Mohon tunggu...
Heru Prasetio
Heru Prasetio Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Lahir dan besar di Palembang , hobi baca, nulis dan mulai suka jalan #JalanHeru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Alasan (Sebenarnya) Rian Tak Suka Durian

12 Januari 2022   06:23 Diperbarui: 26 Maret 2022   16:09 1325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Rian yang Tak Suka Durian (Gambar: thepatriots.asia)

***

            Hujan lebat datang mengguyur saat Rian tiba di kostan. Temperatur kamarnya makin dingin meski colokan kipas angin sudah dilepas. Nafsu birahi Rian meningkat mengingat kejadian di pasar durian tadi saat dia memeluk si pujaan hati. Kemaluan Rian mulai menegang dan makin keras membayangkan tubuh telanjangnya.  Rian cepat-cepat ke kasur dan memeluk erat guling.

            Birahinya makin menjadi. Dia melepas semua pakaian yang dikenakan termasuk celana dalam. Suara petir menyambar berkali-kali. Rian lalu ke dapur mengambil pisau untuk membelah durian. Saat membelah durian dengan pisau secara perlahan, Rian menikmati sensasi tersebut. Durian belum terbelah secara utuh dan kini tangan kosongnya yang mulai bekerja. Sambil merekahkan guna menyempurnakan belahan durian tersebut, Rian mendesah pelan dan keenakan.

            Batang kemaluannya yang sudah tegak berdiri menantang, perlahan dia masukkan ke belahan durian tersebut. Pinggulnya bergoyang maju mundur dengan kedua tangan memegang dan menahan kulit durian. Sensasi seksual yang sudah lama ingin dia rasakan akhirnya terwujud juga. Kemaluan Rian maju mundur menghentak buah durian yang tak bersalah itu. Makin kencang dan makin kencang. Suara erangan bin desahan bin rintihan keenakan terdengar kencang terus-menerus dengan ritme teratur. Sesekali, jari telunjuk kanannya digigit tanda birahi makin memuncak.

            Saat petir menyambar dan suara halilintar paling besar menggelegar, saat itu juga Rian mencapai klimaks dan orgasme. Tubuhnya bergetar keenakan dan suara erangan terkuat dan paling besar keluar dari mulutnya. Cairan kental putih memuncrat dan masuk menghujam daging durian. Karena capek Rian tergeletak ke lantai dan tak sadarkan diri.

            Setelah siuman, kepala Rian pusing bukan kepalang. Seperti ada palu besar atau godam yang menghatam kepalanya. Berkali-kali, berkali-kali dan berkali-kali. Ritme hantaman tersebut makin kuat tiap kali menyergap. Tak hanya itu, bau busuk kostannya menyengat luar biasa. Lebih menyengat  daripada bau durian yang paling busuk yang pernah terendus hidungnya. Hujan lebat di luar reda, digantikan gerimis secara berkala. Rian yang kini dalam posisi menjambak rambutnya karena pusing berat, teringat kejadian kelam saat kelas enam SD.

***

            Malam itu Rian disuruh Mak ke rumah Wak Hasan untuk ambil beberapa durian. Wak Hasan yang berstatus duda, tinggal di rumah sendirian dan letak rumahnya tak begitu jauh, masih bisa dijangkau dengan jalan kaki. Durian-durian tersebut adalah hasil panen teman Wak Hasan di kota sebelah yang terkenal dengan julukan Kota Sejuta Pohon Durian.

            Sudah berapa kali salam Rian ucapkan, tapi tidak ada juga jawaban. Dan saat hendak mengetuk, pintu rumah Wak Hasan ternyata tidak terkunci, lalu Rian buka perlahan. Masuklah dia ke rumah, ditelusuri hingga ke belakang dapur dan tak juga menemukan batang hidung Wak Hasan. Saat mendekati kamar Wak Hasan, Rian mendengar suara-suara aneh yang belum dia pahami. Pintu kamar Wak Hasan terbuka dikit dan mengintiplah dia di celah tersebut.

            Rian kecil terkejut dan jantungnya mulai berdegub. Dia melihat Wak Hasan telanjang bulat sedang menghentakkan kemaluannya ke belahan pada buah durian yang paling besar bentuknya. Ekspresi muka dan suara yang keluar dari Wak Hasan memberi tanda kalau dia menikmati hal aneh tersebut. Buah-buah durian lainnya terlihat berantakan, menggelepar di lantai kamar. Wak Hasan mendesah kencang dan bergema keenakan.

            “Astagfirullah! Wak Hasan menyetubuhi durian,” jantung Rian makin berdebar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun