Setelah makan, kami berjalan-jalan di taman kota. Suasana begitu menyenangkan. Angin sepoi-sepoi meniup daun-daun, membawa aroma bunga-bunga yang sedang mekar.
Aku dan Ayah duduk di bangku taman, sementara Santi dan Andre bermain layangan di kejauhan. Ayah menggenggam tanganku erat. "Maaf kalau dulu Ayah tidak selalu ada untukmu," katanya pelan.
Aku tersenyum. "Ayah, aku tidak pernah menyalahkanmu. Justru aku bersyukur, karena meski tidak selalu bersama, Ayah tetap menjadi tempatku pulang."
Mendengar itu, Ayah terisak pelan. Aku memeluknya, memberikan ketenangan.
Di kejauhan, Santi berteriak memanggil kami. "Ayo, kita foto bersama!" katanya sambil mengacungkan kamera. Kami pun berkumpul, mengabadikan momen indah itu.
Hari mulai senja, dan waktunya untuk berpisah kembali. Aku menatap mereka satu per satu. Ayah, dengan senyumnya yang penuh kasih. Santi, dengan tawa riangnya yang menular. Andre, dengan ketenangannya yang selalu membuatku merasa nyaman.
"Jangan lupa, kita akan selalu ada untukmu," kata Santi sebelum kami berpisah.
Aku mengangguk. "Dan aku juga akan selalu ada untuk kalian."
Ketika aku kembali ke kereta untuk pulang, aku merasa berbeda. Ada rasa hangat yang mengalir di dadaku, sebuah keyakinan bahwa aku tidak pernah benar-benar sendirian. Mereka adalah titik temu dalam hidupku, tempat aku menemukan arti keluarga dan persahabatan sejati.
Malam itu, saat aku merebahkan diri di tempat tidur, aku menatap langit-langit kamar dengan senyum tipis. Aku berbisik pelan pada diriku sendiri, "Berjumpa denganmu adalah hadiah terbaik dalam hidupku."
"Perjumpaan adalah anugerah yang tak ternilai, karena di sanalah kita menemukan makna dari kehadiran, cinta, dan kebersamaan."