Gadis periang itu berdiri di bibir pantai. Menatap jauh, jauh nun jauh. Bukit nan menghijau dipandanginya. Ingin rasanya untuk tiba di sana hendak menapaki, meraih puncaknya sambil berteriak, "Aku di sini!"
Ia tetap berdiri di bibir pantai. Bola matanya memancarkan kerinduan pada seseorang. Ya. Seseorang itu sedang dalam kejaran emosinya. Ketika hendak mengejar, kakinya tersandung pada batang mangrov yang baru saja mereka tanam. Ia terduduk sebentar, tersenyum mengingat kelalaiannya.Â
Sebentuk perahu kecil di kejauhan mendekat. Mendekat. Terlihat dua nelayan tak perlu mengayuh untuk membuang energi. Mesin kecil yang ditempelkan pada perahu telah menjadi pendorong lajunya. Perahu kecil itu lebih tepat disebutkan namanya sebagai palung bertangan. Kedua nelayan pulang, pulang membawa beberapa ekor ikan.
Senyum dikulum manakala tiba di bibir pantai. Keduanya hendak meraih tangga ke jembatan menuju darat. Gadis periang itu menghalangi dengan gurauannya.Â
"Selamat petang, saudara-saudara. Mari kita bersama Menifo merenda petang!" demikian Gadis Periang itu berujar.
Kedua pemuda itu membawa beberapa ekor ikan. Mereka beriringan di jembatan menuju darat. Gadis Periang berjalan di depan. Mulutnya terus saja berceloteh, sementara kedua pemuda tertawa lepas, sekaligus melepas lelah.
Ya, petang telah tiba. Ufuk makin berubah warna keemasan. Mereka tiba di rumah dalam suka, ceria dan cerita dengan nada canda dan tawa.
Umi Nii Baki-Koro'oto, 13 Maret 2025
Heronimus Bani ~ Pemulung Aksara
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI