Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Alih Tradisi Sastra Jawa

28 Januari 2023   15:12 Diperbarui: 28 Januari 2023   15:15 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sandiwara Jenaka Berbahasa Jawa/Foto: Hermard

/1/
Seperti tradisi sastra dari etnis lain di Indonesia, sastra Jawa pun hadir pertama kali melalui tradisi lisan.  Dalam perkembangan sastra Jawa, tradisi ini berlangsung cukup lama karena didukung oleh cara berkomunikasi masyarakat Jawa yang lebih senang mendengarkan dan meniru dalam bentuk lisan dengan cara menghafal, bukan melalui tulisan. 

Dominasi tradisi lisan mulai bergeser dengan munculnya tradisi tulis yang ditopang oleh masuknya mesin cetak dalam kehidupan masyarakat Hindia Belanda (termasuk masyarakat Jawa) pada abad ke-18. 

Alih wujud dari sastra lisan ke sastra tulis membawa konsekuensi bahwa tanda-tanda formulaik di dalam sastra lisan tidak dengan sendirinya dapat ditransformasikan kedalam tanda-tanda bahasa tulis. Tradisi tulis mulai dikenal masyarakat Jawa secara meluas dengan terbitnya Bromartani (surat kabar pertama berbahasa Jawa, terbit tahun 1855) dan Poespitamantjawarni.

Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini media massa cetak merupakan sarana utama bagi pembinaan dan pengembangan sastra dan bahasa Jawa. Asumsi tersebut setidaknya diperkuat oleh kenyataan: (1) pertumbuhan sastra dan bahasa Jawa tidak dapat dilepaskan dari kehadiran majalah berbahasa Jawa, dan (2) eksistensi sastra Jawa tidak dapat dilepaskan dari predikat bahwa sastra Jawa adalah sastra majalah. 

Penyangga utama kehidupan sastra dan bahasa Jawa adalah majalah Panyebar Semangat, Jaya Baya (keduanya terbit di Surabaya), Mekar Sari, dan Djaka Lodang (terbit di Yogyakarta).  Beberapa majalah tersebut belakangan ini nasibnya "kelimpungan", utamanya majalah  Mekar Sari yang hidupnya seminggu sekali menempel dalam harian Kedaulatan Rakyat.

Dalan perjalanannya,  nasib keempat majalah berbahasa Jawa itu tetap tidak beringsut dari kondisi yang "nggegirisi". Faktor yang mempengaruhi keadaan ini adalah: (1) ketidakmampuan majalah berbahasa Jawa memiliki dan memanfaatkan teknologi canggih dalam memproduksi terbitan dengan performance dan materi yang memadahi; (2) semakin terbatasnya segmen pembaca majalah berbahasa Jawa dengan munculnya koran, majalah, atau tabloid (berbahasa Indonesia) dengan spesialisasi penebitan--umumnya dengan oplah tinggi, dukungan iklan, jaringan distribusi yang luas, dan pengelolaan secara profesional; 

(3) majalah berbahasa Jawa belum mampu memasuki dunia pers sebagai dunia industri komunikasi yang lebih menonjolkan faktor komersial daripada faktor idealisme; (4) majalah berbahasa Jawa dianggap (dan didudukkan) sebagai media massa marginal; dan (5) adanya desakan nasionalisme yang terus berkelanjutan dengan prioritas utama  bangsa Indonesia  mewadah dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. 

Berbagai catatan mengenai sastra Jawa/Foto: Hermard
Berbagai catatan mengenai sastra Jawa/Foto: Hermard
Beberapa faktor di atas  mengakibatkan peran dan fungsi bahasa Jawa (termasuk di dalamnya sastra Jawa) menjadi terbatas. Keterbatasan tersebut melahirkan inisiatif  memunculkan sastra Jawa dalam media massa lainnya, yaitu televisi dan radio. Sejak tahun 1970-an, misalnya, TVRI stasiun Yogyakarta menghadirkan paket acara Kuncung lan Bawuk, kethoprak, dan wayang kulit.

Kuncung lan Bawuk merupakan salah satu acara TVRI Yogyakarta yang menjadi primadona bagi anak-anak dan pemirsa di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. Menampilkan boneka kayu sederhana yang digerakkan dengan tangan dan tongkat penyangga, kepala boneka hanya bisa menggeleng dengan gerak terbatas, tidak ada mimik wajah, dialog memakai bahasa Jawa. Menurut Habib Bari (1996), walaupun Kuncung lan Bawuk merupakan tontonan "sederhana", tetapi mampu mencapai rating tertinggi.

Sedangkan TVRI stasiun Surabaya (yang lahir kemudian) setia menayangkan acara ludruk, di samping kethoprak dan wayang kulit.  Tahun 1996 stasiun televisi swasta, Indosiar, secara rutin menayangkan acara wayang kulit lengkap dengan kelompok pesinden pada setiap malam Minggu. 

Di media radio, penyiaran berbahasa Jawa dikemas lewat acara pembacaan buku, sandiwara daerah, kethoprak, wayang kulit, dan sebagainya.

Acara kethoprak radio dirintis oleh RRI Yogyakarta sejak tahun 1930-an. Pada tahun 1970, radio-radio swasta di Yogyakarta juga ikut membentuk kethoprak radio yang kemudian menjadi primadona sehingga ada produser kaset yang berani memproduksi untuk dijual. Hal ini menguntungkan bagi radio swasta yang tidak memproduksi siaran kethoprak. Sejak saat itu, pihak radio juga sudah mendapatkan kaset yang diberikan oleh perusahaan obat-obatan atau minuman untuk kepentingan promosi. Radio yang mempunyai kethoprak radio (di Yogyakarta), selain RRI Nusantara II Yogyakarta adalah Radio Rasia  Lima,  Arma Sebelas, dan Retjo Buntung FM.

Ketoprak/Foto: Hermard
Ketoprak/Foto: Hermard
Sesungguhnya, jauh sebelum memasuki dunia elektronika televisi, budaya dan sastra Jawa telah menjadi bagian dari media elektronika radio yang tumbuh di pulau Jawa. Upaya pembinaan siaran radio dengan menggunakan bahasa daerah (Jawa) sudah dilakukan sebelum RRI lahir; yaitu saat saluran radio pemerintah penjajah Belanda (NIROM) ingin menguasai siaran ketimuran pada tahun 1937. 

Atas inisiatif Sutardjo Kartohadikusumo dibentuklah organisasi Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK) yang kemudian dipercaya NIROM untuk mengelola penyiaran ketimuran. Organisasi tersebut bersifat sosial dan nonkomersial serta bertujuan memajukan kesenian dan kebudayaan nasional untuk kemajuan masyarakat Indonesia, di samping memperkenalkan seni budaya tradisional di berbagai daerah di wilayah Nusantara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun