Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Memaknai Buku dengan Cara Lain

30 Januari 2023   12:56 Diperbarui: 4 Februari 2023   13:02 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari ratusan karya yang ditulis Harjanto Sahid, sejak semula saya memberi perhatian khusus terhadap karya berbentuk cerpen drama (tahun 1996 dan 1997). Hal ini terjadi karena saya merasa terlibat secara tidak langsung terhadap proses kreatif penciptaan karya tersebut. 

Antologi cerpen drama Sri Harjanto Sahid/Foto: Hermard
Antologi cerpen drama Sri Harjanto Sahid/Foto: Hermard

Tulisan tangan Sri Harjanto Sahid/Foto: Hermard
Tulisan tangan Sri Harjanto Sahid/Foto: Hermard
Bahkan saat Sri Harjanto Sahid  kembali menemui saya pada tanggal 6 Juni 2017, sambil menyerahkan beberapa buku karyanya yang diterbitkan oleh Seruni Art Management, antara lain Kucing dan Rindu, Negeri Sontoloyo, dan Senjakala Negara Republik Binatang Rimba (ketiganya berupa antologi puisi), Harjanto sempat menjelaskan rencana penerbitan antologi cerpen drama. "Tenan lho Mas, sampeyan saya minta menulis  pengantar karena jenengan yang tahu awal mula penulisan cerpen-cerpen ini...."

Cerpen drama yang ditulis Harjanto Sahid diawali ketika kami sama-sama menjadi mentor Bengkel Sastra pada tahun 1996. Kami berada dalam satu kelas berbagi pengalaman mengenai dunia kepenulisan dan pemanggungan karya sastra (puisi dan cerita pendek) di hadapan 40 orang siswa dalam beberapa kali pertemuan setiap hari Minggu.

Pada pertengahan tahun 1997, ia menunjukkan naskah "Namaku Siti" dan "Drama di Balik Panggung". Jujur, saya terkejut setelah membaca karya-karya itu karena semua hanya berisi dialog tanpa ada deskripsi atau penjelasan mengenai tokoh, situasi, latar atau hal lainnya. "Iya Mas, ini cerpen drama, saat menulis saya langsung membayangkan bagaimana memanggungkannya ke atas pentas."

Begawan sastra Yogyakarta, Iman Budhi Santosa selalu memasukkan buku yang akan diberikan kepada saya ke dalam tas kresek berwarna hitam. Saat bertemu, buku itu dikeluarkan dari tas kresek dan ditandatangi. "Ini kagem panjenengan Mas," ujarnya sambil menyerahkan buku. 

Pribahasa Nusantara/Foto: Hermard
Pribahasa Nusantara/Foto: Hermard

Tulisan tangan Iman Budhi Santosa/Foto: Hermard
Tulisan tangan Iman Budhi Santosa/Foto: Hermard
Kami sering bertemu dalam acara sastra dan sempat mengeditori bersama buku Ngelmu iku Kelakone kanthi Laku: Proses Kreatif Sastrawan Yogyakarta (2016) dan Patembayatan Jati (2017).

Cerpenis muda produktif, energik, dan inspiratif, Eko Triono, selalu penuh semangat saat kami menjadi mentor kepenulisan, memotivasi generasi muda untuk menjadi penulis. Ia selalu mengawali pemberian materi  dengan pernyataan bahwa pada awalnya kita bukan siapa-siapa. Orang yang tenar saat ini, pasti berangkat dari titik nol. 

Di tengah merampungkan program doktor, ia selalu menyempatkan diri jika diminta hadir sebagai pembicara di gelaran sastra dan kepebulisan.

Antologi cerpen Eko Triono/Foto: Hermard
Antologi cerpen Eko Triono/Foto: Hermard

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun