Mohon tunggu...
Hermawan Rahmadi
Hermawan Rahmadi Mohon Tunggu... Akun pribadi

Mahasiswa Sosiologi FIS UNJ

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Volunteer Berbasis Event: Dilema Anak Muda Antara Mendapat Pengalaman dan Jaringan atau Eksploitasi

2 Mei 2020   20:20 Diperbarui: 2 Mei 2020   21:24 2959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Hermawan Rahmadi

(Mahasiswa Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta)

Pekerjaan pada bidang ekonomi kreatif semakin berkembang, terlebih semenjak Presiden Joko Widodo membentuk Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) pada tahun 2015 melalui Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2015. Dalam situs resmi Bekraf, industri 4.0 membuat ekonomi kreatif semakin berkembang. Ekonomi kreatif dan digital merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. 

Banyak hal yang dapat dilakukan dengan teknologi untuk mendukung perkembangan ekonomi kreatif. Kini generasi millenial semakin menggemari profesi pada bidang ekonomi kreatif. Dengan alasan jam kerja yang fleksibel, tempat kerja yang nyaman, pemikiran atasan yang tidak kuno, dan teman kerja yang rata-rata seumuran dan masih muda.

Sebagai contoh kampus ITB yang membuka Sekolah Kopi dengan pendaftarnya ketika baru dibuka hingga ratusan calon mahasiswa. Profesi barista, usaha kedai kopi, merupakan salah satu bagian dari ekonomi kreatif, sama halnya dengan bisnis jasa Event Organizer (EO).

Event Organizer adalah penyedia jasa profesional penyelenggara acara dengan singkatan EO. Tujuan dari adanya EO adalah untuk membantu klien yang menggunakan jasanya agar bisa menjalakan sebuah acara tanpa harus repot menjalankannya sendiri. Bentuk dasar dari sebuah EO sebenarnya sudah sering kita temui pada suatu organisasi yang ada dalam masyarakat. Misalnya sebuah organisasi Karang Taruna yang ingin menjalankan acara 17 Agustus-an kemudian membentuk panitia yang bertugas sesuai dengan divisi atau bagiannya masing-masing untuk menjalankan agar acara tersebut terlaksana dengan lancar.

Di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta sendiri sudah banyak acara besar yang menggunakan jasa EO, seperti konser musik, seminar internasional maupun nasional, eksibisi, pameran, fashion show dan lainnya. Dalam menjalankannya, sebuah EO pasti membutuhkan SDM (Sumber Daya Manusia) yang banyak untuk membantu dalam pelaksanannya, khusunya pada saat suatu acara berlangsung. Biasanya EO tersebut membuka pendaftaran sebagai volunteer untuk ikut bergabung menjadi bagiannya menyukseskan acara.

Volunteer sendiri terbagi menjadi dua jenis, yaitu volunteer berbasis kegiatan sosial dan volunteer berbasis event. Volunteer berbasis kegiatan sosial adalah volunteer yang bergerak pada kegiatan sosial atau kemanusiaan dan bersifat sukarelawan atau tidak ada upah. Kegiatagan yang diselenggarankan juga biasanya bersifat non-profit.

Sedangkan, volunteer berbasis event adalah volunteer yang kegiatannya bersifat komersial dan profit (seperti konser musik, eksibsis, fashion show, pameran, dan lainnya) dan biasanya adanya upah volunteer. Dengan beberapa benefit yang diberikan seperti fee volunteer, kaos panitia, konsumsi, penginapan, sertifikat, dan lainnya. Adanya benefit dan akses informasi yang semakin mudah, membuat banyak anak muda yang tertarik untuk mendaftar menjadi volunteer di suatu event di Jakarta, khususnya anak muda yang tinggal di daerah Jabodetabek. Ditambah lagi setelah gelaran acara olahraga se-Asia yaitu Asian Games di Indonesia, kegiatan volunteer berbasis event semakin diketahui dan diminati banyak orang.

Dalam mencari volunteer untuk menjadi bagian dari tim penyelenggara (EO), biasanya memanfaatkan media sosial sebagai penyebarluasan informasi tersebut. Pihak EO bagian rekruitmen membuat semacam poster digital untuk disebarluaskan di media sosial seperti instagram, whatsapp, line dan lainnya. Bahkan di instagram terdapat akun yang khusus untuk mencari informasi mengenai rekruitmen volunteer.

Cara tersebut dilakukan karena target calon volunteer yang dipilih adalah anak muda. Riset yang dilakukan Asosiasi Penyelenggaraan Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2018 menunjukan bahwa persentase tertinggi pengguna internet di Indonesia adalah usia 15-19 tahun dengan persentase 91%. Kemudian urutan kedua usia 20-24 tahun dengan persentase 88,5%. Di urutan ketiga usia 25-29 tahun dengan persentase 82,7%. Dari urutan tiga teratas tersebut merupakan usia produktif dan dalam kategori usia millenial atau anak muda.

Banyak yang bisa didapat ketika mengikuti kegiatan volunteer berbasis event. Seperti menambah relasi, mencari uang jajan tambahan, menambah pengalaman dan sebagainya. Hal-hal tersebut yang nantinya akan terbentuk modal sosial yang ada pada setiap masing-masing individu. Modal sosial yang terbentuk seperti kepercayaan (trust), nilai, dan jaringan (network). Modal sosial tersebut yang biasa dijadikan mahasiswa untuk mengkuti kegiatan volunteer berbasis event lainnya ataupun dalam kehidupan sehari-harinya.

Dengan memiliki pengalaman yang banyak, seseorang akan lebih memiliki peluang yang tinggi ketika sudah memasuki dunia kerja. Selain dari pendidikan, banyak kantor atau perusahaan yang melihat pengalaman calon pekerjanya. Dengan sudah banyaknya pengalaman, dapat menandakan seseorang sudah terbiasa dengan tugas di dunia kerja.

Tak hanya itu, dengan mengikuti kegiatan volunteer berbasis event anak muda juga dapat menambah relasi baik itu sesama volunteer maupun orang atau kelompok lain yang terlibat dalam penyelenggaraan suatu acara tersebut. Modal-modal seperti itu yang dapat membantu anak muda ketika sudah memasuki dunia karir. Banyaknya relasi mempermudah untuk mendapatkan informasi mengenai lowongan pekerjaan.

Tetapi di sisi lain, penggunaan kata ‘volunteer’ dalam proses seleksi pengrekrutannya dapat mengarah pada eksploitasi pekerja. Dalam rekruitmennya, penyelenggara atau EO menggunakan kata ‘volunteer’ untuk mencari calon pekerjanya. Volunteer dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai relawan atau sukarelawan.

Jika merujuk pada definisi  menurut Schroeder (1998) dalam jurnal mendifinisikan relawan adalah individu yang rela menyumbangkan tenaga atau jasa, kemampuan dan waktunya tanpa mendapat upah secara finansial atau tanpa mengharapkan keuntungan materi dari organisasi pelayanan yang mengorganisasi suatu kegiatan tertentu secara formal. Selain itu kegiatan yang dilakukan relawan bersifat sukarela untuk menolong orang lain tanpa adanya harapan imbalan eksternal.

Sedangkan dalam website Indorelawan menyebutkan dalam Volunteering England Information Sheet yang mengutip dari buku The Compact Code of Good Practice on Volunteering bahwa seseorang disebut relawan jika telah menyediakan waktunya, tanpa dibayar, untuk melakukan sesuatu yang berkontribusi positif bagi lingkungan, orang lain, atau suatu kelompok.

Dari definisi tersebut artinya volunteer atau sukarelawan lebih merujuk pada kegiatan yang bersifat sosial, lingkungan, kemanusiaan yang memiliki manfaat bagi banyak orang atau kelompok dan bersifat non-profit.

Sedangkan, volunteer berbasis event sendiri adalah kegiatan yang suatu acara dilaksanakan salah tujuannya untuk mencari profit. Misalnya seperti acara konser musik, pameran seni, seminar nasional atau internasional, eksibisi, dan lainnya. Di mana orang atau pengunjung yang ingin mengikuti acara tersebut diharuskan membeli tiket. 

Artinya seharusnya anak muda yang ikut menjadi tim dari pihak penyelenggara atau EO bukan lagi menjadi seorang volunteer tetapi statusnya harus menajdi seorang pekerja yang hak-haknya dilindungi dalam undang-undang. Karena dengan penggunaan kata ‘volunteer’ dalam proses rekruitmen sumber daya manusia akan menjadi riskan terjadinya eksploitasi pekerja pada anak muda. Dengan dalih penggunaan kata 'volunteer' pihak penyelenggara atau EO bisa saja memberikan upah yang rendah dengan jam kerja yang melebihi batas (overtime). Lebih parahnya lagi tidak dibayar sama sekali padahal event tersebut merupakan event yang mencari profit. Jelas ini merupakan jenis eksploitasi pekerja khususnya pada pemuda.

Penggunaan kata ‘volunteer’ pada event profit dalam proses rekruitmen menjadi hal yang bisa dimaklumkan ketika pihak penyelenggara atau EO memberikan upah rendah dengan jam kerja yang melebihi batas. Lebih parahnya penggunaan kata ‘volunteer’ tersebut bisa saja menjadi maksud untuk mencari pekerja murah atau bahkan gratis.

Hal tersebut menjadi dilema bagi anak muda, mereka tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada harus mencari pengalaman yang banyak demi menambah peluang untuk bersaing ketika sudah memasuki dunia karir. Tetapi di sisi lain sangat rentan terjadinya eksploitasi mempekerjakan pemuda dengan upah yang rendah dan jam kerja yang berlebih (overtime), karena penggunaan kata ‘volunteer’ pada event yang mencari profit.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun