Santi, yang selalu ceria dan penuh kejutan, juga Andre, si pendengar setia. Mereka adalah orang-orang yang hadir di saat aku merasa paling jatuh.
Ketika aku tiba, mereka menyambutku dengan pelukan hangat dan tawa riang. "Kamu makin kurus, Na!" ejek Santi. Aku hanya tertawa kecil, membiarkan mereka berbicara apa saja.
Kami memesan makanan favorit: pizza dan es cokelat. Obrolan mengalir begitu saja, seperti arus sungai yang tenang. Mereka bertanya tentang pekerjaanku, tentang rencana masa depanku, dan aku menjawab semuanya dengan jujur.
"Dulu kamu selalu bingung tentang tujuan hidupmu," kata Andre tiba-tiba. "Sekarang lihat dirimu. Kamu sudah jauh lebih percaya diri."
Aku terdiam sejenak. Memang benar, dulu aku pernah terpuruk. Tetapi dukungan dari mereka membuatku perlahan bangkit. Mereka tak pernah bosan menyemangati, tak peduli betapa sulitnya aku untuk diyakinkan.
Kemudian, Ayah mulai bercerita tentang masa mudanya. Cerita-ceritanya mengingatkanku pada betapa kuatnya dia menjalani hidup sendirian setelah kehilangan Ibu. "Kita semua butuh seseorang, Na," katanya sambil menatapku lembut. "Dan kamu telah menemukan mereka."