Hari-hari Penilaian/Asesmen Akhir Semester telah berakhir. Murid-murid di UPTD Sekolah Dasar Inpres Nekmese bagai lepas dari jerat. Senang sekali. Pagi tiba di sekolah, membersihkan halaman dan ruang kelas seperti biasanya, apel pagi, berdoa dan bernyanyi, menyapa guru dan teman, kembali ke kelas masing-masing. Di dalam kelas masih melakukan "ritual" tetap beribadah. Membaca Alkitab, bernyanyi bersama dan berdoa lagi. Ketika membaca Alkitab, pilihannya variatif, ada yang membaca satu pasal secara utuh, ada yang membaca satu perikop saja yang terdiri dari beberapa ayat, dan ada pula yang membaca satu atau dua ayat saja.
Apa yang dilakukan selanjutnya bila semua itu sudah berakhir di tiap kelas? Di bawah pengawasan guru, para murid membaca buku dengan  pilihan bacaan yang variatif pula. Tujuannya untuk membiasakan membaca, baik membaca dengan suara nyaring/lantang terdengar maupun membaca diam. Ketika membaca dengan suara nyaring, terdengar ada murid yang membaca lancar, ada pula yang masih mengeja, terutama di kelas-kelas rendah (I dan II). Pada mereka yang membaca diam, harapan guru yakni mereka akan dapat memahami isi bacaan, dan terus merindukan untuk membaca sebagai kebutuhan, bukan sebaliknya sebagai kewajiban oleh karena berada di bawah pengawasan.
Apa lagi yang dilakukan sesudah membaca?
Nah, para murid memilih untuk bermain sementara guru melakukan tugas-tugas administrasi kelas dan pembelajaran, terutama melakukan analisis hasil asesmen untuk pengisian laporan hasil belajar murid. Pada peluang ini, sering guru berada di ruang guru. Demi menjaga agar para murid aman, maka ada pilihan pada mereka. Ada yang ke perpustakaan yang menyediakan buku-buku seadanya. Mereka akan membaca di sana, walau tidak banyak murid memilih ke sana. Lalu, ada yang memilih bermain, khususnya sepakbola untuk anak-anak laki-laki. Sementara, anak-anak perempuan memilih permainan tradisional.
Anak-anak memilih bermain satu permainan tradisional yang nyaris punah, congklak. Ya, congklak (dalam Bahasa Amarasi, aka'mare'). Saya memerhatikan anak-anak mencungkil tanah untuk membuat wadah permainan. Ya, jadilah wadah untuk bermain congklak, satu permainan tradisional yang nyaris punah jika tidak segera mendapatkan perhatian.
Mengapa congklak harusnya tetap dipertahankan/dilestarikan sebagai satu permainan tradisional yang menarik?
 Beberapa hal kritis di bawah ini menjadi alasannya.
- Mengasah kemampuan berhitung. Batu (kerikil) yang ditempatkan pada wadah permainan dihitung. Maka, mereka dipastikan akan menyebutkan baik dengan bersuara atau senyap. Jemari akan meletakkan tiap butir kerikil sambil otak bekerja. Pada sisi ini secara halus otot mata dan otot-otot halus di jemari sedang dalam koordinasi, sehingga kemampuan berhitung akan berbarengan dengan kemampuan koordinasi motorik halus. Butir kerikil yang ditempatkan pada lubang induk (kepala, bahasa Amarasi: oe 'naka') akan dihitung pada akhir permainan. Perolahan terbanyak menentukan kemenangan. Pihak yang kalah akan menutup salah satu lubang/wadah pendistribusian.
- Mengasah kemapuan berpikir kritis dan menata strategi. Pemain congklak tidak sekadar menempatkan kerikil (bijian congklak) ke dalam lubang/wadahnya, tetapi berpikir kritis darimana memulai agar dapat memandulkan permainan lawan. Selain berniat untuk memperoleh bijian terbanyak di lubang induk miliknya sendiri, ia harus dapat mematahkan langkah lawan.
- Melatih konsentrasi dan kesabaran. Tiap pemain mesti berkonsentrasi baik ketika memainkan (distribusi bijian/kerikil) maupun saat menjadi pasif ketika lawan sedang bermain (distribusi bijian/kerikil). Konsentrasi diperlukan agar secara cermat mengetahui bahwa pemain lawan sedang tertib dalam distribusi bijian/kerikil tanpa melewati wadah atau menambah bijian pada wadah induknya. Dibutuhkan kesabaran bahkan kejujuran. Pada titik ini ada nilai sportivitas dan fair play, yang melatih karakter
- Ketrampilan sosial, dua pemain akan berkomunikasi secara sportif dan fair play, sambil menata kejujuran dan ketaatan pada aturan. Dapat saja terjadi mis-komunikasi bila sportivitas, fair play, ketaatan pada aturan dilangkahi. Dalam ketrampilan sosial ini, hal berikutnya yang patut dijaga yakni pengendalian diri. Emosi terjaga agar tidak terjadi keributan antar pemain.
- Melestarikan permainan tradisional.
Demikian catatan ringan ini saya buat dan tempatkan di sini yang kiranya menjadi catatan berharga mengingat di pedesaan perlahan akan menerimba imbasan dari permainan di ranah digital.
Akankah permainan tradisional bertahan ketika akan digempur permainan digital?
Umi Nii Baki-Koro'oto, 20 Juni 2025