Mohon tunggu...
Tarigan Sibero
Tarigan Sibero Mohon Tunggu... Pilot - Pensiunan yang masih gemar menulis

Lulusan AAU-64 | Pecinta Berat C130 Hercules | Penulis Buku 50Tahun Hercules | Pernah bekerja sebagai Quality Control and Assurance di sebuah Sekolah Penerbang

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Permasalahan pada Penyelenggaraan Sekolah Penerbangan di Indonesia

24 November 2020   14:48 Diperbarui: 24 November 2020   21:28 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintah Daerah. Keberadaan sebuah Sekolah Penerbang di sebuah daerah, Pripinsi/Kabupaten, merupakan asset daerah yang patut dibanggakan oleh daerah tersebut sehingga dapat memberikan dukungan sesuai kapasitasnya.

Pembahasan

Berangkat dari butir-butir dasar pemikiran serta permasalahan-permasalahan tersebut di atas, diadakan pembahasan dalam berbagai hal, antara lain :

  1. Bea Masuk Pesawat Latih.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1/Tahun 2009 pasal 382 mengatakan bahwa Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Manusia Bidang Penerbangan diselenggarakan dalam kerangka Sistem Pendidikan Nasional.Dengan demikian maka semua instansi terkait seharusnya memberikan dukungan serta kemudahan bagi terselenggaranya operasi Pendidikan dan Pelatihan dimaksud. Negara-negara di dunia pada umumnya membebaskan bea masuk tehadap segala peralatan atau material yang ada hubungannya dengan Olah Raga dan Pendidikan, tentunya hal tersebut juga bisa diberlakukan di Negara Indonesia. Adanya anggapan bahwa pembelian pesawat yang disamakan dengan pembelian pesawat pribadi (kemewahan) adalah keliru dan perlu dikembalikan kepada pasal 382 UU no.1/Tahun 2009 tersebut.

  2. "Training Base" dan "Training Area".
    Merupakan salah satu komponen utama bagi Sekolah Penerbang dalam menjalankan misinya untuk mencetak Penerbang disamping pesawat terbang dan personil pendukung yang handal.Setiap Sekolah Penerbang pada tahap awal persiapan operasional telah mengajukan lokasi "Training Base" dan "Training Area" kepada pihak regulator dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.Namun, untuk memperoleh izin penggunaannya masih membutuhkan waktu dan perjalanan yang berliku-liku, apalagi untuk mendapatkan sertifikasi resmi penggunaannya.Kepadatan Lalu Lintas Penerbangan selalu dijadikan alasan klasik untuk tidak meresmikan sebuah "training area". Padahal kalau melihat Sekolah-Sekolah Penerbang diluar negeri, justru keadaan traffic yang padat akan membuat setiap siswa penerbang menjadi lebih cepat dewasa dalam berlalu-lintas di udara bersama lalu lintas penerbangan umum.

  3. Security Clearance.
    Selama ini yang dijadikan referensi oleh pejabat-pejabat kompeten di Markas Besar TNI-AU adalah Peraturan Kepala Staf Angkatan Udara Nomor Perkasau//133/XII/2008, tanggal 30 Desember 2008 tentang Pengawasan dan Pengamanan Terhadap Penerbangan Non Schedule Pesawat Udara Asing dan Domestik, yang dijabarkan oleh Kasubdit Intelud melalui Pemberitahuan tentang Proses permohonan Flight Security Clearance (FSC) bagi operator penerbangan.Sangat disadari bahwa kepentingan Keamanan Negara adalah yang paling utama, namun bagi operator penerbangan yang menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan siswa penerbang tampaknya perlu mendapat perlakuan tersendiri. Antara penerbangan pesawat asing non schedule dengan pesawat-pesawat operator angkutan udara domestik barangkali masih ada koneksitasnya, akan tetapi pesawat-pesawat latih yang hanya melakukan kegiatan penerbangan lokal tampaknya tidak ada yang perlu dikhawatirkan.Kecuali dalam kegiatan penerbangan Cross-Country, pesawat latih akan mengadakan penerbangan ke bandara lain yang jaraknya juga tidak melebihi 150 NM dari "home base" nya. Untuk kegiatan ini, bila ada hal-hal yang mencurigakan, maka dalam upaya pengawasan, pihak berwenang dapat mengadakan pemeriksaan. Perlu adanya pembicaraan Lintas sektoral antar instansi terkait agar Sekolah Penerbang bisa lebih leluasa dalam menjalankan misinya.

  4. Banyak Maskapai Penerbangan Luar Negeri yang berminat melatih para siswa penerbangnya di Sekolah-Sekolah Penerbang di Indonesia.Setelah selesai pendidikan dan dinyatakan lulus, mereka bersedia dipekerjakan sebagai tenaga instruktur penerbang selama lebih kurang dua tahun, pada saat mana mereka telah memperoleh sekitar 1500-2000 jam terbang, kemudian dikembalikan kepada maskapai penerbangan bersangkutan. Pada era globalisasi, sudah saatnya Sekolah-Sekolah Penerbang Indonesia membuka pintu lebar-lebar bagi siswa-siswa asing guna lebih meningkatkan citra aviasi Indonesia di mata Internasional, sekaligus untuk mengatasi kekurangan tenaga Instruktur Penerbang di dalam negeri.

Kesimpulan Dan Harapan

Hal kekurangan tenaga penerbang di Indonesia merupakan masalah Nasional, sehingga perlu adanya komitmen yang tinggi dari semua instansi dan pihak-pihak terkait lainnya terhadap pentingnya pendidikan dan pelatihan Sumber Daya Manusia Bidang Penerbangan dengan memberikan perhatian, dukungan serta kemudahan bagi terselenggaranya pendidikan dan pelatihan penerbang pada Sekolah-Sekolah Penerbang di Indonesia.

Dengan demikian beban pikiran dan beban finansil di Sekolah Penerbang dapat dikurangi sehingga masing-masing Sekolah Penerbang dapat berkonsentrasi penuh dalam mendidik dan melatih siswa-siswa penerbang yang kelak akan menjadi penerbang yang handal, professional, kompeten, bertanggung jawab serta memiliki integritas tinggi.

Semua permasalahan tersebut di atas sering dibahas dan didiskusikan, baik secara bilateral maupun multilateral (lintas sektoral), namun jarang sekali ditindak lanjuti. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun