"Ajian bagi orang kecil macam saya hanya membuat angkuh dan sombong saja, Mas. Makanya saya sengaja tidak memiliki dan menggunakannya. Hanya saja, sebagai orang Jawa, saya tetap membekal siasat dan azimat dalam bekerja. Azimat saya itu pun khasiatnya hanya untuk bekerja, selain itu tak ada manfaatnya," jelas Glumut jujur.
Setelah berulang-ulang IBS ingin tahu wujud azimat Glumut, blandhong itu pun memperlihatkan tujuh buah paju (pasak) kecil-kecil sebesar korek api. Terbuat dari kayu sana keling (dalbergia latifolia), dicat merah putih persis bendera pusaka Indonesia.Â
Kemudian seikat kentheng atau tali sipatan sepanjang tujuh meter juga. Fungsi kentheng untuk membuat garis pada balok yang akan digergaji dengan menggunakan arang dicampur air.Â
Menurut Glumut, setiap bonggol pohon sudah terkena sipatan dan dipaju dengan pasak azimat, seluruh kayunya menjadi lunak. Mudah sekali digergaji, seperti menggergaji gabus.
Sesaat kemudian IBS tertegun karena tidak mengira azimat si pendekar Glumut hanya terdiri dari pasak kecil dan tali sipatan...
Kemanapun IBS pergi, pasti di kantong bajunya terselip kertas dan bolpoin untuk mencatat. Sebagaimana pesan sang kakek, "Matna, terus catheten- amati, lalu catatlah!"
Iman Budhi Santosa sadar betul bahwa manusia adalah tempatnya luput dan lupa, maka apa saja yang pernah didengar, disaksikan, dan dialami harus dicatat dan dimaknai (seperti dicatatkan Latief S Nugraha).
Ada baiknya tulisan ini saya tutup dengan penggalan puisi "Belajar Mencatat Sebelum Lupa dan Terlewat" (karya Iman Budhi Santosa).
"...Orang sering lupa, anakku. Bagaimana jika nanti//engkau sampai lupa siapa dirimu//juga orang tua dan Tuhanmu?"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI