Mohon tunggu...
Herry Dim
Herry Dim Mohon Tunggu... Seniman - Pekerja seni, penulis seni/kebudayaan, dan lingkungan hidup

Pekerja seni, lukis, drama, tata panggung teater, menciptakan wayang motekar. Pernah menulis di berbagai media serta berupa buku, aktif juga dalam gerakan-gerakan lingkungan hidup dan pertanian. Kini menjadi bagian dari organisasi Odesa Indonesia, dan sedang belajar lagi menulis.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kisah Empat Pelukis Mencari Kebenaran

11 Desember 2021   11:28 Diperbarui: 11 Desember 2021   11:41 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memahami Seni dari Obrolan Keseharian #2

Oleh: Herry Dim

SUATU sore datanglah dua orang muda. Salaseorang dari mereka membuka percakapan dengan menyampaikan ke"galau"annya.

"Wahai Jawinul, maaf kami yang sedang galau alias bingung," kata Pemuda 1.

"Apa yang membingungkan kalian?" Tanya Jawinul.

"Takhabis pikir, mengapa orang-orang saling serang bahkan berbunuhan atas nama Tuhan?" Pemuda 2 balik bertanya.

"Kenapa harus pusing, bukankah itu di luar urusan kalian? Atau, apakah kalian menjadi bagian dari perseteruan hingga berbunuhan itu menjadi kebingungan kalian?" Pancing Jawinul untuk mendapatkan kejelasan.

"Bahkan jika tidak ada sangkut pautnya dengan diri saya, itu tetap saja mengganggu. Atas nama Tuhan dari agama berbeda terbukti begitu abadi saling serang di berbagai negeri. Eh, atas nama Tuhan dari agama yang sama pun ternyata bisa saling gasak. Itu nyata sekali sangat mengganggu pikiran. Saya sampai membayangkan atau berharap mungkin akan lebih baik kalau tidak ada Tuhan, tidak usah ada agama," demikian urai Pemuda 2.

"Ya, itulah yang membuat kami galau," kata Pemuda 1 menandaskan.

"Apakah Tuhan-tuhan mereka itu pun ikut berseteru, ikut saling serang, dan ikut saling bunuh?" Tanya Jawinul.

"Ya, tidak tahu lah yaw... Tuhan kan tidak kelihatan," jawab Pemuda 2.

"Lantas yang kalian saksikan, yang bisa terlihat saling serang itu apa?" Pancing Jawinul lagi.

"Tentu saja manusia, lihat saja semua televisi, media cetak, bahkan radio-radio pun kerap memberitakan dan menyampaikan gambaran tentang bagaimana manusia-manusia itu saling serang, saling tembak, saling sabet dengan senjata tajam," kata Pemuda 1.

"Sering juga jadi bahasan atau sekadar celotehan di facebook, twitter, dan media sosial lainnya," tambah Pemuda 2.

"Jadi, jelasnya, Tuhan tidak hadir dan tidak ikut berperang di sana?" Tanya Jawinul untuk menyambung kembali inti pembicaraan.

"Ya, tidak ada, tidak hadir, atau tepatnya tidak kelihatan," jawab Pemuda 1 dan 2 hampir berbarengan.

"Itu artinya urusan manusia, sepenuhnya merupakan perkara antarmanusia. Sesama Tuhan sejatinya tidaklah demikian, mereka malah duduk-duduk dengan damai sambil melihat dari kejauhan. Sesekali mereka saling rangkul bertangisan, saling berbagi lara yang taktertahankan karena melihat manusia berbunuhan."

"Tapi tetap saja membingungkan, masing-masing yang berseteru merasa Tuhannya lah yang paling benar. Bahkan begitu pula pada mereka yang menganut agama yang sama, satu sama lain merasa dirinya lah pemilik kebenaran, maka karena itu pula mereka terus-menerus bertikai," tukas Pemuda 1.

"Begitulah manusia dalam segala urusannya, selalu merasa paling benar padahal ia takmengenal atau selalu sangat jauh untuk bisa menyentuh kebenaran itu sendiri. Namun demikian, masing-masingnya bisa saja benar menurut pandangannya," kata Jawinul.

"Lantas, benar itu apa? Dan, kalau masing-masing benar artinya kebenaran itu tidak tunggal melainkan jamak atau banyak?" Tanya Pemuda 2.

"Ya, kebenaran manusia itu taktunggal, jumlahnya bahkan sebanyak populasi manusia itu sendiri sebab satu sama lain manusia itu takakan pernah memiliki sudut pandang yang persis sama. Jika manusia itu menyadari, itu pula sesungguhnya yang menjadi keterbatasan sekaligus keluasan kemanusiaannya," urai Jawinul.

"Apa maksud pandangan terbatas itu?" Tanya Pemuda 2 kian penasaran.

"Manusia itu hanya punya kemampuan melihat dari satu sudut pandang. Memang ada kemungkinan pandangannya itu melebar atau tambah luas sesuai perkembangan ilmu dan pengetahuan yang bisa mereka raih, tapi sebanyak apapun pengetahuan yang dimilikinya tetap lah ia takakan pernah mampu melihat kebenaran secara menyeluruh," ujar Jawinul.

"Saya sudah mulai bisa menangkap, jadi kebenaran itu sendiri sesungguhnya tunggal atau hanya satu tapi karena keterbatasan pandang manusia maka jumlahnya menjadi banyak?" Tanya Pemuda 1.

"Ya, kebenaran illahiyah itu tunggal, sementara kebenaran manusia itu bersifat jamak," tegas Jawinul.

"Berilah kami gambaran tentang kebenaran yang tunggal dan yang bersifat jamak itu," lanjut Pemuda 2.

"Maukah kalian mendengarkan sebuah cerita?" Tanya Jawinul yang dijawab anggukan oleh kedua anak muda itu.

"Baiklah," lanjut Jawinul, "saya sendiri sudah lupa sumber ceritanya kecuali isi ceritanya yang berkisah tentang empat orang pelukis kerajaan yang berseteru tentang kebenaran lukisannya."

Kemudian Jawinul pun berceritalah.

**

ALKISAH adalah seorang raja di negeri antah-berantah, sebut saja bernama Raja Galur dan kerajaannya bernama Caraka Galur. Raja yang bijak ini gemar sekali menjalin persahabatan dengan kerajaan tetangga atau pun dengan raja-raja lain nun jauh di sana. Di antara mereka senantiasa saling menjaga hubungan dengan cara saling mengunjungi. Setiap kunjungan selalu ditandai dengan pemberian cendera mata dari pihak yang datang kepada sang tuan rumah. Meski tidak diikat oleh perjanjian tertulis, para raja yang bersahabat ini senantiasa saling memberi cendera mata berupa benda atau barang yang paling disayanginya. Indahnya lagi persahabatan ini manakala memilih atau menentukan cendera mata yang dianggap disayangi tersebut, ternyata ukuran "sayang" itu tidak ditentukan apakah harus emas, permata, atau berlian melainkan betul-betul atas dasar rasa sayang sehingga bisa saja berupa canglong, kursi, tongkat atau benda-benda biasa lainnya.

Demikianlah tradisi mereka untuk saling menjaga kekerabatan dan kehormatan masing-masing.

Jauh sebelum masa panen buah-buahan dan palawija, Raja Galur telah berencana bahwa seusai panen akan melakukan lawatan ke negeri seberang yaitu ke kerajaan Dwipa. Sehubungan dengan niatnya itu pula maka Sang Raja segera memilih-pilih barang yang akan dijadikannya cendera mata. Setelah tidak kurang dari tiga hari memilih dan menimbang, Raja Galur akhirnya memutuskan akan membawa sebuah jambangan bunga untuk dijadikan cendera mata.

Benda berupa jambangan itu sangat disayang oleh Raja Galur, sejumlah kenangan dengan mendiang istrinya pun seolah terekam di sana karena semasa sang permaisuri masih hidup senantiasa mengisi jambangan itu dengan bunga-bunga yang dipetik oleh tangannya langsung dari taman. Jambangan berisi bunga itu selalu hadir di meja dekat pembaringan, setiap pagi manakala sang raja bangun tidur selalu duduk di sana sambil menghirup semilir wangi bunga segar. Bahkan kini setelah jambangan itu taklagi berisi bunga, wangi bunganya seolah senantiasa mengambang di dalam angannya.

Dalam duduk termangu di kursi sambil menatap jambangan kosong, terbersit pikiran di dalam angan Raja Galur bahwa dirinya tetap akan menghadiahkan jambangan kesayangannya itu tapi ia pun ingin tetap memelihara kenangannya.

"Sebelum jambangan itu dibawa, sebaiknya dilukis terlebih dahulu oleh pelukis kerajaan, dengan demikian maka jambangan itu tetap ada," demikian pikiran yang terbersit di dalam angan sang raja.

Sang Raja segera beranjak keluar kamar, dijumpainya pamong agar memanggil empat pelukis kerajaan yang terbaik.

"Daulat tuanku," ujar sang pamong sambil segera pamit untuk menjalankan tugas.

Dalam separuh hari, sang pamong pun telah kembali menghadap sang raja disertai empat pelukis terbaik dari kerajaan Caraka Galur.

Sang Raja pun kemudian berujar: "lukislah jambangan kesayanganku ini oleh kalian berempat, kelak akan dipilih satu saja lukisan yang paling benar menyerupai jambangan ini,"

"Daulat tuanku, akan kami kerjakan dengan sebaik-baiknya," jawab para pelukis hampir bersamaan.

**

SINGKAT cerita, keempat pelukis yang hebat-hebat itu pun segera bekerja. Keempatnya mengitari jambangan yang ditempatkan di tengah. Disebabkan oleh keterampilannya yang mumpuni, lukisan mereka masing-masing pun selesai sebelum tengah malam.

Sang Raja Galur yang memang menunggu dengan taksabar sepanjang para pelukis itu bekerja, ia segera bangkit dari tempat duduknya kemudian memandangi satu demi satu lukisan yang belum lagi kering dengan sempurna.

Terdengar sang raja berdecak kagum. Keempat lukisan tersebut memang menakjubkan, semuanya memperlihatkan wajah dan bentuk jambangan dengan sempurna.

Menyusul decak kekagumannya, tampak sang raja menempatkan ujung jari telunjuk tangan kanannya di dagu, dahinya berkernyit. Para pelukis saling pandang, ada semacam kecemasan bahwa ada yang kurang berkenan dalam karya mereka.

"Mengapa yang mulia, apakah ada yang salah dengan lukisan kami?" Tanya mereka hampir bersamaan.

"Tidak. Semuanya bagus, kalian hebat-hebat sehingga lukisan-lukisan kalian begitu persis menggambarkan jambangan kesayangan kami," jawab sang raja.

"Tapi yang mulai tampak seperti ragu atau sedang memikirkan sesuatu, apakah gerangan itu?" Tanya pelukis #2 yang di "ya"kan oleh ketiga pelukis lainnya.

"Jambangan itu hanya satu, maka saya hanya akan memilih satu saja lukisan yang paling benar menyerupai, namun saya bingung karena semua sama baiknya. Menurut kalian sendiri, mana kiranya yang paling benar menyerupai jambangan itu?" Kata sang raja dengan tangan kiri bersilang di atas perut, itu menopang sikut sebelah tangannya lagi dengan ujung-ujung jari agak tertekuk di bawah hidung.

Mendengar daulat sang raja, seketika itu pula para pelukis saling berargumen, masing-masing saling menyampaikan pendapat bahwa karyanya lah yang benar. Perdebatan berkepanjangan, hingga sang raja yang kemudian mengakhirinya.

"Kalian adalah ahli-ahlinya, silakan kalian temukan yang paling benar. Kini tengah malam sudah cukup lama berlalu, besok begitu fajar menyingsing aku harus berangkat membawa jambangan ini," tutup sang raja sambil berlalu dengan menenteng jambangan yang akan dibawanya berlayar.

**

SEPENINGGALAN sang raja, perdebatan antarpelukis pun berlanjut bahkan kian memanas, taksatu pun diantara mereka yang mau kalah atau mengalah. Karena masing-masing pelukis memiliki murid dan pengikut-pengikutnya, takayal pertentangan itu pun kian melebar hingga menimbulkan ketegangan di antara murid dan pengikut mereka. Empat mazhab kesenimanan yang semula akur itu pun pecah.

