Sosok IBS suatu ketika menyaksikan bagaimana kalong (kelelawar) di pohon Mindi di depan rumah dinas Balai Penyuluhan Teh di Ngagrong, Boyolali, jatuh ke tanah setelah ditembak Waskita, anak kelas enam SD.
Meskipun sekarat karena ditembak menggunakan senapan berisi peluru gotri yang diolesi rheumason, ternyata kalong tidak ingin mati sia-sia. Dengan sisa tenaganya, ia menangkupkan sayap panjangnya.Â
Sekejap kemudian, terdengar suara gemeretuk, darah menetes, si kalong memamah tulang sayapnya sendiri. Terlihat tulang-tulang sayap kalong mencuat, patah, dan terkulai.
Menyaksikan kejadian ngenes tersebut, IBS terpana dan menyebut nama Tuhan karena diberi kesempatan menyaksikan kaelokaning jagad yang belum pernah ia temui.
Peristiwa yang membekas dalam ingatan itu diceritakan IBS lewat "Bunuh Diri Seekor Kalong". Kenangan itu memunculkan rentetan pertanyaan, benarkah binatang sempat merasakan kesia-siaan seperti halnya manusia?Â
Benarkah dia punyai naluri menyakiti diri sendiri (dan puncaknya bunuh diri) demi melampiaskan kekecewaan hidup? Mengapa kalong merusak sayapnya sendiri? Apakah tahu bahwa yang diburu orang memang tulang sayapnya (untuk pipa rokok)? Apakah binatang punya rasa harga diri, kecewa, pasrah, ingin mati, dan sebagainya?
Cara mati kalong berbeda dengan burung derkuku di wilayah afdeling Promasan, Gunung Ungaran (cerita "Kuburan Burung"). Perjalanan dari afdeling Babadan ke Promasan cukup jauh, naik turun tebing, dan melintasi pinggiran hutan, lebih kurang satu jam.Â
IBS ditemani seorang hansip, Sunarto, pada tahun 1972 melakukan perjalanan itu ke sebuah celah di perbukitan terjal hanya untuk menyaksikan seekor burung derkuku menyepi, diam di antara tumpukan bangkai burung. IBS merasa heran, bagaimana tumpukan bangkai burung itu tidak menimbulkan bau? Mengapa mereka memilih mati di celah itu?
Sore hari, burung derkuku yang disaksikan IBS bersama Sunarto terlihat kian lemas, jatuh miring, seolah kakinya tak kuat lagi menahan beban tubuhnya sendiri. Kemudian tergeletak, diam tak bergerak, dengan sepasang kaki di atas.
Karena kejadian di kuburan burung itu, IBS teringat pesan simbahnya dulu di Magetan bahwa hewan biasanya kalau mau mati merasa dan pergi mencari tempat sepi untuk sembunyi dan mati.Â
Menyaksikan burung derkuku mati di celah tebing afdeling Promasan, membuktikan burung derkuku memang merasa bahwa kematiannya sudah mendekat. Kemudian sengaja terbang ke celah bukit Promasan sekadar untuk mati seperti burung-burung lain yang mendahuluinya.Â
Pertanyaannya, hewan saja kalau mau mati bisa merasa, mengapa manusia kebanyakan justru tidak merasakannya?