Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Masjid

21 Maret 2023   09:10 Diperbarui: 21 Maret 2023   09:26 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pintu gerbang Masjid Agung Mataram Kotagede/Foto: Hermard

Baru saja melangkah keluar dari masjid Pura Pakualaman di barat daya lapangan Sewandanan, suara hatiku mengejek telak.

"Mbok sudah, jangan pencitraan. Biasa juga salat di rumah. Ini belagu, nggaya, ndadak nyambangi masjid segala. Biar dikira alim, jelang bulan puasa rajin ke masjid?" tegur suara hatiku.

Seharian ini niatku memang mengujungi beberapa masjid. Bukan membangun pencitraan. Toh sebagai wong cilik aku tak patut berdekatan dengan kata pencitraan. Itu kan kosa kata yang dimiliki para pejabat dan politikus. Aku hanya ingin menyambangi rumah Tuhan sambil belajar sejarah.

"Belajar sejarah lewat masjid?" tanya suara hatiku menyela.

Iya. Di Yogyakarta, masjid bukan sekadar tempat ibadah. Dan lagi sekarang banyak orang belajar sejarah dari kuburan, pepohonan, sungai, dan benda lainnya. Tak ada yang salah.

Di masjid Pura Pakualaman ada prasasti yang terletak di sebelah utara dengan sengkalan Pandhita Obah Sabda Tunggal,  menunjukkan tahun Jawa 1767 (1839 Masehi). Dalam prasasti di sebelah selatan tertoreh sengkalan Gunaning Pujangga Sapta Tunggal yang menunjukkan tahun Jawa 1783 (1855 Masehi).

"Terus ngapain, apa hebatnya prasasti-prasasti itu?" tanya suara hatiku tak paham.

"Lha iya, itu pelajaran sejarahnya. Kita bisa belajar kaitan prasasti itu dengan pendirian masjid ini. Apakah masjid ini dibangun tahun 1839 atau 1855? Juga apa fungsi Ma'surah, terbuat dari kayu, terletak di saf  depan di sebelah selatan pengimaman. Mungkin saja itu tempat raja saat melakukan salat."

Suara hatiku terdiam. Menundukan kepala dalam-dalam. Kemudian mengikuti langkah kakiku menuju ke barat.

"Mengapa kita tidak singgah ke Masjid Gedhe Kauman?" suara hatiku penasaran saat aku langsung menuju masjid Rotowijayan.

"Iya, meskipun mesjid ini kecil, tapi memiliki kaitan sejarah yang sangat manusiawi dan heroik," jelasku tenang.

"Manusiawi dan heroik? Tak usah mengada-ngada," ujar suara hatiku.

Masjid Rotowijayan dikenal juga sebagai Masjid Keben, merupakan  masjid  Kraton Yogyakarta. Letaknya di depan pintu masuk gerbang Kemandungan Lor (Keben),  Rotowijayan,  Kraton Yogyakarta.

Pembangunan masjid pada tahun 1792  semasa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono II dalam rangka memperingati jumenengannya. Semula masjid ini dinamai Masjid  Suronata, merupakan penghargaan terhadap  abdi dalem yang mengurusi dan merawat masjid di lingkungan Kraton.

"Artinya masjid ini melambangkan manunggalnya raja dan rakyatnya. Betapa raja menunjukkan  kebesarannya dengan merangkul wong cilik," ucapku pelan sambil memandang ke arah suara hatiku.

"Lalu dimana letak unsur heroiknya?" tanya suara hatiku tiba-tiba.

Aku menjelaskan dengan tenang bahwa Masjid Rotowijayan   merupakan saksi sejarah tertembaknya   Kolonel Galapsy, komandan pasukan Inggris, dalam peristiwa  Geger Spey - Perang Inggris melawan Sri Sultan Hamengku Buwono II.

Suara hatiku terdiam. Ia mulai menyadari bahwa aku ke masjid bukan karena pencitraan diri, melainkan karena ingin bertandang ke rumah Tuhan sambil memaknai hidup lewat sejarah yang tertanam di masjid-masjid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun