Muak juga menyaksikan ada orang asing mencak-mencak gara-gara suara kokok ayam di pagi hari.
Memangnya apa salahnya ayam? Dia hanya mengikuti naluri untuk berkokok. Dia tidak merekayasa keadaan. Tidak memanipulasi suaranya yang kadang keras, serak-serak basah, dan berkepanjangan.
"Memang sontoloyo itu orang asing! Enak saja mau ngatur-ngatur. Emang ini kampung nenek moyangmu?"
"Sabar, mungkin saja suasna hatinya sedang tidak enak," nasihat suara hatiku.
"Asem kecut! Aku saja takut kalau melihat aparat keamanan. E, mereka malah seenaknya membentak-bentak aparat kepolisian yang tengah mengadakan operasi ketertiban lalu lintas. Ini sangat menyinggung perasaan!" jelasku dengan nada tinggi.
"Kalau yang ini sungguh keterlaluan. Mereka seenaknya melanggar aturan. Tak pakai helm. Tak mau disalahkan," ujar suara hatiku mulai memahami pikiranku.
Aku benar-benar gusar menyaksikan kelakuan orang asing yang semau gue. Apakah tidak mungkin kantor imigrasi mengusir orang asing yang tingkah lakunya sudah meresahkan masyarakat lokal?
Seharusnya kantor imigrasi tidak hanya mengecek persyaratan administrasi, tetapi juga memantau kelakuan orang asing. Setidaknya kalau melanggar undang-undang nomor 16 tahun 2011, khususnya pasal 75, ya disuruh hengkang saja! Toh ada tim pengawasan orang asing!
"Hahaha, jangan sok tahu! Aku mendengar kalau Kementerian Luar Negeri tak bisa gegabah memutuskan persoalan ini. Ada pertimbangan lain agar tidak mengganggu hubungan diplomatik," ujar suara hatiku tenang.
Aku hanya mengelus dada, meskipun ada amarah yang tak dapat kusembunyikan. Terlebih kalau mengingat cerita Irine bahwa ada sekelompok orang asing kaya dan tajir sering menggelar acara-acara private di tempat-tempat eksklusif, di pantai terpencil, ditemani beberapa wanita berkulit sawo matang.
**
"Mas, bangun Mas. Siang-siang kok mengigau," samar-samar aku mendengar suara ibu negara Omah Ampiran membangunkanku.