Dhenok dalam ambiguitasnya (judul puisi) tidak ingin agar pembaca dirasuk oleh penasaran. Ia dengan datar seolah membuka jalan dan pintu masuk bagi imaji pembaca yang tentunya tidak untuk tersesat.
Secara keseluruhan intention puisi Orang Tiada membahasakan perilaku manusia (masyarakat) yang telah lupa akan kebiasaan atau adat 'ketimuran'.Â
Orang Indonesia pada umumnya dalam pergaulan atau relasi sehari-hari dikenal sikap sopan santunnya (etika pergaulan). Semisal bertegur sapa, saling menghormati dan menghargai (tanpa membedakan status, golongan, ras, dan berbagai latar belakang yang berbeda).Â
Singkatnya bahwa sikap, tindakan, tutur kata, dan mindset yang mencerminkan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Pada bait pertama baris ke-1, Orang tiada menyapa sesiapa tiada berbalas apa; penyair secara jelas mengungkapkan realitas yang benar-benar terjadi. Kebiasaan sebagaimana telah dipaparkan di atas mulai diabaikan.Â
Selanjutnya pada baris ke-2, Orang tiada siapa menyapa selain sepi. Seringkali respon atas situasi (sebuah pertemuan) berupa sapaan yang dilontarkan Dhenok (tidak menutup kemungkinan untuk pembaca) kepada orang lain (sesama) menuai kehampaan atau lebih tepatnya sepi.
Interpretasi Feminisme dalam Puisi Orang Tiada
Puisi Orang Tiada dalam tampilannya tidak menyinggung sedikit pun perbedaan yang menonjolkan maskulinitas dan feminitas. Dengan itu  pembaca tidak  serta-merta menghadirkan interpretasi bahwa puisi tersebut mengekspresikan feminisme.
Terlepas dari sense dan intention, puisi ini 'meminta' pembaca untuk masuk dalam situasi kontemplasi. Sebab hanya dengan itu, dapat dikuak ekspresi dari citraan Dhenok.Â
Mungkin penyair dalam ekspresi puisinya ini se-konsep dengan Dorothea R. Herliany; "dalam mencipta puisi saya bebas dari tempurung gender. Saya tidak sedang menjadi perempuan atau laki-laki. Tidak pernah ingin peduli identitas seksual." (Suara Pembaruan, 11/11/2001).
Namun, ketika puisi ini menjadi milik pembaca, maka interpretasi tertentu bisa saja muncul.