Situasi kian memburuk karena perpecahan mereka tercium oleh sejumlah politisi yang memang tengah mempersiapkan suksesi kerajaan. Masing-masing politisi mendompleng kepada empat faksi yang pecah. Perdebatan yang semula berpusat kepada pencarian lukisan yang dianggap paling benar pun melebar; isu-isu tentang keadilan, hak rakyat atas tanah, serta tudingan-tundingan kepada sang raja pun bermunculan. Bentrok antar-massa takterhindarkan.

Manakala sang raja kembali dari perjalanan muhibah, ia dapati sudut-sudut desa di wilayah kerajaannya rusak, bahkan di sana-sini tampak ada bekas kebakaran dengan asap yang masih mengepul. Ia merunduk dengan perasaan teramat lara setelah tahu akar persoalannya ternyata pada keempat pelukis kesayangannya.

Sekembalinya di balairung kerajaan, ia menugaskan pamong untuk memanggil kembali keempat pelukis yang berseteru.

Keempat pelukis tiba, memberi hormat tapi semuanya, kini, dengan dagu yang terangkat. Ketika sang raja mempertanyakan duduk-perkara, mereka berebut bicara dengan suara nyaring. Sang raja merunduk membenam luka hati.

Ia pun kemudian berkata lirih, "jika kalian takdapat memutuskannya, carilah seorang bijak untuk menimbang dan memutuskan."

Singkat cerita, karena yang disebut para bijak itu pun sudah terpecah-pecah ke dalam faksi-faksi, maka ketika satu demi satu menyampaikan pendapatnya, pun tidak ada yang ajeg, masing-masing hanya menyampaikan "kebenaran" berdasarkan kepentingan faksinya.

Sang raja sangat kecewa, ia merunduk semakin dalam.

Dengan perasaan lara itu pula ia berlalu ke kamarnya. Ia menanggalkan seluruh pakaian kebesarannya lantas menggantinya dengan pakaian yang paling bersahaja.

"Mungkin juga saya ini sudah takpatut lagi menjadi raja," bisiknya ke diri sendiri sambil mengenakan caping.

Sang raja kemudian pergi meninggalkan kerajaan secara diam-diam. Ia pergi tidak dengan kereta kencana, tidak pula menunggang kuda, melainkan jalan kaki dan semata-mata melangkah mengikuti ibu jari kaki.

Hari, minggu, bulan terlewati. Sang raja yang kini sangat kumal itu tiba lah di suatu warung yang takkalah kumalnya. Di sana telah duduk seorang berperawakan kurus dengan pakaian yang lebih kumal lagi, pakaiannya yang mungkin semula berwarna putih itu sudah jauh dari aslinya. Lelaki yang cenderung gundul tersebut sedang terlibat pembicaraan dengan perempuan sepuh sang pemilik warung. Sang raja yang baru tiba, itu hanya memesan minuman untuk kemudian hanya mendengarkan pembicaraan mereka.

Di penghujung pembicaraan mereka barulah sang raja berkata, "Kisanak, berkenankah datang ke Caraka Galur?"

Lelaki kumal berpaling dan balik bertanya, "ada apakah gerangan?"

"Ada persoalan yang sangat rumit dan perlu ditimbang dengan seadil-adilnya, hemat saya, kisanak akan mampu memberikan timbangan," jawab sang raja yang kemudian ditambah dengan penjelasan ringkasnya.

Lelaki itu pun tertawa kemudian berkata, "bukankah itu urusan para bijak, saya ini hanya gelandangan yang ke sana ke mari tanpa tujuan, bagaimana mungkin orang seperti saya bisa memberikan pertimbangan."

"Saya mendengar dan menyimak pembicaraan kisanak," tungkas sang raja.

"Ya, tapi tadi itu obrolan biasa, hanya sekitar harga beras ketan, tentang kehidupan, tentang huma dan sawah. Tentang burung-burung yang bebas, ternak, dan kegirangan anak-anak. Semuanya tidak ada hubungan dengan kehendak saudara. Dan... saudara sendiri ini siapa sehingga mengajak saya untuk ke sana?"

"Tentang siapa saya, nanti jika kisanak berkenan akan saya jelaskan sambil jalan," kata sang raja.

"Ah, hidup saya kan bergantung kepada ke mana angin membawa arah, apa salahnya jika arah itu menentukan bertambahnya kawan," ujar lelaki kumal menyetujui ajakan sang raja.

**

ALKISAH, sejak di perjalanan sang raja memperkenalkan diri yang sebenarnya, menyampaikan riwayat kejadian di Caraka Galur selengkapnya, untuk kemudian meminta kepada si lelaki kumal agar memecahkan persoalannya.

Si lelaki kumal tertawa terbahak-bahak, namun terasa nadanya bukanlah menertawakan sang raja melainkan seperti menertawakan dirinya sendiri. Sang raja agak heran juga, mengingat di tengah kebingungan, teman barunya ini malah tertawa terbahak-bahak.

Di ujung tawanya ia pun berkata, "meski keempat kebenaran lukisan itu dijumlahkan, niscaya takakan menjadi kebenaran aslinya."

Setelah mengucapkan kalimatnya, si lelaki kumal itu pun minta diri. Sang raja, tentu, kian terheran-heran.

"Kisanak, telah kutemukan kebenaran yang selama ini kami cari. Tepat seperti yang kisanak katakan bahwa meski keempat kebenaran lukisan itu dijumlahkan, niscaya takakan menjadi kebenaran aslinya. Maka kisanak pula yang paling patut mengucapkannya di muka para pelukis dan rakyat kami, selain itu berilah kami kesempatkan untuk sekadar menyampaikan tanda terimakasih. Mohon, datanglah kisanak ke Caraka Galur," demikian permohonan sang raja kepada si lelaki kumal.

Si lelaki kumal hanya tersenyum, tetap beranjak pergi sambil berkata, "berterimakasihlah kepada sejatinya pemilik kebenaran, saya bukanlah yang hak."

Sang raja hanya sanggup menatap punggung si lelaki kumal yang menjauh kemudian menjadi noktah di cakrawala, lantas menghilang. Ia sendiri melanjutkan perjalanan ke Caraka Galur.

Begitu tiba di gerbang kerajaan, seisi kerajaan menyambut kedatangan kembali sang raja dengan penuh kegirangan. Sementara sang raja tanpa mengganti lagi pakaiannya yang kumal, segera minta agar para pelukis berkumpul, diperintahkannya pula agar hulubalang menyampaikan berita kepada rakyat agar kumpul di pelataran.

Sang raja pun kemudian bersabda, "meski keempat kebenaran lukisan itu dijumlahkan, niscaya takakan menjadi kebenaran aslinya."

Ia pun menjelaskan bahwa takperlu lagi ada pertengkaran dan saling berebut kebenaran sebab takseorang pun akan bisa mencapai hakikinya kebenaran jambangan yang telah menjadi milik sahabatnya itu.

Sejak itu, seluruh rakyat Caraka Galur pun damai kembali.

**

"Begitulah cerita yang cukup panjang itu," pungkas Jawinul kepada dua pemuda yang sedari tadi mendengarkan dengan saksama.

"Sesungguhnya kami sudah mulai faham, tapi agar tidak salah tafsir, mohon jelaskan hubungannya dengan pertanyaan kami tentang mengapa orang-orang saling serang bahkan berbunuhan atas nama Tuhan?" Tanya Pemuda 2 yang disetujui dengan anggukan kepala Pemuda 1.

"Bayangkanlah, kebenaran jambangan itu adalah kebenaran yang terukur, bendanya bisa diraba, nyata. Bahkan kepada kebenaran nyata itu pun kita takakan pernah sanggup mendapatkannya dengan mutlak. Apalagi terhadap kebenaran illahiah, yaitu kebenaran yang takberhingga, kebenaran yang takakan pernah bisa ditakar oleh keterbatasan manusia, maka bagaimana mungkin manusia mengakui telah memegang kebenaranNya? Itu taklain merupakan kejumawaan manusia yang telah merampas kebenaran illahiah. Perang atau saling berbunuhan itu semata-mata karena kejumawaan tersebut, sama sekali takada kaitannya dengan kebenaran illahiah," urai Jawinul.

"Warga Caraka Galur kiranya sampai pula kepada pemahaman itu?" Tanya pemuda 1.

Demikianlah menurut sahibul kisah, lanjut Jawinul, warga Caraka Galur pun tercerahkan, mereka bisa saling menghargai "kebenaran manusiawi" dengan tetap mengagungkan "kebenaran illahiah." Hidup mereka bukan saja damai, tapi juga sejahtera, dan kreatif.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun