Senja telah pergi meninggalkan remah-remah kisah di pesisir pantai Menifo. Tapak-tapak kecil Sang Gadis Periang masih terlihat di jembatan kecil tempat tambatan tali perahu. Ombak datang bermain bersama mangrove dan sejumlah berudu di pinggiran. Beberapa ekor sapi tidur sambil memamahbiak dari muntahan rerumputan di dalam tenggorokan masing-masing.
Pada satu rumah, seorang gadis sedang menyalakan api di tungku perapian. Ia menunggu hingga bertimbun bara agar dapat memanggang ikan yang didapatkannya. Â Ia membayangkan nikmat dan lezatnya ikan segar yang akan tiba di dekat tumpukan bara. Betapa cairan dari tubuh ikan akan mendidih menyirami bara. Asap akan mengepul, aroma pantai dan laut meronda di seputaran duduknya.Â
Udara malam tiada menyengat kulit. Angin sedang memainkan gayanya bersama siulan jangkrik malam.
Ikan panggang sudah matang. Gadis Periang mencubit daging ikan panggang, dicicipinya. "Hmmm... Lezaaat!" bathinnya.
Ia segera mengambil garpu. Penyedap rasa telah disediakannya pada sebentuk piring. Makanan telah tersedia.
"Tuhan, terima kasih untuk kenikmatan yang Engkau sediakan pada hamba-Mu ini."Â
Malam tak hendak berhenti dalam gulirannya. Ia terus bergulir menuju hari fajar. Gadis Periang lelap dalam tidurnya. Ia membolak-balikkan tubuh indahnya. Ia bermimpi. Mimpi yang indah.
"Kau... kau telah lama kunantikan." Senyum sumringah terlihat di wajahnya.
Ia membalikkan badannya, tangannya disodorkan, rupanya hendak melakukan sesuatu.Â
"Braaaaaakkk!"Â