Mohon tunggu...
Herman Efriyanto Tanouf
Herman Efriyanto Tanouf Mohon Tunggu... Penulis - Menulis puisi, esai, artikel lepas

Founder dan Koordinator Komunitas LEKO Kupang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Suara dan Celah Perjuangan Menuju Feminisme

2 Agustus 2019   20:29 Diperbarui: 3 Agustus 2019   10:51 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketika perempuan diberi keluasaan dalam bersuara. (Ilustrasi: Ingunn Dybendal)

Dhenok dalam ambiguitasnya (judul puisi) tidak ingin agar pembaca dirasuk oleh penasaran. Ia dengan datar seolah membuka jalan dan pintu masuk bagi imaji pembaca yang tentunya tidak untuk tersesat.

Secara keseluruhan intention puisi Orang Tiada  membahasakan perilaku manusia (masyarakat) yang telah lupa akan kebiasaan atau adat 'ketimuran'. 

Orang Indonesia pada umumnya dalam pergaulan atau relasi sehari-hari dikenal sikap sopan santunnya (etika pergaulan). Semisal bertegur sapa, saling menghormati dan menghargai (tanpa membedakan status, golongan, ras, dan berbagai latar belakang yang berbeda). 

Singkatnya bahwa sikap, tindakan, tutur kata, dan mindset  yang mencerminkan semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Pada bait pertama baris ke-1, Orang tiada menyapa sesiapa tiada berbalas apa; penyair secara jelas mengungkapkan realitas yang benar-benar terjadi. Kebiasaan sebagaimana telah dipaparkan di atas mulai diabaikan. 

Selanjutnya pada baris ke-2, Orang tiada siapa menyapa selain sepi. Seringkali respon atas situasi (sebuah pertemuan) berupa sapaan yang dilontarkan Dhenok (tidak menutup kemungkinan untuk pembaca) kepada orang lain (sesama) menuai kehampaan atau lebih tepatnya sepi.

Interpretasi Feminisme dalam Puisi Orang Tiada

Puisi Orang Tiada dalam tampilannya tidak menyinggung sedikit pun perbedaan yang menonjolkan maskulinitas dan feminitas. Dengan itu  pembaca tidak  serta-merta menghadirkan interpretasi bahwa puisi tersebut mengekspresikan feminisme.

Terlepas dari sense dan intention, puisi ini 'meminta' pembaca untuk masuk dalam situasi kontemplasi. Sebab hanya dengan itu, dapat dikuak ekspresi dari citraan Dhenok. 

Mungkin penyair dalam ekspresi puisinya ini se-konsep dengan Dorothea R. Herliany; "dalam mencipta puisi saya bebas dari tempurung gender. Saya tidak sedang menjadi perempuan atau laki-laki. Tidak pernah ingin peduli identitas seksual." (Suara Pembaruan, 11/11/2001).

Namun, ketika puisi ini menjadi milik pembaca, maka interpretasi tertentu bisa saja muncul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun