Mohon tunggu...
Herman Susanto
Herman Susanto Mohon Tunggu... Human Resources - Film, Musik, Kuliner

Suka U2, Dewa, Wolverine, Batman, Marvel, Coklat, masakan ayam, sate, rawon, bakso, warna hitam, putih, abu abu, biru.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pembunuh, Kesatria, dan Sang Biduan (Silat,Roman/17+)

12 April 2021   08:00 Diperbarui: 14 Juni 2021   09:47 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dahayu semakin tidak mengerti, Danur mendekat sambil berkata "Istriku adalah putri Ki Maja" sambil mengayunkan pedangnya, Dahayu menangkis dalam kebingungannya, karena ayunan pedang Danur adalah serangan untuk membunuh. Dahayu bertanya "Kakanda Danur, maafkan aku telah berbohong tapi pelaku pembunuhan 9 tahun lalu adalah Abhinaya, dan pasti dia yang membunuh komplotannya yang menyamar jadi orang terhormat"

Danur hanya diam tersenyum sinis sambil tetap menyerang, Dahayu mulai terdesak, dan ketika ujung pedang hampir menusuk ulu hatinya, tiba tiba sebuah pedang menangkis serangan itu dan Danur terhuyung beberapa langkah ke belakang karena getaran yang begitu keras. Sekarang sosok Abhinaya berdiri diantara Dahayu dan Danur sambil menghunuskan pedang dan diujung pedang tersangkut kalung giok berbentuk sabit yang patah setengah lalu melemparkan kalung itu ke kaki Dahayu. Danur terkejut dan melihat ke arah pinggang sebelah kirinya yang robek.

Bibir Dahayu bergetar "Kakanda Danur, darimana kalung giok ini?", Abhinaya menyela dengan nafas tertahan "Dia curi dari ayahmu, Dhista". Danur tertegun, melihat ekspresi wajahnya, Abhinaya membuka identitas dirinya "Aku Cakra" Danur masih berdiri terkejut, bagaimana orang yang sudah tertusuk jantungnya masih bisa hidup. "Aku bukan jin, bukan keturunan dewa Danur. 9 tahun yang lalu Daksini menusukku ke arah jantung, barusan Dahayu alias Adhista menusukku di tempat yang hampir sama. Tetapi, aku lahir dengan kelainan organ dalam. Jantungku letaknya lebih ke sebalah kanan."

"9 tahun yang lalu, saat aku mencoba melindungi ayahmu, aku hampir berhasil merebut kalung giok pembuka peti Maja, tapi terlepas dan pecah jadi dua bagian. Aku berhasil mengambil pecahannya, seperempatnya aku taruh dibawah lidah Danta, lalu aku  dibekuk oleh Daksini dan Penyihir di tengah jalan. Mengira aku mati, aku terbangun susah payah ke rumah Ki Ageng, meminta merubah wajahku dengan ramuan racun katak hijau dan darah kuda laut. Prosesnya sangat menyakitkan, 30 hari 30 malam seakan setiap otot wajahku mau meledak keluar. Untuk menunggu hari ini".

"Aku juga tahu kamu datang Dhista. Kamu datang seminggu sebelum aku keluar. Takdir mempertemukan kita sejak setahun lalu hingga hari ini" Dahayu alias Adhista begitu terguncang hingga sekujur tubuhnya bergetar hebat,airmata berlinang, dengan terbata dia bertanya "ja...diii....suamiku...Senopati..." tidak sanggup dia meneruskannya, langsung disambut Senopati dengan senyum licik dan mata bersinar "Iya...sayangku...istriku...aku pemimpin Ibuh Ireng,aku yang menghabisi seluruh keluargamu dan indahnya, aku bisa menikmati gairah asmara putri bungsu Ki Paramandana"

"Aku sudah curiga saat aku menemukan beberapa helai rambut di tangan Daksini, aku mencium bau wangi rambutmu" Dan kamu Abhinaya alias Cakra sang Elang Kelabu,mau tau rasanya gairah asmara Adhista? Si Adhista ini shio kuda...benar benar seperti kuda binal" sambil tertawa puas sampai kepalanya terdongak dan menggeleng geleng.


Cakra hanya diam menatap tajam sambil perlahan menjulurkan tangan kanannya yang sudah menggengam pedang Paruh Elang, sembari menahan sakit akibat luka yang cukup dalam oleh pedang Adhista, dan beberapa tendangan dan pukulan yang mendarat di bahu punggung dan dada kanannya. Adhista mengucurkan airmata, namun tak mampu mengeluarkan suara.

Danur menatap Cakra "Aku akan mengakhiri sakitmu...tertusuk pedang pujaanmy....juga sakitnya melihat pujaan hatimu dinikahi oleh pembunuh yang kalian cari. Tapi...aku tidak langsung membunuhmu, aku akan membuatmu melihat aku menggauli pujaanmu eh...istriku..buat terakhir kali....lalu membunuhnya di depan matamu...." Tiba tiba Adhista merangsek menyerang membabi buta dengan gerakan yang jelas untuk membunuh, namun guncangan yang dia alami membuatnya tidak fokus, dan dengan cepat Danur melucuti pedangnya dan memukul dada kanannya dengan begitu kuat hingga Adhista tercampak, sambil menyerang menyambut serangan Cakra dan terkapar memuntahkan darah.

Sekalipun Cakra terluka lumayan parah,namun dia tidak mudah ditundukkan, terlebih dia menguasai jurus Pedang 8 Mata Angin yang dikombinasikan langkah kaki patkwa. Serangan baliknya merepotkan Danur bahkan membuat beberapa goresan di lengan, bahu dan kakinya. Kali ini memang Cakra bisa fokus, karena Adhista yang setengah sadar karena serangan Danur, dan pada suatu serangan balik Cakra berhasil memukul dengan jurus Tapak Besi ke dada Danur yang membuatnya terlempar dengan rasa bagai dipukul dengan ayunan balok kayu puluhan kati.

Geram dengan kondisi ini, Danur menyarungkan pedangnya dan mengeluarkan jurus pamungkasnya Saharsa Jarum, dan setiap dia mengayunkan tangannya ke arah depan puluhan jarum menyerang ke arah Cakra, dan Cakra dengan sigap mengayunkan pedangnya  menangkis semua jarum itu sambil melangkah mendekat dengan cepat, Danur mulai kelabakan karena dalam hitungan tiga langkah jarumnya habis lalu dia menghentakkan kaki melompat melemparkan jarum hingga dua lusin terakhir lalu dia menghunus pedang dengan gerakan cepat turun ke sisi kanan Cakra namun Cakra dengan gerakan cerdik melakukan memutar ke sisi kiri sambil menghentakkan kaki dan posisi tangan memegang pedang dengan mata pedang menghadap luar kanan. Kedua pendekar itu saling melewati.

Untuk beberapa saat keduanya diam...lalu memutar badan saling menghadap. Sisi dada kanan Cakra tertembus selusin jarum itu yang melubangi paru paru kanannya. Danur tersenyum, membuka mulut hendak bersuara..tetapi dia tercekat...dia merasa dingin tetapi bukan karena cuaca...lalu sadar leher kanannya seolah basah, matanya melotot, lalu mengangkat tangan kanannya, dan dia melihat pedangnya patah, seketika dia melepaskan pedangnya dan meraba kanan lehernya yang terasa basah lalu mengangkat telapak kanannya...dan kini dia melihat darah segar, dia tersadar...tangan kirinya menggapai lalu mengepal...sampai akhirnya dia jatuh di atas lututnya dan tubuhnya pun rebah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun