Musim penghujan datang untuk kesekian kali. Hujannya berjatuhan membawa perubahan demi perubahan. Pohon-pohon karet dan jambu mulai bersemi lagi. Sebelumnya mereka hampir mati. Hampir rapuh dahan-dahannya dihantam panas kemarau dan serangan semut. Â Sungai yang kering karena musim kemarau telah terisi air lagi. Ikan-ikan yang hilang pun secara ajaib ada di kolam yang semula kering tersebut.
Perubahan keadaan juga perputaran waktu dan saat ini, waktu sudah bersahabat dengan mereka berdua. Tahap pertama tentang langkah Dewie untuk keluar dari STIGARAYA kini hanya tinggal hitungan hari. Perjuangan panjang ibu dan ayahnya, terutama sang Bu yang mati-matian mencari dana untuk kuliah Dewie pun  akan berakhir.
Tepatnya sehari lagi Dewie Wisuda. Â Tinggal memikirkan tentang Yudisium saja, kemudian kuliah Dewie benar-benar rampung. Di dalam kos pun, pakaian-pakaian Dewie telah mulai habis, juga barang-barangnya. Tepatnya seminggu lalu, Dewie sudah mulai beres-beres kos. Mengangkut hampir semua pakaian dan peralatan masaknya dengan Pickup, untuk dibawa pulang ke rumah.
Pagi itu mereka berdua bingung  mengenai baju mana yang harus dipakai dalam acara. Pak Darwis ingin pakai jas dan Bu Sumarni ingin pakai kebaya. Tapi salah lagi usul masing-masing itu.
Dalam kamar, mereka saling menilai.
Tidak pantas pakai jas?. Badan bapak hitam kok pake jas guyon isterinya sambil tertawa-tawa saat melihat Pak Darwis mengenakan jas.
Ah..kaya kamu ini putih saja sahutnya sedikit jengkel, namun tetap dalam situasi senda gurau.
Bapak itu pakai batik saja, lebih luwes. Kalau pakai jas sudah mirip wayang kulit. Bapak itu wayang yang hanya kelihatan tulang. Jadi gak cocok benar pak, jika pakai jas."
Iya...iya jawab Pak Darwis, sambil melepas jas yang dipinjam tetangga, lalu mencoba memakai batik yang sebelumnya telah ditukar isterinya.
"Nah..,kalau pakai itu kan lebih rapi. Terus tinggal pakai peci? puji isterinya.
Pak Darwis senyum-senyum di depan kaca lemari ketika melihat penampilannya yang berbusana batik. Jarang-jarang ia ditukarkan batik selama Dewie berkuliah. Uang tetap dikirim untuk Dewie, walau akui Dewie ia telah memiliki pekerjaan sendiri. Tapi toh, pesangon dari orang tua tetap mereka selip-selipkan di saku-saku Dewie tanpa ia sadari dan baru tersadar ketika telah sampai di kosannya. Orang tua cukup dengan pakaian seadanya dan makanan seadanya. Semua ikhlas mereka korbankan semata-mata untuk perubahan keadaan putrinya.
Nah coba sekarang gantian aku  lagi yang pakai kebaya?  bujuk suaminya.
Bu Sumarni menurut. Dia kenakan kebaya cokelat barunya yang juga dibeli bersamaan dengan  batik suaminya. Bagaimana pak? katanya meminta pendapat. Badan ibu juga kekurusan?. Kebayannya kebesaran?. Tapi tetep cakep kok Bu. Cakep di mata Bapak puji suaminya.
 Bu Sumarni sedikit manyun-manyun malu, mendengar pujian juga pendapat suaminya. Ya sudah?, besok pagi Bu tak kecilkan baju ini di pasar  Senin. Ibu punya langganan jahitan di sana, sekaligus menjual sayur-sayur itu. Lumayan pak, buat tambah-tambah sangu ujar Bu Sumarni.
 Lho..,apa sempat Bu, Dewie acaranya jam 10an. Ibu pulang kesini saja nanti jam berapa?, apa tidak terlambat bila pergi ke Banjarmasin.
Yo..caranya toh Pak?" Wajahnya binar-binar ingin menjelaskan. Bapak kan tau pasar Senin itu di mana. Nanti bapak cari ojek saja dua motor. Bapak tunggu saja di depan pasar, lapak ibu dekat juga kok dari jalan masuk pasar itu, Bapak tinggal cari lalu mengikuti jalan masuk, nanti ketemu juga. Nah kita langsung berangkat mulai sana. Jadi tidak telambat terang Bu Sumarni sambil tangannya melipat-lipat baju kebaya juga batik yang sudah ditaggalkan suaminya.
 Ibu tidak mandi? raut Pak Darwis serius dengan bibirnya sedikit manyun.
.Di pal 25 itu ada Wc umum. Mandi yang penting basah dan tidak bau kan sudah cukup?. Nggak sampai 3 menit."
Ya sudah..?, bagaimana baiknya Bu saja. Nanti sore ku coba cari ojekan di seberang kali, buat mengantar kita ke Banjarmasin" ucap Pak Darwis menerima keinginan isterinya.
Iya pak, sekitar jam 7an saja berangkatnya. Lewat sawah kita itu lho pak, jalannya biar rusak karena hujan, tapi masih bisa bila dilalui kendaraan?. Kalau lewat H.Gardu, jalannya pasti lengket sarannya.
Iya Bu."
*
Wah..tak terasa kita sudah mau lulus ya Wie? kata Rhiena saat duduk-duduk bersama Dewie dan menonton acara pagi di televisi.
 Iya, tidak kerasa waktu. Orang tuamu datang Rhien?. Dewi menengok ke arah Rhiena yang matanya membelalak melihat TV.
"Mereka pasti datang, walau jauh dari Sungai Gampa sana, namanya juga orang tua?, masa tidak mau datang di cara anaknya? timpal Rhiena mengambil gelas yang berisi kopi susu.
Sruuuuppp...sruupp!!! Ahhh!!!.
Kalau orang tuamu sendiri? tanya balik Rhiena.
"Ya..,mereka datang, tapi tak pasti jam berapa. Paling sekarang mereka masih bingung memilih baju. Rencananya nanti, kepengennya aku membawa mereka berdua melihat-lihat masjid Sabilal?
"Hahahaha...kenapa jadi kamu lihatkan ke situ?. Lebih baik dibawa jalan ke tempat wisata saja. .Biar pikian mereka bedua refresh" saran Rhiena.
"Bagaimana lagi? Ibuku ngebet banget pengen melihat Sabilal. Selama ini ibuku hanya bisa melihatnya di televisi.
Sebelum-sebelumnya apa tidak pernah kamu ajak Ibumu ke Banjarmasin sini?.
 Pernah, sering juga aku ajak mereka berdua ke sini. Tapi tidak mau?, katanya kalau kesana sayang pekerjaan tertinggal, dan juga biaya lagi."
"Orang tuamu perhitungan ternyata nilai Rhiena mengangguk dan menyeropot kopi susunya lagi.
Sruup..sruuup...!!! Ahhh!!.
Bukan begitu? sanggah Dewie. Kalau ku runut sendiri, dari  bagaimana mereka mati-matian mencari dana buat kuliahku?, aku paham. Mereka tak mau kesini lantaran mereka tak ingin menyia-nyiakan waktu, itu saja."
 Tapi kamu mulai semester 4 juga telah membantu perekonomian mereka? gantian sanggah Rhiena.
"Benar? datar nadanya. Â Aku sering bilang pula, bila kerjaanku telah mapan di sini?. Tapi tetap saja aku selalu menemukan uang jajan lebih di tas dan kadang di kantong celana, tanpa aku sadar. Memang unik yang namanya orang tua. Sama sekali tak percaya dengan ucapan anaknya dan lebih mengutamakan naluri mereka. Salut aku puji Dewie.
'Begitulah orang tua sahut Rhiena.
 Selain itu sambung Dewie lagi. Orang tuaku juga berargumen bahwa jalanku masih panjang. Aku masih membutuhkan lebih besar biaya lagi untuk jadi pegawai nanti. Lebih 30an juta mungkin. Itu juga salah satu sebabnya mengapa mereka tidak mau ku bawa kesini bila tidak ada urusan penting.
Memang benar katamu Rhiena membenarkan. Setelah kita keluar dari STIGARAYA ini, pasti kita akan membutuhkan biaya yang lebih besar lagi. Inilah hidup yang harus kita jalani. Yang pintar belum tentu menang melawan yang bodoh, zaman sekarang kebanyakan pakai pelicin untuk menyukseskan segala urusan. Itulah kenyataannya.
Rhiena tak lagi menyeropot minumannya, mungkin telah dingin. Kini ia asik menotok-notok dengkulnya seperti orang yang memainkan ketipung.
Dari dahulu juga memang hal seperti itu telah jadi tradisi. Budaya kotor menurutku"  jelas  Dewie.
 Bagaimana tidak kotor? lanjutnya. Kasian yang ingin menjadi pegawai priofesional, seperti penjelasan dosen kita pipinya menengok cepat  kekiri jauh, seperti menunujuk sesuatu.
"Bukankah beliau berkoar-koar meledek pegawai yang mengajar memakai teknik lampau dan menyuruh agar kita, sebagai pegawai masa depan harus menggunakan metode dan sikap keprofesionalan dalam mengemban tugas sebagai seorang pembimbing?.  Tapi  fakta yang bicara berlainan protes Dewie.
Pernah aku ikut seminar, yang topiknya membahas posisi pendidikan di Indonesia ini yang sangat jauh tertinggal di mata dunia, bahkan dengan negara tetanggapun telah tertinggal. Tak ingat aku Indonesia menempati urutan yang ke berapa. Nah yang menjadi permasalahan di situ katanya adalah, kurangnya guru Indonesia yang menguasai teknik atau cara jitu untuk meningkatkan kualitas belajar siswa-siswanya, yang pada akhirnya membuat mereka memakai cara lama dalam mengajar. Ujungnya berimbas pada melorotnya mutu pendidikan di Indonesia. Â Itu sih kata para pakar penyaji seminar itu. Apa benar pendapat seperti itu Rhien? Â tanya Dewie.
Rhiena menggeleng tidak tahu. Ia sadar juga, bila tanya itu hanya sekedar pengalih untuk mengambil nafas panjang. Dan akan dijawab temannya sendiri.
Penyelesaian seperti itu kurang tepat menurutku. Tidak kena sasaran. Permasalahannya bukan pada teknik apa untuk meningkatkan mutu pendidikan siswa. Â sebenarnya itu tahapan kedua, bukan untuk tahapan pertama. Tahapan yang lebih dini seyogyanya ada pada penyaringan yang benar-benar jurdil pada tes PNS. Sehingga calon guru yang lulus itu benar-benar calon guru yang bermutu, dan punya niat memajukan pendidikan bangsa. Memang" Muka Dewie sedikit menggeleng-geleng " Pada hakikatnya semua ingin menjadi guru juga, lantaran gajih yang diterima itu lumayan. Tapi alangkah bagusnya?, bila dalam test PNS itu, permainan sodor-sodoran amplop tidak jadi tradisi lagi" nerocos Dewie berpendapat.
Menurutku? hela nafasnya lagi dan ingin menyambung penjelasan.  Jika lulusan gurunya saja sudah asal saring maka yang benar-benar belajar dan ingin menjadi guru bijak  malah jadi calon sarjana nganggur termakan umur. Bagaimana mungkin mutu pendidikan di negara ini akan berkembang? urainya.
"Aku juga pernah mendengar tentang test yang dilakukan untuk guru-guru SMA Rhien? kembali lagi bercerita ternyata Dewie. Tampaknya belum puas ia.
 "Jadi diambil  berapa orang guru dari masing-masing sekolah dengan bidang mata pelajaran yang berbeda-beda. Kemudian dilakukan test soal dengan materi adalah UAN  di sekolah masing-masing. Kau tau setelah dilakukan test? Dewie bertanya.
Rhiena tetap diam menggeleng. Pendengar setia kali ini dia.
Ada guru yang tak lulus, bahkan minim sekali menjawab soal test UAN itu, padahal soal-soal UAN itu mereka yang mengajarkan pada masa Try Outnya. Bervariasi dari kalangan guru-guru yang gagal menjawab. Ada yang memang guru itu mengajar di wilayah pelosok sehingga bahan yang berkembang dan metode sangat lambat masuk di sekolah itu. Namun yang lebih mirisnya ada pula guru yang tidak lulus dan berasal dari sekolah favorit pula. Padahal prasarananya menunjang dan  metode lengkap, lalu kenapa guru itu tak lulus mengerjakan soal UAN?  Tanda tanya harusnya ada pada penyaringan pertama guru yang bermasalah itu? simpul Dewie.
Kita ini ikut budaya saja Wie? ucap Rhiena yang membenarkan pendapat Dewie tadi.
Begitulah Rhien, ikut apa yang diucap di sana saja? balasnya.
Oh iya? lulus dari sini kamu kemana? tanya Dewie.
Pulang kampunglah mungkin nikah di sana, Kalau kamu sendiri? tanyanya balik.
"Belum terpikir nikah aku, ingin cari kerja dulu, membenarkan biduk orang tua dulu?. Eh..tunggu? Dewie menyela penjelasannya sendiri.
Kamu mau nikah? Padahal bukannya dahulu kamu bilang ingin membahagiakan orang tuamu kata Dewie bingung.
Iya? datar nadanya, dan sambil kini ia rebahkan badan gendutnya di kasur kamar itu.
"Aku juga ingin melamar kerja dahulu? sambungnya. Â Tapi mungkin orang tuaku punya jalan lain, umur kita juga sudah matang. Â Sebagai orang tua, wajarlah bila mereka lebih sensitif keberlangsungnya ikatan keluarga ketimbang acara pekerjaan. Syukur bila mereka belum ada calon, namun bila telah ada?. Ya sudah, seperti tadi ku bilang,ikut budaya saja hahahahahah!!! tawanya lebar.
Dewie ikut tertawa dan memahami pikiran temannya itu, Temannya tak ingin membantah-bantah kehendak orang tuanya. Walaupun di sini perangainya kasar dan berani terhadap laki-laki, namun temannya yang bertubuh tambun itu tetap hormat pada orang tuanya.
 Setelah ini, semuanya  aku serahkan pada mereka kata Rhiena.
Topik telah berganti-ganti tak menentu, dari orang tua, meluncur ke dalam dunia pendidikan, dan pernikahan. Panjang mereka bercakap-cakap, terutama Dewie yang nerocos, hingga tak terasa sudah jam 11an.
*
Wah kok mendung-mendung lagi harinya? kata Bu Sumarni khawatir.
Musimnya dasar musim penghujan Bu. Mau diapakan lagi? balas Pak Darwis. Â
Mereka berdua tengah memetik sayuran di kebun mini belakang rumah, untuk dijual besok pagi. Tumben-tumben hari ini banyak sekali orang yang mengantar sayur kepada Bu Sumarni. Belum lagi ditambah dengan pesanan langganan seperti H.Idrus di pasar Senin besok. Bu Sumarni senang benar. Bakal mendapat banyak rezeki , pikirannya.
Tapi Bu," tukas Pak Darwis sambiln menyeka peluh. "Apa ndak berat bawaan dagangannya?. Kok Bapak mengira-ngira terlalu banyak nanti bila ditaruh di sepeda? ucap suaminya .
 Tidak apa-apa Pak, dekat juga pasarnya. Lagian?, paling mulai jalan keluar desa ini saja aku mendorong sepeda karena becek. Bila nanti sudah sampai di jalan beraspal  mudah saja? kata isterinya sambil mengangkat karung yang sudah penuh dengan sayuran pucuk waluh. "Tidak perlu didorong lagi? sambungnya.
Hehehe!!??. Maafin bapak ya Bu, kalau selama ini tidak bisa berbuat apa-apa untuk si Dewie? akui Pak Darwis yang duduk ngedemprot di bawah pohon karet.
Apa yang salah Pak?, jadi minta maaf? Bu Sumarni berjalan menuju pohon karet untuk ikut bernaung.
 Hmmm!!!!!  hela nafas isterinya saat sudah duduk dekat Pak Darwis. Bu Sumarni mengusap keningnya yang penuh keringat, dan sesekali Pak Darwis dari samping mengipasinya dengan topi purun yang ia kenakan.
Bapak itu yang penting sudah tidak bingung-bingung lagi?, sudah percaya dengan kemampuan keluarga, sudah yakin dengan rezeki yang Allah bagikan untuk kita. Itu saja aku sudah bersyukur, tidak ada yang disalahkan. Kalaupun bapak merasa lemah dengan keadaan bapak sekarang, itu memang Allah telah memberikan jalan yang lebih baik untuk kita pak.  Percaya saja dan jangan itu dijadikan  sebagai sebuah kemunduran mutlak, nasihat isterinya.
 Iya Bu. Bapak berjanji bakal semangat dan lebih mampu menata sikap walau dalam keadaan dadakan yakin pak  Darwis.
 Ya sudah. Sayuran juga sudah penuh. Ayo ke rumah.  Aku belum masak-masak untuk nanti sore ajak isteri.
"Iya Bu? berdiri dari duduknya. Ehh!!!.. bunyi lepasan nafas dari mulut Pak Darwis ketika mau berdiri. Susah ia berdiri, dan Bu Sumarni dengan sigap menangkap tangan kanan suaminya. Membopohnya agar pondasi tongkat dapat berdiri tegak dan cengkraman tangan kiri lebih stabil.
 Sejurus kemudian setelah berdiri.
 Sudah Bu? suara Pak Darwis meminta isterinya melepaskan bopohannya. Mereka berdua pun meninggalkan kebun kecil itu untuk menuju kedalam rumah. Bu Sumarni menggendong karung berisi sayur dan Pak Darwis berjalan  mengikuti tertatih-tatih dengan tongkat selalu dikapit ketek kirinya.
*
Jam 2 dini hari.
Darrr!!!...Dar!!!! Dar!!!! bunyi petir menyambar-nyambar. Mendung  siang tadi terlampiaskan pada tengah malam ternyata. Hujan belum reda sejak jam 11an malam. Gemuruh guntur disusul petir menyambar-nyambar memekik gendang telinga. Semua pohon bergoyang-goyang terhuyung condong dipermainkan angin. Genting-genting kemelotekan karena bunyi hujan yang deras.
Allahu Akbar... Allahu Akbar.. Allahu Akbar.. takbir-takbir dilantunkan Bu Sumarni. Kencang sekali angin yang membawa hujan ini? lebat seperti topan, gundah hatinya. Ia cemas bila hujan tak jua reda, tentu ia tak dapat berdagang di pasar Senin. Ingin Bu Sumarni keluar rumah menuju sumur untuk berwudu, namun masih maju mundur nyalinya. Dia pun tak berani mengingat petir masih menjilat-njilat bumi. Bu Sumarni berjalan ke dapur dan di samping rumahnya, Â ia berwudu dengan air yang terisi penuh di gentong.
Ushalli sunnatat-Tahajjudi rakataini lilaahi taaala..Allahu Akbar!!!.
Berserah tubuh itu. Ia lupakan semua kecemasannya. Ribut badai di luar dengan guntur-guntur meledak seperti bom bertaburan tak mengusik heningnya. Tenang. Bibirnya bergetaran. Mukenanya separuh basah oleh taburan air bekas terciprat-ciprat rintikan hujan yang melumasi tubuh dan tembus keluar mukena. Dengan khidmat ia lewati tahap demi tahap penyelesaian percakapannya dengan sang Tuhan.
Seperti biasa dalam khusunya ia selalu panjatkan doa sebagai harapan dari seorang manusia yang percaya betul dengan kekuasaan Tuhannya.
Ya Allah sang Pemberi segala rahmat. Sang Penujuk jalan penerang bagi semua umat. Terima kasih dan berBu syukur hamba utarakan kepada-MU Ya Tuhanku..Engkau telah luluskan anakku, Engkau telah kabulkan doaku agar dia tak menjadi anak durhaka yang melawan dengan orang tua..Terima kasih Ya Allah..Hamba hanya debu diluasnya jagat ini. Semua hal pernah hamba perbuat. Entah itu pahala  ataupun ketelodoran hamba dalam melakukan dosa. Hamba minta pengampunan dari-MU wahai Tuhanku..,Selamatkan hamba dari amuk-MU. Selamatkan hamba dan keluarga hamba. Sungguh kami tak berdaya tanpa ridho-MU. Ya Allah Ya Tuhannku, terangkanlah langit, dan keringkanlah jalan?, Biarkan hamba kais rezeki dari-MU di pagi nanti, Ya Allah Ya Tuhanku kabulkanlah permintaanku, Amin ya robbal alamin.
Usapan kedua telapak tangan mengakhiri serunya dalam berdialog dengan sang Khalik.
Hujan di luar masih gencar meyapu semua bidang. Dinding, batang pohon, dan rerumputan tak luput dari amukanya. Bu Sumarni melepas mukenanya, masih berharap-harap cemas. Pergi kaki-kakinya itu menuju dapur. Lebih baik sekarang  memasak dahulu dan nanti mengurus dagangan, gumamnya. Bu Sumarni mengambil segala panci dan diisi air lalu panci tersebut ia taruh di atas besi pemanggang untuk masak. Memasak airlah ia.
Selang setengah jam, reda juga hujan deras itu.
Alhamdulillah...? sebut syukurnya.  Nasi yang baru dimasak bisa ditinggal sejenak, maka bergegaslah ia keluar rumah. Di pinggir rumah, dengan telaten ia susun dagangan berupa umbud 4 batang dan belum dipotong-potong, kangkung 50ikat, pucuk waluh kiraya 5o-an ikat juga , 3 buah waluh dan ubi jalar. Ya ubi jalar, jarang-jarang Bu Sumarni dikirimi dagangan ubi jalar. Sekarang ia membawanya sekitar 100 buah. Berat ubi itu. Tapi tetap saja Bu Sumarni ingin menjual semua, mubajir bila ditinggal. Di depan untuk penyeimbang sepeda, Bu Sumarni  membawa dua bakul berisian mangga mudadan juga jambu merah untuk rujak, biasanya Bu-Bu Anjir suka merujak. Perbakulnya terisi 3o buah.
Sambil menyelam minum air, pepatah ini tepat untuk kegiatan Bu Sumarni. Â Tubuh itu seperti terbagi dua. Sekarang ia kerjakan perkara masak, setelah tadi ia mengurus daganganya. Nasi ternyata sudah matang tinggal dipindah kepanci yang lebih besar untuk ditanakkan
. Selesai itu, beralih lagi ia tata dagangan, umbud telah dia potong menjadi 8 bagian. Empat di karung kiri dan empat dikarung kanan. Kemudian Ia campurkan semua ubi jalar masuk kemasing-masing karung goni itu. Setelahnya, ia isi lagi celah-celah yang masih ada dengan buah waluh. Tapi seperti tak muat, maka ia pindahkan 2 buah waluh besar-besar itu ke depan. Masuk dalam bakul dan menjadi teman untuk mangga serta jambu di situ. Pucuk waluh ia keluarkan dari karung, kangkung pun seperti itu. Kemudian kaki-kakinya berjalan  bolak-balik kolam untuk mengisi bak besar dengan air. Setelah 5 kali bolak-balik, bak itupun sekarang telah penuh dengan air. Ia ambil satu persatu pucuk waluh.  Bu Sumarni  cuci bersih-bersih sayuran itu, lalu ia keringkan di atas amparan karung lebar yang dia gelar diatas tanah. Setelah pucuk waluh?, kangkung pun sama dan diampar pula di atas alas karung yang berbeda.
Pekerjaan itu  beres, tinggal menunggu pucuk waluh dan kangkung  supaya kering agar kurang beratnya. Bu Sumarni berjalan ke dapur lagi, kali ini tampak ia ingin memasak sayur untuk suaminya di pagi nanti. Di dapur tersedia jantung pisang, tanpa berpikir tetek bengek mengenai menu khusus seperti koki-koki, segera saja dia potong jantung pisang itu dan mengolahnya menjadi oseng-oseng. Tempe sisa malam tadi juga ia panasi agar masih nyaman untuk dijadikan lauk bagi suaminya. Sebenarnya hal seperti ini lumrah dalam keluarga itu, memanasi makanan agar tidak basi dan agar masih enak untuk dikosumsi lagi.
Jam berputar menuju angka 4 dini hari.
Masakan telah siap. Pucuk waluh dan kangkung telah ditata, dia telungkupkan ujung-ujung karung menuju satu sisi. Gulung, Â dan membuat pucuk waluh juga kangkung terbungkus seperti makanan kebab yang membungkus sayur dan daging dengan tepung. Ia ikat satu persatu karung dengan tali ban, dan setelah itu dia tumpuk pucuk waluh serta kangkung di atas boncengan sepeda. Ia ikat semua dagangannya perlahan hingga dirasa kuat erat menali semua sudut dagangan. Â
Maka selesailah, dan siap berangkat.
Bunyi pengajian di langgar Poyo dari kejauhan telah disetel melalui kaset. Sebentar lagi azan. Bu Sumarni sedikit mengistirahatkan tubuh di emperan samping rumahnya. Ia mengamati kaki-kakinya kotor kena lumpur. Benar?, hujan tadi  juga membuat samping-samping rumahnya becek berair.
Berhenti dari beristirahat, dan masih sambil mendengarkan azan, segeralah Bu Sumarni berjalan menuju sumur untuk berwudu.
Kantuk sudah hilang sejak tadi ia terjaga karena hujan. Kini hanya dingin embun yang mendekap. Ia basuh mukanya dengan air sumur. Hidung, siku tangan, ubun-ubun dan kaki juga ia basuh. Kali ini Bu Sumarni tak menunggu kamat, selesai azan ia langsung salat. Sekitar delapan menitan beribadah, lalu selesailah ia menunaikan salatnya itu.
Mengenakan jaket anaknya sebagai penangkal dingin,dia lalu keluar rumah. Tak lupa bungkusan plastik merah berisi kebaya yang hendak ia kecilkan ia bawa dan gantungkan disetang kirinya. Bismillahirrahmanirrahim!!.., ia dorong sepedanya  melancar menuju pasar.
Menyusuri jalan desa,  dingin benar-benar datang dan hinggap di tubuh yang bisa mereka serang. Tetesan hujan menjadi embun menempel di dedaunan  dan terus tersibak tubuh juga kaki Bu Sumarni. Tetesannya dingin air, basah menggeletukkan gigi. Nyamuk juga kian berdenging-denging, membuat kaki-kakinya polah untuk mengusir hewan itu. Tapi tanganya benar-benar tak mampu bergerak, fokus menyetang, hingga terasa sekali bila nyamuk-nyamuk itu begitu gemuk menghisap darah Bu Sumarni. Sesekali mengaduh juga dia karena gigitan nyamuk itu. Gelap masih kental, apalagi di langit ia pandangi juga ada warna abu-abu. Mau hujan lagi?. Belum puas nampaknya bumi meminta langit untuk mengguyurnya. Laju-laju ia dorong sepedanya, walau beratnya lebih dari yang sudah-sudah, dan ban juga telah menjadi sosis dibalut roti, tapi tetap  berputar juga jentera itu.
Kamat berkumandang terdengar lamat-lamat dari kejauhan.
Masuk di jalan areal persawahan penghubung jalan utama. Remang-remang Subuh memperlihatkan banyak kubangan yang tergenang air. Â Hati-hati nian ia meniti jalan becek dengan sisi kanan adalah belukar tumbuhan kelakai, dan sisi kirinya ialah areal persawahan yang baru ditajak.
Terus berhati-hati, Â tiba-tiba sekonyong-konyong tikus menyebrang mulai semak belukar menuju persawahan. Allahu Akbar!!!!!...Teriaknya.
Kaget benar Bu Sumarni karena kaki kiri menginjak badan tikus itu. Menjingkrak kaki kirinya melangkah kepijakan lain. Tapi pijakan itu tak kokoh tampaknya. Pijakan pun amblas. Terberusuk kaki kirinya, ke persawahan. Terhuyung perempuan itu ke sudut kiri. Genggaman  setang sepeda serasa mati sulit terlepas, dan dengan liatnya ikut bergerak  juga ke sudut kiri.  Kaki kiri masuk semakin dalam ke dasar areal persawahan. Namun sayang, pijakan nipun benar-benar naas. Tajakan dimusim penghujan memang dalam airnya. Sebatas lutut kiranya. Tak mampu bertopang dan berpijak kokoh, beban berat sepeda  itupun terus condong menekan.
Ya Allah!!!...Ya Allah!!!!....gema keras meluncur dari mulutnya.
Byuurrrr!!!!! sepeda itu rubuh menimpa sosok tubuh manusia. Tenggelam di dasar kubangan sawah, Bu Sumarni coba berontak. Bekubuk-kubuk bunyi air sawah karena berontaknya. Tangan kanan dan kaki-kakinya tertindih karung umbud. Sementara karung alas pucuk waluh beserta kangkung, membungkam wajahnya. Membenamkannya dia di dasar air. Jaketnya yang terendam, benar-banar  serasa sekarung beras bersih. Berat, dan sulit melawan untuk bangun. Tangan kirinya mencoba menggapai-nggapai setang untuk memperoleh genggaman. Inginnya semua tenaganya ia kerahkan dititik itu untuk perlawanan. Tapi apa daya, bakul berisi puluhan jambu , mangga, dan buah waluh besar-besar menjadi beban lantas setang itupun menjadi perangkap lengannya. Menimbunnya bisu dengan dinginnya besi setang.  Menelungkupkan semua bebannya tanpa ampun dan  belas kasihan.
Berusaha terus berontak dalam heningnya Subuh. Bermenit-menit tubuh itu coba gagah bangkit. Mulutnya ap..up ap..up !!! terisi air kotor. Bu Sumarni  terus menyebut asma Allah Laailaahaillallaah!!!!!..Laailaahaillallah!!!..Lailaahaillallah!!!... . klupuk!!!klupuk!!!..klupuk!!!...bunyi gelebung-gelembung air menggelebuk-glebuk ke permukaan. Zikirnya tak terdengar siapapun, bahkan untuk ikan-ikan di air itu.  Asmanya hanya vertikal ke atas, menembus goni-goni yang membenamkan wajahnya. Zikir itu menusuk kabut dan merobek langit, untuk sampai kepada sang pemilik-Nya.
Tetap tak berdaya tubuh kurus itu ditekan beban.
Sekitar 6 menitan kemudian klepuk-klepuk air sudah tak lagi muncul. Tangan kirinya diam terhening.Panca indera telah menutup. Senyap dan sunyi. Udara Subuh berseru aneh. Dinginnya membias semua kesenyapan. Sedingin sukma-sukma yang masih terbang melayang-layang dalam mimpi seseorang.
Jam 7 pagi.
Pak Darwis telah selesai mandi pagi itu. Subuh tadi Dewie menelpon, kira-kira jam berapa Pak sampai ke Banjar? tanyanya.
"Paling sekitar jam  9an Wie, soalnya Bapak ingin menjemput Ibumu di pasar, dia mau mengecilkan baju katanya?.
 Oh iya. Hati-hati di jalan saja ya Pak?  pesan Dewie.
Iya?, kamu juga banyak-banyak makan di sana, biar nanti kuat kalau menunggu di gedung? saran bapaknya.
 Inggeh Pak.
Kini Pak Darwis siap. Batik ia kenakan dengan rapih, bersanding dengan peci dan celana kain hitam. Bagus?, ganteng pak? ingat Pak Darwis saat isterinya memuji kemarin pagi.
Ia senyum-senyum, seperti apa isterinya nanti memakai kebaya. Kemarin kebaya isterinya itu kebesaran, membuat suaminya tertawa-tawa meledeknya. Tapi pasti hari ini ia melihat isterinya telah cantik dengan kebaya pressnya.
Duduk ia di emperan depan. Tongkat penopang tangannya telah ia taruh disisi kiri. Menunggu dua ojek dia.
Brum..Brumm..Brummm..Brumm?? Â bunyi kendaraan lamat-lamat datang mendekat . Dan benar, itu adalah dua kendaraan pesanan Pak Darwis.
Kedua motor itupun kini telah berhenti dipelataran rumah Pak Darwis.
Ayo langsung saja? pinta Pak Darwis.
 Ayo mari Pak? sahut salah seorang ojek yang turun kemudian membantu Pak Darwis untuk naik keojeknya.
Pak Darwis mengenakan helm pinjamannya,satu helm telah dipersiapkan juga untuk isterinya. Kemudian tanpa banyak basa-basi, motor-motor itupun berangkat menuju Banjarmasin.
Lewat persawahanku saja di rei-5, kurang becek di sana? saran Pak Darwis.
Iya Pak?.
Wah ternyata banyak kubangan juga di sini? keluh Pak Darwis saat motor boncengannya melalui areal persawahan.
 Benar Pak, becek sekali. Jangan lupa Bapak berpegangan? usul tukang ojek.
Iya.., tampaknya memang hujan telah meng...??, tunggu!!!.., apa itu Men!! potong Pak Darwis tak meneruskan kalimatnya, dan bertanya kepada Imen, tukang ojeknya.
Menunjuk kesebuah ban sepeda yang muncul dipermukaan sawah, Pak Darwis lalu berseru berhenti..berhenti...berhenti!!!, itu roda sepeda!, coba berhenti dulu! kata Pak Darwis dengan raut muka mulai cemas.
Dua motor berhenti .
Imen segera mengecek dengan terjun ke area berair itu.
Sesaat kemudian.
 Benar pak! ini sepeda?  teriaknya.
Tanpa menunggu balas jawaban, Imen langsung mengangkat sepeda itu. Tapi betapa ia terkejut ketika melihat tangan kiri yang sedikit muncul pucat kepermukaan. Allahu Akbar!!!. Jo!!!..Tejooo!! teriaknya memanggil teman ojeknya.
 Bantu aku!!!, cepat kesini Jo!!.. Ada mayat!! teriak Imen lagi dengan suara ketakutan.
Secepat kilat, Tejo langsung memburu dengan ikut terjun ke kubangan. Masya Allah katanya. Dan langsung membantu Imen yang kualahan mengangkat sepeda.
Semenit kemudian sepeda telah terangkat, dan dijatuhklan ke sudut kanan di areal persawahan. Bress!!! bunyi hempasan sepeda berbeban berat jatuh kepermukaan air.
Hahh!!!!! seru Imen.
Mata keduanya makin tercekat tatkala melihat sesosok wajah yang tak asing bagi mereka. Lho ini kan Bu Sumarni!!. Ini Bu Sumarni!!!!... Bapak!!!!Koar-koar Imen. Isterimu!!!...Isterimu Pak!!!... Astagfirullah hal adzim!!! terus  Imen Berkoar-koar sambil mencoba mengangkat tubuh kaku itu.
Masya Allah Bu!!!!... Ya Allah ya Rabbi!!!.. Allahu Akbar!!! teriak Pak Darwis dengan langsung terjun dari jok motor. Terjun dengan berat.Terjun dengan nekat.
Namun apa daya, kaki kirinya benar-benar lemah, ia pun terjatuh tersungkur ke dalam kubangan air. Byuurr!!!! basah semua pakaian.  Ia terus melawan, merangkak-rangkak kemudian menyeret-nyeret badan. Kuat tenaga ini!!!.. Kau pasti kuat Wis!!!.. Jangan lemah oleh cacat!!! Persetan dengan kaki mu!!!.. Buru isterimu!!!.. Temui dia!!!.. Rangkul jasadnya!!!! berderik-derik batinnya. Terus merangkak dengan mengglepar-glepar mendekati isterinya.Baju batik, peci dan celana sudah penuh dengan lumpur. Juga wajahnya. Dan Mulutnya yang kemasukan air keruh. Terus Wis!!!..Terus!!!..Datangi dia!!!..Dekap dia!!!!. Semua tak  ia pedulikan.
Allahu Akbar!!!.Huaa..hua...hua..huaa!!!!..Kenapa kamu Bu!! kenapa jadi seperti ini!!!..Kenapa Bu!! Â sebutnya dengan tangis sejadi-jadinya. Sekuat-kuatnya.
Ayo Wis!!!!...Merangkak!!!..Terus kau merangkak!!!!.. Tak mau kah kau dekap isterimu!!!.. Tak mau kah kau peluk jasadnya!!!! mendidih hebat hati Pak Darwis,
Tejo melihat gejolak kalut dari Pak Darwis segera menyongsongnya dan membopohnya. Pun, bujangan itu tetap kualahan ketika mengangkatnya. Berontak-berontak terus tubuh Pak Darwis yang memaksa mendekati jasad isterinya.
Semua badan Pak Darwis bergetar hebat, air mata panas berjatuhan deras. Pikirannya labil, dan hanya terus menyebut-nyebut asma Tuhan.
Sudah Pak!!!!..Eleng Pak!!!!!. Eleng!!!! Nyebut....Nyebut Pak!!!!! Â teriak Tejo menenangkan.
Tubuh Pak Darwis masih berontak, badannya tetap bergetar tanpa mengurangi tekanannya, matannya tetap membelalak, deras memancarkan air mata.
Eleng Pak!!! Eleng Pak!!!!... saran Tejo lagi, dan kali ini sediki berhasil menyadarkan Pak Darwis dari sikap labilnya.
Masih berderaian air mata, tubuh yang kuat mendobrak-dobrak itu kini lunglai dipelukan seorang tukang ojek. Lemas benar terasa. Hilang semua berontak. Hilang semua asa.
Tejo membawanya duduk di pinggir jalan, dan Imen membopong tubuh kaku Bu Sumarni ketepian jalan mendekati suaminya.
Dengan terisak-isak, dan kata-kata terpotong oleh cegukannya ia pandangi jasad pucat itu. Innalillahiwainnalilahirajjiun!!! serunya, memangku tubuh isterinya. Dingin terasakan, tapi tak sedingin pikiran Pak Darwis kini.
Ibbbuu...!!! bbbaaannngun bbuuu!!," panggil Pak Darwis menepuk-nepuk pipi isterinya. .Ibbu ini kkkennnpaa....Hihihihihih!!!..Ya Allah ggustti...Kkkennnapaa jjadi sseperti iiini!!!  Muka Pak Darwis terbenam kedalam perut jasad isterinya yang dingin. Ayo Bu!! mengangkat lagi wajahnya. Ini hari Dewie llluluss  Bu?? mmmana kkebayya ibbu?" Memandang isterinya. ' Ayo pakai bbu!!! " Tangannya menggoyang-goyang jasad isterinya "bbaapak ssudah ppakai bbatik ssessuai pppesan ibbu!!! kata Pak Darwis tersengal-sengal karena cegukan lalu membenam lagi wajahnya kedalam perut jasad itu.
Tidak pantas pakai jas?... Badan Bapak hitam kok di jasi. Ah..kaya kau inii putih saja.... Bapak itu pakai batik saja?, lebih luwes?. Kalau pakai jas sudah mirip wayang kulit?. Bapak itu wayang yang hanya kelihatn tulang. Jadi gak cocok benar Pak, jika pakai jas....Iya...iya..Nah..kalau pakai itu kan lebih rapi?. Terus tinggal pakai peci?..Nah coba sekarang gantian ibu  lagi yang pakai kebaya?... Bagaimana pak?... Badan mu juga kekurusan?. Kebayannya kebesaran?. Tapi tetep cakep kok Bu,  cakep di mata Bapak .
Menggigil badan Pak Darwis. Seperti tak berhayat lagi raganya itu. Kaku di galengan pinggir jalan, dengan kaki-kakinya tetap selonjor membenam kedalam lumpur persawahan.
Tak tahan benar melihat sikap shok Pak Darwis. Seolah adadi posisi dia, Imen dan Tejo pun merembes air matanya. Â Mereka berdua hanya berdiri memandangi sebuah kenyataan bahwa keluarga kecil itu kini telah ditinggal satu anggota lagi.
Sabar Pak?..Bu Sumarni sudah enggak ada?.. Bu Sumarni juga pasti bakal tentram di sana" Â Tejo menenangkan.
Iya pak? sahut Imen.
 Sekarang ayo sama-sam kita urus jenazahnya?. Kita bawa pulang pak? bujuk Imen halus.
Pak Darwis tetap tak menyahut. Wjahnya masih membenam. Menangis.  Bibirnya masih terus bergetar-getar. Sudut pipinya juga bergetar-getar. Badannya pun sama. Tetap ia pangku jasad isterinya. Tetap ia peluk dalam dekapannya. Dalam hening Subuh yang telah berganti pagi. Dalam halimun-halimun yang mulai hilang seliweran membias udara. Mengapung-apung  menjadi saksi, seolah tau tentang  kejadian apa di kala Subuh tadi.
Beberapa bujukan lembut terus mereka berdua ucapkan ayo Pak? kata Imen. Tidak enak nanti bila ketahuan warga yang ingin ke sawah?, nanti malah geger? jelasnya.
"Benar Pak? sahut Tejo.
Lagian jasad ini kan harus segera dimakamkan , tidak baik bila memperlambat pemakaman Pak? sambungnya lagi.
Saran kali ini tampaknya berhasil mencairkan hati Pak Darwis yang telah beku. Ia pun mau dengan kode mengangguk. Dengan tetap tanggannya erat merangkul jenazah isterinya.
Ditaruh di tengah saja Men?. Biar Pak Darwis menahan mulai belakang  dan kamu yang menyetangnya usul Tejo. Iya timpalnya.
Imen dan Pak Darwis kemudian menaiki motor. Tejo gantian membopoh jasad kaku itu. Ia angkat perlahan dan membentangkannya di tengah-tengah jok antara Pak Darwis dan Imen.
Pak Darwis dengan wajah pucat pasi langsung memeluknya lagi. Menjaganya agar tidak jatuh. Mendekap dengan rasa kehilangan yang amat sangat.
Sedikit masih tersedu-sedu ia memanggil Tejo, Jo? panggilnya lirih. Tolong ambilkan kantongan plastik merah itu?.
 Tanpa bertanya tentang apa isinya, Tejo dengan sigap langsung terjun lagi ke sawah berair dan mengambil barang yang dikehendaki Pak Darwis.
Ini Pak? tangannya mengunjuk kantongan plastik. Tangan Pak Darwis meraihnya dan menaruhnya diperut Bu Sumarni yang ia bopoh.
Kebayamu Bu? ucapnya lirih. Belum sempat kamu pakai di hadapan Dewie, belum sempat anak kita tahu kalau orang tuanya juga mampu dandan untuknya? mataya kembali meneteskan air hangat.
Pak pegangan? tegur Imen dari depan. Pak Darwis mengangguk, dan motor itupun melaju pelan.
Mereka tinggalkan lokasi naas itu. Kabut masih samar-samar mengapung. Masih sedikit congkak nampaknya, serasa tetap sombong dengan dalih bahwa, ia tahu semua kejadian. Awan mendung kelabu Subuh tadi mulai memutih. Tak jadi hujan . Ceciut burung seperti melepas roh yang melihat mereka bertiga terisak-isak. Melihat, kemudian ceciutan burung prenjak-prenjak itu pula yang melepasnya  pergi ke langit. Tetesan air mata juga melepasnya dengan pilu mendayu-dayu.
Tak  dapat dipungkiri, para warga yang pagi-pagi telah pergi ke sawah pun ada yang melihat. Keget bercampur cemas, mereka yang melihat pun bertanya tentang apa yang terjadi. Tapi ke tiga orang itupun diam tanpa menghiraukannya.
Imen dan Pak Darwis terus berkendara menuju rumah, sementara Tejo langsung menuju langgar Poyo dan masjid  untuk memberi tahu bila pagi itu ada warganya yang telah meninggal dunia.
Pengurus langgar dan masjid yang menerima informasi duka itu segera langsung mengumumkannya melalui speaker pengeras suara.
Jam berderak ke angka 8 pagi.
Di rumah duka semua tetangga telah berkumpul. Walau mereka sering memandang setengah mata tentang kemampuan almarhum, toh tetap saja mereka bedatangan untuk bertakziah atau membantu persiapan pengurusan jenazah.
Pak Ratno yang juga datang melawat pagi itu bertanya kepada Pak Darwis  Wis? katanya menghampiri Pak Darwis yang tengah duduk di samping jenasah dengan baju kokonya.
 Apa Dewie sudah diberitahu prihal musibah ini? tanyanya. Lirih karena masih terpukul, Pak Darwis pun membalas kita tunggu dia Wisuda dulu?. Semoga tidak sampai jam 2 siang gilirannya. Aku ingin minta bantuanmu" Pak Darwis menatap pak Ratnho, "tolong wakilkan Dewie buat pergi ke scara itu? pinta Pak Darwis.
Kaget, pak Ratnho pun menjawab aku tidak tahu Banjar e Wis, Â biar si Sigit saja yang ku suruh pergi kesana. Biar dia yang wakilkan? usulnya.
TToh sekarang dia juga lagi nganggur di rumah? lanjut pak Ratnho.
Lho? sudah berhenti bekerja toh Sigit?.
Sudah seminggu ini dia berhenti. Katanya cukup saja sudah untuk mencari pengalaman?."
Mengagguk Oh..ya sudah?. Tolongi aku ya Nho, suruh dia temani Dewie, dan nanti bila Dewie tanya?, jangan sekali-kali Sigit bilang kalau Bu Dewie meninggal? pesan Pak Darwis. Â
 Lho?. kenapa begitu?. Kenapa tidak boleh diberitahu bila Ibunya kena musibah? tanya pak Ratnho bingung.
"Jangan Nho? sarannya sambil mundur ke belakang dengan tetap  duduk bersila dan kemudian bersandar di dinding. Pak Ratnho juga mengiringinya dan menghadap di samping Pak Darwis, menanti ulasan penjelasan darinya.
"Dia di sana sedang fokus dengan acaranya. Sebelumnya aku dan almarhumah isteriku pernah berjanji, bila bagaimanapun keadaan kita, tetap jangan sekali-kali membuat Dewie tergoncang dengan acaranya, terkecuali bila acaranya telah selesai jelas Pak Darwis.
Lalu nanti Sigit suruh bilang apa Wis? tanya pak Ratnho lagi. Dengan masih lirih Pak Darwis menyahut Bilang saja bila Ibunya sedang sakit, kalau sudah selesai acara, baru Sigit suruh dia untuk pulang. Jika Sigit bilang kalau Bu Sumarni telah meninggal, dikhawatirkan Dewie malah ngamuk, kalut di sana dan melakukan hal yang macam-macam yang merepotkan orang Nho?.
Mendengar penjelasan temannya itu agaknya kini pak Ratnho mulai paham. Mengagguk dia, dan saat itu juga pak Ranho menelpon Sigit untuk segera menemani Dewie ke acara Wisudanya di Banjarmasin.
Jam 8 lewat.
Sigit yang telah tahu perihal musibah yang ditimpa Pak Darwis segera besiap tanpa tetek bengek membahas apa-apa lagi. Cukup ia saring tiga amanah  dari ayahnya barusan yaitu, temani Dewie keacara, bilang bila Ibunya sakit, dan jemput dia bila acara selesainya cepat. Bila belum selesai sampai jam 1an, tetap temani dia di sana.
Beberapa menit kemudian, melancarlah motor Sigit.
Mentari merambat menuju tengah hari. Jenazah masih terbujur di tengah ruangan, dikelilingi para pentakziah yang tanpa henti membacakan Yassin. Mereka mengucap maaf dan menyesal saat itu, menyesal sekali atas perbuatannya dengan almarhum. Bu Sumarni hanya seorang yang ingin membantu meluluskan cita-cita anaknya. Mereka selalu berkata-kata yang tidak mengenakan di hati almarhumah. Sungguh sesal yang mendalam mereka rasakan. Sungguh tak pantas kata-kata itu, batin salah  seorang pentakziah.
Di luar, kerumunan orang melawat juga banyak, herannya orang-orang dari daerah Anjir pun datang. Tahu darimana mereka?, mungkin dari pedagang lain yang nekat pergi kepasar pagi itu. H. Idrus salah seorang pelawatnya, Diapun merasa sangat berduka dengan kejadian dadakan ini. Terkejut dan terpukul bukan main.
Sebagai seorang yang senang berderma, tidak mengherankan bila pagi itu ia menyokongkan dana untuk zakat duka yang lumayan besar. Sebuah amplop tanpa nama ia paksa masuk ke kantung baju koko Pak Darwis. Pak Darwis menolak-nolak, namun karena niat H.Idrus tulus untuk membantu, akhirnya amplop itu pun Pak Darwis terima.
Melaju terus motor Sigit.
Dalam perjalanan masih ia teringat-ingat, batinnya bertanya-tanya. Sudahkah anak itu mengakui perbuatannya selama ini kepada orang tuanya?, sudahkah ia minta maaf?, minta maaf seaku-akunya, seterbukanya, sejujur-jujurnya dengan Bu dan bapaknya.  Bila sampai sekarang ia belum sempat mengutarakan maaf dan  pengakuan tentang semua tabiat buruknya, benar-benar anak itu kelewatan dosa? batinnnya setengah mencela.
Jalanan Banjaramasin seperti biasa padat di jam-jam pagi. Deretan kendaraan berjajar penuh mengantri dengan sabar. Hal ini  terjadi di jalan Sultan Adam. sebenarnya lebih tepat, kemacetan itu selalu terjadi di setiap lajur lampu merah. Di mana kebanyakan kendaraan sering melaluinya.
Sigit telah sampai di muka kosan Nilam.
Siang ini Sigit tak menjumpai gadis-gadis berwajah pucat yang nongol dari dalam kosan dan berjalan malas untuk membeli sayuran. Sadar ia, jam menunujuk ketanda di mana aktivitas itu sudah berlalu.
Duduk diatas jok motornya, Sigit mengambil ponsel dari dalam saku untuk menghubungi Dewie.
Ting..Tung!!!..Ting..Tung!!! bunyi ponsel Dewie mengusik percakapannya dengan Rhiena.
Sigit? ucapnya reflek ketika mengetahui orang yang menghubunginya .
Tut  bunyi kyepad ponsel ditekan.
Hallo ada apa Git? tanya Dewie.
Ah tidak?. Apa kamu sudah siap untuk pergi ke scaramu, Â ini aku ada di depan kosmu. Ada yang mau aku sampaikan?, terang Sigit datar.
Hah!!! (kaget).
Dewie yang penasaran segera keluar  menemui Sigit. Ia sudah mengenakan baju sarjana hitam kuning dan menenteng topi toganya. Terlihat besar badannya itu oleh busana yang ia kenakan.
Dewie bertambah ayu. Perubahan demi perbuhan terus mengkuasinya dengan warna baru. Tambah manis, tambah seksi bodinya. Sigit pun tersenyum-senyum, mirip kejadian seperti pertama kali Sigit melihatnya berbusana dulu ketika mengantarkannya pertama  ke Banjarmasin.  Tapi sejurus kemudian pun dahinya juga mulai berkerut jika melihat kelakuan anak itu selama kuliah.
Ada apa Git kamu kesini? tanya Dewie pelan sambil berdiri menempelkan  bahu kirinya ke tiang kos.
Aku diminta menemani ke acara Wisudamu. Itu amanah dari ayahmu" Â jelas Sigit.
Dewie mengernyitkan keningnya, wajahnya juga terlihat heran dan bentuk bibirnya sedikit melengkung ke bawah mewakilkan rasa keheranannya itu.
Lho?..Bapak sama ibuuku mana? Dewie minta kejelasan.
Ibumu sakit? Sigit berbohong.
Bapakmu tak berani meninggalkannya sendiri. Pakde Darwis mau menemani Mbokde? ujar Sigit lagi.
Entahlah? pikir Dewie. Ibunya sakit?. Tak punya firasat apa-apa dia, bila Ibunya sakit. Tangan Dewie kemudian mengambil ponsel di sakunya dan langsung menghubungi orang tuanya.
Tut..Tut!!!..Tut..Tut!!! Â handphone Pak Darwis berbunyi.
Lho? sedikit kaget. Anak itu menelpon?. Pasti Sigit sudah sampai di sana. Iyakan Nho? tanyanya kepada pak Ratno. Iya itu Wis? sahutnya pelan.
Jempol Pak Darwis ingin menekan tombol hijau pada layar ponsel untuk menerima panggilan Dewie, namun secepat itu pak Ratno melarangnya.
Jangan di sini Wis? kata Ratnho dengan sedikit mendadak. Â
Kenapa Nho? tanya  Pak Darwis tidak tahu.
 Banyak pentakziah?. Nanti Dewie bingung kenapa terdengar bunyi-bunyi surah Yassin. Dia kemudian bakal curiga dan menjadi gelisah"  jelas pak Ratnho.
 Oh benar itu"  sadar Pak Darwis.
Pak Darwis langsung berdiri dibantu pak Ratnho dan berjalan keluar menjauhi dari suara orang bertakziah.
Tulalit!!!..Tulalit!!!..Tulalit!!!...Nomor yang anda tuju tidak dapat di hubungi silahkan tunggu beberapa saat lagi.... ucap operator di layar ponsel Dewie.
Lho..kenapa tidak diangkat? Dewie bingung.
Mungkin Pakde lagi di dapur dan tak mendengar telponmu Wie sahut Sigit sambil melihat-lihat kesekitar kos-kosan.
Dewie mengangguk emm.., bisa juga seperti itu Git?.
Dewie mencoba menghubungi orang tuanya lagi. Hemmm!!.. Dengusan suara hidung malepas sedikit demi sedikit penasarannya. Tergerai sedikit rambut samping kanannya yang lurus itu dengan diikuti  gerakan muka dan tangan menelusup , maka menempel lagi  layar ponsel itu di telinganya.
Setengah menit kemudian.
Assalamualalikum? salam Dewie. Kali ini terangkat juga panggilannya.
Pak? panggil ayahnya sedikit nyaring.
"Kata Sigit Bu sakit, Â apa benar Pak? Ibu sakit apa? tanya Dewie cemas. Pak Darwis membaca nada suara anaknya yang terlalu nerocositu menyimpulkan bila memang Dewie mulai berpikiran cemas. Ayahnya pun segera tanggap dengan kata-kata yang menenangkan putrinya itu.
"Ibumu kehujanan malam tadi saat mau salat, terus  paginya malah bersin-bersin, inggusan, dan  panas. Sekarang  panas dingin?. Tapi sudah Bapak keroki dan diminumi Procold terang bapaknya dengan nada ringan.
"Maaf  yo Ndo?  nadanya memelas.  Bapak tidak bisa temani kamu di acaramu. Bapak suruh Sigit buat ngewakilkan kamu, tidak apa-apa toh Wie? tanyanya meminta pengertian.
Memang terasa  kecewa. Di mana semua orang tua berkumpul menonton dan menemani anaknya di acara paling ditungggu-tunggu, namun malah orang tuanya sendiri tak dapat hadir. Kecewa, benar-benar kecewa. Tapi Dewie harus lapang dada. Bersikap dewasa. ibuku sakit?, wajarlah sebagai suami bila ayahku menemaninya. Biarlah aku berusahA tetap mandiri. Tak didampingi orang tua bukan halangan batin Dewie berpendapat.
Ah tidak perlu minta maaf  Pak? balasnya. Terus bagaimana keadaannya?.  Ini Bu sendiri sedang apa?.
Cussss!!!!! pertanyaan anaknya itu benar-benar membuat ayahnya terpojok. Hampir ia menangis mendengar tanya polos anaknya. Matanya telah merah, membesar. Sebentar lagi akan terjadi banjir bah. Mendung juga  tampak lagi di raut muka Pak Darwis. Kerutan dahi berlipat-lipat, dan bibir mulai bergetar-getar ditahan-tahan.
Sabar Wis? bisik pak Ratnho pelan sekali di telinga Pak Darwis sambil menepuk-nepuk bahu kawannya itu.
"Ibumu baik-baik saja Ndo? balas Pak Darwis ringan, mencoba tidak memperlihatkan suara yang aneh.
"Ibumu sedang beristirahat?, oh ya nanti bila telah selesai acaranya, langsung pulang segera Ndo? Ibumu mau melihat kamu memakai baju sarjana katanya? pinta Pak Darwis.
"Oh inggeh Pak? sahut Dewi.
 Setelah itu Pak Darwis mengatakan bahwa ada lagi yang harus dikerjakan, jadi Dewie harus ditinggal sementara. Ayahnya hanya berpesan itu saja dan juga doa-doa keselamatan untuknya. Semoga lancar urusan, dan selamat dalam perjalanan datang ke rumah, itulah doa Pak Darwis.
Sekarang benar-benar jadi hujan tanda-tanda di wajah Pak Darwis itu. Ia menangis. Â Terceguk-ceguk dengan kebohongannya. Kebohogan yang telah disarankan oleh almarhumah isterinya. Terkenang terus saat percakapan rancangan ide itu. Percakapan malam dengan guyon sang isteri, senyum-senyum dia sambil mengikat sayur katuk. Mata almarhumah tampak berkaca-kaca bila menyinggung langkah terbaik untuk masa depan anaknya. Yah Pak Darwis ingat itu. Di kala petang,seusai Maghrib.
Iya ndak apa-apa  Bu..? Semoga saja anak kita berhasil dan Dewie jangan sampai kita buat kepikiran tentang keadaan orang tuanya di sini ya Bu..?. Amin..?, benar Pak..biarin saja Dewie tenang di sana. Yang muda bergelut dengan pikirannya. Jangan kita campuri dengan masalah kita. Kasian nanti pikiran dia kacau. Pokoknya jangan pernah kita perberat dia, terkecuali ia telah rampung dengan sebuah kesBukannya Pak. Tugas kita hanya memberinya semangat dan mencarikan dana untuknya .  Iya Bu.?.
Menggigil  lagi tubuh Pak Darwis di pinggiran sawah . Yang mana tempat ia berpijak telah jauh dari kerumunan pelawat dan suara pentakziah. Dan  pak Ratnho terus menyemangatinya agar tegar menerima sebuah keadaan.
Ayo segera bersiap-siap saja kamu Wie, nanti terlambat keacaranya tegur Sigit yang membuyarkan sedikit lamunan Dewie. Tadi Dewie melamun.
Semoga Bu baik-baik saja? ah..nanti pasti akanku buat ibu segera sembuh?. Akan aku tunjukan baju ini di hadapannya?. Beserta peringkat yang ku dapat?. Tentu hal itu akan membuat Bu dan Bapak jadi senang dan Bu akan  lebih cepat  sembuh harap Dewie dalam lamunannya.
Okee..!!.., tunggu sebentar aku mau ngambil helm dulu? ujar Dewie.
Melalui lorong kamar, Dewie menjumpai Rhiena baru saja mandi. Sahabatnya itu mengenakan handuk dua. Satu untuk membungkus badan tambunnya dan satu membungkus rambutnya. Seperti biasa, rambutnya mirip kepala nanas. Tenang sekali rona wajahnya, seperti tak menghiraukan jam. Heran Dewie, kenapa temannya itu begitu santai.
Tak terlalu berlama-lama mempedulikannya, Dewie lalu masuk kamarnya, sedikit berkaca dan dandan secepatnya, Dewie pun segera mengambil helm, dan kemudian menuju motor Sigit. Aku duluan Rhien? pamit Dewie.
Iya..,hati-hati sambut Rhiena.
Breng....Teng!!!..Teng!!!Teng!!!Tengtengteng!!!! bunyi motor Sigit menyambut.
Dewie segera membonceng di belakangnya. Nyess!!!! Semerbak parfum Dewie langsung melilit tubuh Sigit. Lebih wangi dan kini badan Dewie tanpa hirau telah menempel kepunggungnya. Benar-benar terulang saat dahulu. Tapi walau demikian toh sekarang rasa Sigi telah hambar. Melihat Dewie yang bertubuh sintal dengan paras cantik, entah kenapa kini tatapnnya berkesan biasa saja.
Yah, begitulah pandangan lelaki, bila melihat sosok perempuan yang bertubuh sintal atau bodinya binal. Sebenarnya, kagum dari laki-laki hanya berasal dari  nafsu syahwad yang menyelimut di bola matanya saja. Semua dipandang dengan syahwad apabila seorang pria telah berhasil mencicipi tubuh yang dikagum-kaguminya itu. Maka perempuan tersebut sama sekali tak lagi untuk laki-laki megaguminya.
Namun pandangan lain memang unik. Kerap sekali kita jumpai perempuan-perempuan bertubuh semok yang di goda-gadai oleh laki-laki, dan tersenyum-senyum saat mendengarkan aneka pujian dari sang pria. Perempuan pasti menganggap bahwa, memang pujian-pujian itulah yang sesuai dengan faktanya. Dikatakan cantik, memang perempuan itu yakin bila ia cantik. Dikatakan seksi, tentu juga dia akan beranggapan bahwa itu memang tulus sebuah pengakuan dari seorang pengagum. Padahal semua itu hanya pancingan dari laki-laki yang telah berkeinginan memuncakkan semua nafsunya di ujung tujuannya. Dan bila sudah tercapai, maka seandai kaum hawa itumampu mendengarkan percakapan serta pengakuan diantara cakap-cakap pria yang mengaguminya tadi. Tentu perempuan itu akan teriris hatinya saat mengetahui pengakuan yang sejujurnya.
Wah seperti itu saja ternyata. Sudah ini. Sudah itu. Banyak yang ini. Banyak yang itu, dan beragam lainnya.
Pria yang baik-baik, tidak serta-merta memandang semuanya dari fisik, dan akan memandang hormat pada kekurangannya. Namun jarang sekali pria dengan watak seperti itu ditemui.
Seperti pada pandangan Sigit sekarang, ia pun merasa hambar lagi karena telah tahu kelakuan Dewie sekarang. Dan sungguh ia tak berkesan lagi, beda sekali seperti yang dulu-dulu. Sigit tak lagi kagum, walau penampilan Dewie telah berubah cantik. Jauh beda dengan Dewie yang dulu.
Dan Dewie sendiri tidak pernah tahu bagaimana pendapat sejujurnya hati Sigit tentang perubahan fisiknya sekarang. Ia merasa telah tinggi, dan bangga dengan puji-puji laki-laki di luaran, tanpa tahu kebenaran dari pujian itu. Maksud dari jilatan mata mereka. Karena semua kembali hanya ke pandangan nafsu saja.
Melaju di jalanan besar, tangan Dewie tanpa malu lagi telah memeluk perut Sigit.
Dewie? Dewie?, kenapa kamu ini?, kamu seperti hilang bentuk tergerus Banjarmasin batin Sigit. Diam tanpa menikmati, tanpa banyak bercakap seperti dulu, Sigit terus mengantar Dewie sampai ke gedung di mana acara Wisuda akan dilaksanakan.
Gedung Bundar menjadi tempat untuk acara Wisuda tahun ini. Banyak benar mahasiswa-mahasiswa STIGARAYA yang berjubah-jubah masuk kedalam perut gedung. Dewie ikut turun dan menunggu di depan pintu gedung, menunggu Sigit agar pemuda itu tak tersesat di dalam nanti.
 Orang tua yang mendampingi anak-anaknyaberbusana beraneka. Kebanyakan memang memakai jas, dan yang isteri mengenakan kebaya khas masing-masing daerah.
Mobil-mobil berjejer seperti barisan tentara yang sedang upacara di pagi hari. Banyak. Juga kendaraan bagus-bagus.
Bingung Sigit hendak menaruh motor jagoannya itu di mana. Banjarmasin tampaknya sudah tak ada tempat lagi untuk menyimpan motor  berasap  timbal itu. Rata-rata motor tipe matik yang ramah dengan lingkungan. Lalu kemana Sigit ingin memarkir motornya. Ah tanpa berpikir panjang, ia taruh saja motornya itu bergabung dengan motor-motor nyentrik yang lain. Dan ia pun segera menyongsong Dewie dengan percaya dirinya.
Sigit masuk kedalam gedung dengan memakai baju batik. Seperti ingin ke pengantenan. Rapi ia, tapi sedikit tampak tua. Tapi biarlah, toh enteng-enteng saja dari caranya berjalan dan menatap peserta yang lain.
Mereka berdua pun duduk di barisan nomor dua dari depan. Sigit kemudian bercakap-cakap dengan Dewie, Wie jika bisa, tolong kamu bilang dengan dosenmu untuk menyebut namamu yang lebih dahulu, dengan alasan keluarga? sarannya.
Lho kenapa harus minta seperti itu Git? tanya Dewie tidak paham.
Sigit mencoba memberi bayangan, supaya Dewie segera menyelesaikan acaranya ini, agar bisa selekas mungkin  menemui almarhumah Ibunya sebelum dimakamkan. Namun tetap mengikuti amanah Pak Darwis dengan tidak membeberkan langsung duduk permasalahannya.
Kan gini Wie? ucap Sigit pelan. Ibumu sedang sakit di rumah dan ayahmu menemaninya. Kenapa harus ayahmu yang menemani?. Apa kamu tidak merasa curiga? Kenapa tidak tetangga saja dan ayahmu menamanimu kesini Aku cuma kuatir, takut-takut sakit Ibumu itu lumayan berat. Jadi saranku, lekas-lekaslah kamu selesaikan acara ini, daripada nanti dapat kabar yang tidak diinginkan terangnya.
Woo sembarangan Git! Â nadanya sedikit jengkel. Kamu doakan Buku meninggal ya?, ku tempeleng lho nanti! candanya dengan menjotos manja lengan Sigit.
"Hehehehe!! terkekeh-kekeh Sigit. Bukan seperti itu Wie, aku cuma memberi penjelasan dan saran, coba kamu renungin sendiri.
Hening sejurus kemudian.
Benar juga kata Sigit, mengingat umur manusia itu gaib. Tak terlihat dan tak terbaca, bisa saja apa yang dikhawatirkan dia itu terjadi. Akh...!!! kenapa aku malah mengamininya. Jauhkan bala itu ya Allah, Jauhkan bala-Mu dari ibuku?. Belum sempat aku membuatnya bangga, dan belum sempat pula aku mengakui semua dosaku tentang kebohonganku kepadanya. Semoga ia selalu dilndungi rahmat-Mu, batin Dewie.
"Benar Git?, lebih baik aku datangi dosenku. Minta kebijaksanaan beliau? kata Dewie sambil berjalan  kedepan menuju stadium tempat duduk dosen.
Sigit duduk menunggu Dewie dengan tidak mau berhenti bergerak. Kaki kirinya bergoncang-goncang menginjak-injak cepat seperti kaki pendrumm. Tangannya mengelawai kebelakang bertopang pada kursi, seperti bos tengah berleha-leha. Mulutnya terasa kecut,masam hebat. Ingin sekali dia hisap rokoknya, tapi ruangan itu ber AC.
Dia tahan-tahan terus. Tapi tetap tak tahan juga ia. Candunya benar-benar kuat. Kecut, Â sekali dan semakin kecut saja rasanya. Akhirnya berjalan ia meninggalkan tempat duduknya. Berjalan keluar gedung melihat-lihat pemadangan kota. Clinguk kesana clinguk kesini, tak tetap tatapannya, dan mulut itupun kini telah tersumbat sebilah rokok LA.
Belum ia sulut rokonya, tiba-tiba kali ini tatapannya menetap pada satu arah. Bahkan tetap sekali.
 Motorku kemana, gumamnya. Keluar ia ke halaman gedung.
 Au ingat di tempat ini. Aku parkir jagurku, batinnya. Sekarang ia clingak-clinguk bukan karena menikmati pemandangan kota,  melainkan karena kebingungan kendaraannya  tidak ada.
Mas!! suara Sigit memanggil seorang pemuda yang kira-kira tepaut 3 tahun lebih tua darinya.
Mas-mas itu pun menengok, tukang parkir ternyata dia.
 Sigit kemudian berjalan menghampiri tukang parkir itu.
 Mas ada melihat motor Posh-Oneku tidak. Warnanya merah, seperti warna ini" Menunjuk motor serupa.
"Tadi parkirnya di mana? .
"Itu Mas, dekat sama pintu gerbang, gabung sama motor matik-matik? jelasnya sambil menunjuk lagi tempat ia parkir.
"Wah saya tidak tahu Mas balas tukang parkir setelah melihat lokasi parkir motor Sigit.
Sigit terdiam sejenak.
Waduh!!!. Hilang motorku, mati aku!!!, motor kesayanganku?. Setan mana yang maling!!! Sigit bersuara  cemas.
"Bentar Mas, saya tanya dengan teman parkir yang lain ". Tukang parkir itu beranjak dari tempat berdirinya, dan menuju teman-teman sepekerjaanaya.
Sigit masih diam tak bergeming.
Kalau sampai hilang!. Gawat ini? mau pulang pakai apa. Kantongku cuma ada 50 ribu, malu aku dengan Dewie kalau merengek minta telaktir. ,Dasar maling tidak sekolah!!. Tidak tau tata kerama!!!!, motor seperti itu kok tega dicuri juga!!, Â ngelamun lagi Sigit dengan perasaan benar-benar dongkol.
Semenit kemudian.
Mas..Mas!! sorak tukang parkir tadi sambil mengawai.
Sigit melihat kawaian itu langsung memburu tempat di mana arah kawaian tersebut.
Motor Mas ada di samping belakang gedung." Tukang parkir menunjuk tempat yang dimaksud. "Tadi teman saya yang memindahkannya. Katanya?, panas parkir di situ.
Berubah lega berseri-seri raut muka Sigit Oh syukur saja Mas. Bila motor saya tidak kenapa-kenapa. Terima kasih Mas? timpal Sigit sambil berjalan menuju tempat yang ditunjuk tukang parkir tadi.
Sampai pada tempat yang dimaksud, ia lihat satu persatu motor yang parkir di situ. Motor-motor itu terdiri dari motor-motor yang ebret-ebret juga ternyata. Adakah motornya?. Ternyata ada juga jagurnya. Parkir di pojok dekat tong sampah yang dindingnya bercoret-coret di samping gedung. Sadarlah ia, berarti tadi tukang parkir yang memindahkan ini, bukan semata-mata karena letak parkiranku panas, padahal aku lihat, tadi teduh-teduh saja parkiran pertamaku. Wahhh!!".., Sigite menggeleng-geleng sambil kacak pinggang. Motorku dipindah pasti karena bentuknya jelek dan tak pantas dilihat publik, makanya ia pindahkan kepojok bersama kumpulannnya seperti ini. Kurang ajar!! gerutunya.
Ia dekati motornya yang berdekatan dengan tong sampah itu. Sigit elus-elus joknya, menyayanginya. Namun sejurus kemudian matanya beralih pandang. Matanya memicing isi di dalam tong sampah. Apa itu?, bentuknya seperti balon kecil-kecil dan panjang, kiranya ada lima buah. Berserakan di dalam situ, bekas dipakai. Ah!!!  itu kan?, tak diteruskan sebutannya. Ia lalu cuek dengan menggeleng-gelengkan lagi  kepalanya. Batinnya benar-benar heran dengan adat pergaulan sekarang.
 Sambil berjalan lagi kedalam gedung, Sigit juga terlintas kembali kekejadian-kejadian yang ada di Tanjung Selat tempat dulu ia kerja. Pemandangan yang membuat dia takut dan lebih baik berhenti.
Di dalam WC, yang memang sedikit sunyi dan strategis tempatnya, lalu di sudut ruang antara Mess putra dan putri, nah di situ kiranya ia juga menemukan balon-balon kecil berhamburan sama seperti yang ia lihat di dalam tong sampah tadi. Di mana saja. Di tempat seperti apapun. Lebar sempit, terang gelap, pagi malam, jika memang nafsu sudah membelenggu  akal, maka sikap manusia tak ubahnya  lagi seperti hewan.
Masuk ke dalam mulut gedung, pikirannya hanya tertuju pada jengkelnya paman parkir tadi. Tak lagi tertuju pada hal yang ia lihat di tong sampah. Masuk terus, lalu kemudian duduk lagi bersama Dewie. Kini Sigit mendengar sambutan-sambutan dari Dosen-dosen Dewie. Dan hilang juga kejengkelannya pada paman parkir, beralih lagi kupingnya tersita oleh sambutan dari orang penting itu.
Jam menunjuk ke arah angka 1 siang.
 Bagaimana Wie?, apa boleh minta dipanggil duluan? tanya Sigit. Alhamdulillah Git, tadi aku beralasan dengan memohon-mohon kebijakan dosenku, dan akhirnya beliau mengizinkannya jelas Dewie.
"Iya syukur saja Wie.
 Kamu tadi darimana Git? tanya Dewie gantian.
Sigit pun bercerita tentang kedongkolannya kepada paman parkir, namun ia tak bercerita mengenai apa yang ia lihat di tong sampah, malas ia membahasnya. Pancingan pertanyaan Dewie membuat dia menggibah paman parkir saat itu. Dewie pun cekikikan mendengar cerita Sigit. TerhBur sekali ia. Dan Sigit juga tertawa-tawa  karena mengingat kebingungannya tadi.
Sambutan demi sambutan perlahan berakhir, dan sekarang memasuki acara di mana penyerahan ijasah serta pemberian penghormatan dari sang pimpinan STIGARAYA.
Nama Dewie dipanggil pertama kali, tak ada yang curiga sebenarnya, karena  peserta lain juga tak peduli dengan urutan NPM, lalu abjad nama, dan yang jelas peserta lain juga tak peduli tentang kapan ia akan dipanggil. Jadi kesannya cuek saja saat nama Dewie pertama dipanggil oleh pembawa acara.
Maju  dengan muka mantap dan tegap, Dewie pun menerima ijasah dan gelar sarjana. Penghormatan dilakukan oleh pimpinan STIGARAYA dengan menyibakkan tali yang berada di atas topi toga Dewie. Dewie tertunduk yakin.  Kini ia telah lulus dan bergelar Sarjana Kependidikan, Strata 1. Spesialis Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah.
Selesai giliran Dewie, hanya berhitung beberapa menit, seterusnya gantian nama-nama lain yang dipanggil oleh pembawa acara.
Kita langsung saja ya Wie? ajak Sigit.
 Temaku Rhiena belum dipanggil Git? ujarnya.
"Ya terserah saja sih? kata Sigit cuek. Mau pilih teman atau orang tua yang sedang sakit dan menunggumu di rumah" Â takut-takutinya.
Deg!!! dadanya berdegup lebih kencang. muka Dewie langsung melengos menatap Sigit. Tanpa berpikir apa-apa lagi Dewie pun menyetujui usul Sigit.
Ya sudah ayo Git setujunya.
Motor Sigit langsung keluar dari sisi gedung dan di pinggir jalan Dewie telah menghadangnya. Mereka berdua segera pergi menuju kos.
Mentari di jam siang memang panas. Angin pelit bertiup jika berdiam diri. Lihat saja para penjual bensin dan para pedagang kaki lima itu. Di pinggir jalan dan bersembunyi pada kios-kios mini, baju mereka basah oleh keringat. Tangan kananya mengipas apa saja yang bisa digunakan menjadi kipas, topi lah, koran, bahkan ada juga yang memakai piring plastik. Dewie mengamatinya sambil senyum-senyum lagi.
Untung aku berkendara hingga angin leluasa dapat ku rasa, Â batinnya.
Mendung di langit bercampur-campur warnanya. Ada putih dengan awan yang membentuknya tipis-tipis lembut laksana kapuk, ada pula yag berwarna abu-abu kelabu, seperti mau hujan oleh duka. Tapi toh sekarang adalah musim penghujan, dan Dewie anggap biasa saja tentang gejala alam itu.
Jalanan Banjarmasin makin riuh oleh motor di jam siang. Padat bersesak-sesakan seperti antri sembako. Panas tadi pun kini bertumpu tepat diubun-ubun. Tidak lari-lari memburu seperti bila mereka melaju dengan motornya, panas kini benar-benar memaku kepala pada simpang lampu merah.
Sampai di kosan, Dewie langsung masuk kedalam. Panas benar jubah itu. Ia bungkus jubah dan topi toga serta ijazahnya dalam tas. Tanpa makan ia langsung keluar lagi  mengenakan jaket putih, celana levis panjang dan kerudungnya lalu  ikut pulang bersama Sigit.
Nanti kita stop di jalan H. Bakti dulu ya Git,, aku mau beli kelengkeng favorit Buku buat oleh-oleh kata Dewie dengan wajah riang, sambil membonceng.
Kasian Dewie, malang benar nasibnya. Tak tahu kondisi Ibunya yang telah meninggal, batin Sigit.
Siip Wie? sahut Sigit  kemudian.
Di rumah duka, pelawat mulai menyepi di jam 2 siang. Salat jenazah sudah usai 3 jam lalu. Mereka sebagian kini pulang untuk melanjutkan aktivitas rutinnya. Bertani.
Pentakziah di dalam pun mulai minum-minum air aqua , memang setelah beberapa jam  mereka melakukan pembacaan surah-surah, jelas terasa benar haus mulai menclekit-clekit kerongkongan.
Bagaimana Pak?, apa masih ingin menunggu Dewie pulang? tanya H. Idrus yang masih setia melawat.
Inggeh Pak, sebentar lagi. Aku kasian dengan Dewie, bila ia tidak melihat muka Ibunya untuk yang terakhir, tapi aku kasian juga bila ia tidak bisa bersenang-senang dalam acara terakhir kuliahnya itu" Â jelas Pak Darwis yang duduk memadang wajah almarhum isterinya dari samping.
Iya Pak?, aku paham?, bagaimana  baiknya Bapak saja? sambut H.Idrus sopan dan sesakali menepuk-nepuk bahu Pak Darwis agar terus tabah.
Setengah jam sekarang.
Sigit dan Dewie menyusuri areal persawahan yang menuju kampungnya. Terus mereka sisir jalan setapak itu secara hati-hati. Ban sepeda berkelok-kelok mengkuti lajur jalan. Dan lewatlah mereka di lokasi musibah yang menimpa almarhumah Bu Sumarni.
Pelan Sigit mengendarai motor, tampak di pinggiran sawah seperti bekas tlaktoran, rusuh, berantakan, rumput berpuntal-puntal membentuk seperti sebuah stempel besar. Atau bila modernnya bisa dikatakan acak-acakan di lokasi itu lebih mirip Crop Cyrcle. Semua itu dikarenakan Pak Darwis yang meronta-ronta, mengacak-acak segala rumput sawah, dan juga karena sepeda yang berbeban berat itu lama terbenam, dan ketika diangkat, maka jadilah seperti bekas stempel.
Dewie cuek saja, hanya Sigit yag lebih mengamati dengan mengalun hormat melawati tempat itu. Ia tau dari ayahnya yang lebih cepat mendengar kabar kalau di situlah tempat Bu Sumarni wafat. Diam terus tanpa berkata apa-apa dan tak ditanya apa-apa, Â Sigit terus mengendara dengan pandangan nanar.
Kiranya sesak sekali tertindih, beban dagangan dan terbenam air selama bermenit-menit bahkan berjam-jam?. Sungguh kasian almarhumah Bude, Â semoga ia mendapat tempat istimewa di sisi Allah SWT. Amin, batin Sigit berdoa.
Tiga puluh menitan kiranya mulai lokasi itu, akhirnya Sigit dan Dewie sampai di rumah. Sebelumnya Dewie tentu terkejut ketika motor masih berjarak 100 meteran dari rumahnya.
Kenapa berkumpulan orang-orang, berpeci dan berkerudung warna-warni dengan mimik wajah pasi. Seperti melawat, pikirnya. Dan sejak pandangan pertama itu, sampai kini motor telah sampai di pelataran, tetes air mata Dewie berlinang mulai tak terbendung. Firasatnya cemas, secemas-cemasnya. Pudar kesadaran dan tak memikirkan apapun lagi terkecuali pikiran buruk tentang sebuah hal.
 Dengan langsung turun dari motor, Dewie bertanya dengan tiada kontrol lho ini ada apa!!!
Dari depan pintu ia pandangai sesosok jasad pucat berselubung kain batik Jawa, panjang cokelat-cokelat berukir daun, menyelimut kaki hingga dagunya. Terbujur di ruang tengah. Terbujur rapi, tanpa terlihat goresan apapun. Tangan-tangan mayat dapat di lipat lemas, dan wajah yang tampak pucat. Wajah yang terbuka, tak tertetutup kain itu sungguh tak asing di mata Dewie. Di samping kiri jasad itu, ada ayahnya yang menunduk dengan tangan kanan menopang kening dan peci perot. Tak kelihatan muka ayahnya,karena terbenam dalam ketidakjelasan pikiran. Badan Pak Darwis menggigil makin kuat saat menyadari anaknya telah datang dengan polosnya berdiri di depan pintu.
Kerumunan banyak di dalam, membuat Dewie makin hilang bentuk dalam kekalutan. Kelopaknya terus mengalirkan air mata.
Spontan, larilah ia dengan tas yang langsung ia lemparkan. Melayang berat tas itu, sebelum akhirnya jatuh ke lantai. Jatuh gedabuk!!! layaknya hatinya yang telah gugur dari tempatnya.
Dewie menyongsong jasad Ibunya, tubruk langsung dengan tangan kirinya juga langsung mengelus-elus rambut Ibunya.
Buuuu!!!!!!....Buuuu!!!!!!. Huhuhuhuhuhu!!!!..Buuuu!!!..Buuu!! Kenapa Bu!!!.. Bangun Bu!!!. Bangun!!!.
Istighfar Ndo!!!," Pak Darwis memburu dan mendekap. "Istighfar!! Nyebut Astagfirullah hal adzim...Astagfirullahal adzim!!!..Astagfirullahal Adzim!!!! ucap ayahnya dengan menahan rontaan dari Dewie. Semua sudah di atur sang Gusti Allah, Ibumu sudah tentram!!!, jangan kamu persulit arwahnya Cah ayu!!!" imbuhnya lagi.  Tetap Dewie meronta dalam semua kesedihan, dalam semua rasa bersalahnya, Dalam maaf yang bersembunyi  di hati selama bertahun-tahun.
 Semua Pentakziah hanya diam, menatap sayu. Menatap  pilu. Tangan mereka masih memegang Yassin, dengan duduk bertahyad. Semua tetap diam. Ikut tenggelam bersama lara.
Dewie belum mau ditinggal Bu!!! Dewie masih mau bersama Bu!!!.. Bu bangun!!!.. Dewie bawain kelengkeng kesukaan ibu !!!" Dewie terbesit ingatan tentang Ibunya yang suka dengan buah itu. "Huaa!!!!..huaahuaa!!! huaa!!!!! makin berteriak-teriak menangis memanggil Ibunya, dengan rasa hati yang liar. Lepas tanpa kontrol dari saraf.. Keadaan makin tak terkendali. Dewi duduk ngedemprot di lantai  dan menangis sekuat-kuatnya. Kaki-kakinya bergelojoh menjejak-jejak karpet, karpet pun terlipat-lipat.
Udara ruangan panas. Sepanas hati-hati orang yang tergulung sesal. Sesal terlambat dalam mengucap maaf. Terlambat dengan alur yang serasa bisa dikendalikan sendiri. Bisa di atur sendiri!. Congkak  dengan logika sendiri!!. Dengan pendapat sendiri!!. Dan semua pertalian kegiatan yang dimulai tanpa berpikir panjang. Berpikir matang!!. Bilamana sesal terucap dalam kata-kata yang tanpa didengar jasad berhayat. Tentu sesal itu seumpama orang yang melanglang samudra dengan tiada tau arah pulau tujuannya.
Maafkan Dewie Bu" ucapnya sambil mencium tangan Ibunya. "Maafkan Dewie selama ini telah sering merepotkan ibu dan Bapak!!, maafkan Dewie sering berbohong  Pak Darwis hanya dapat terus mengelus ubun-ubun anaknya.
Sudah Ndo?, Sudah" kata Pak Darwies menangis,, Â "Ibumu telah memaafkanmu. Â Sudah dan berhentilah menangis, kasihan dia. Â Berat nanti arwahnya Ndo?? kata Pak Darwis sambil terus mendekap Dewie. Ayahnya tak tahu bila pengakuan itu memang sesuai dengan kelakuan buruk anaknya selama ini. Pak Darwis anggap ucapan anak itu adalah kewajaran dari sebuah ucapan peminta ampunan dari anak untuk almarhum orang tuanya.
Di luaran, sejak tadi pelawat-pelawat yang masih setia, selalu berusaha mendongokkan kepalanya. Apa yang terjadi di dalam?. Teriakan seseorang membuat mereka beranjak berdiri. Penasaran terus berpuntal-puntalan dalam sanubari. Tak tenaglah duduk mereka, dan hingga kini masih clinguk-clinguk wajah pelawat-pelawat itu mencari tahu.
Sigit duduk di bawah pohon galam. Bergabung dengan pelawat lain.  tak kuasa juga ia menahan untuk  tidak merembeskan air matanya. Matanya merah bukan karena debu, bengkak karena air. Ia terus mencoba membaca-baca keadaan psikologi Dewie. Ia dengar dengan jelas betapa anak itu tak menerima kematian Ibunya. Penyesalan mendalam dapat ia tangkap dengan pendengarannya. Tentu Dewie masih memendam rahasia kotornya. Hingga Ibunya wafatpun. Rahasia busuk itu tetap terkubur dalam hatinya, pelajaran besar bagimu Wie!, simpulan hati Sigit.
Ayo Pak?, segera saja kita makamkan jenazah almarhumah? ucap H.Idrus yang juga tadi ikut membantu menenangkan Dewie.
Benar Wis, segera saja? sela pak Ratnho. Menganggukkan kepala dan mengusap matanya yang bengkak, menjawablah Pak Darwis baik pak, ayo Wie segera ikut bapak kemakam? bujuk sang ayah.
Inggeh Pak? sahut Dewie masih dengan suara bergetar-getar dan sesekali cegukan.
Mega terlihat di langit, putih seperti kapas-kapas mengapung. Tak ada mendung. Di Banjarmasin tadi, hari nampak campur aduk, ada mendung dan ada juga awan cerah. Tapi di kampung Rawomangun tidak. Awan putih dominan muncul dan iring-iringan awan itu melindungi lampu raksasa yang tegas menyinar. Jika dahulu semasa hidup, panas matahari terus menembakkan sinarnya membuat Bu Sumarni  mengusap dahi dan mereguk air. Entah kenapa, kini panas itu sebagian sudah terhalang  awan yang memayung.
Pak Darwis berjalan terpincang-pincang mengiring pikulan jenazah dari samping. Tak mampu buat dia untuk ikut menggotong keranda hijau lusuh itu. Walau  sulit nian untuk mengimbangi gerak kaki-kaki penggotong yang waras, tapi Pak Darwis tak mempedulikannya. Ia berjalan secepat mungkin. Sekokoh mungkin. Seolah ia melangkahbersama isterinya yang membopohnya dari samping. Yah dari samping!.
Dewie membawa toples berisi kembang dan berjalan di belakang keranda yang di pikul empat orang. H.Idrus, pak Ratno, Sigit dan seorang tetangga, mereka adalah penggotongnya. Â Ke empatnya berjalan menerebas rerumputan menuju perkuburan. Tanpa berkata-kata,terkecuali hanya suara dengung lantunan ilahi Laillahailallah!!!!..Laillahailallah!!! dan bunyi derap kaki menandakan kehilangan.
Iring-iringan rombongan terus berjalan. Mereka lewati jalan setapak di tengah kampung dengan pohon-pohon galam di pinggir jalan itu seperti ikut memendam duka. Angin selentingan berembus menerpa barisan tubuh manusia-manusia juga daun-daun pohon. Banyak jumlah barisan itu, seperti barisan pasukan semut yang berjalan mengikuti ratu mereka.
Sampai di pekuburan, segera saja proses pemakaman dilaksanakan, dan setengah jam kemudian acara pemakaman itupun telah selesai.
Pelawat-pelawat yang tersisa tapi tetap jumlahnya lumayan itu semua sudah pulang ke rumah. Hanya keluarga yang tertinggal di pekuburan, yang  mana corak makam itu terhias dengan akasia dan daun kamboja.
Masih dengan sesekali terisak. Tetes air mata Dewie begitu membenam cahaya pandangnya. Mengaburkan segala rupa dan bentuk. Kabur menuju alam yang tak mungkin ia bernegosiasi dengan-Nya. Ditaburkanlah bunga-bunga diatas pusara Ibunya, Dewie menyesal begitu sesal. Saat ini pastilah Ibunya melihat dan tentu ia bakal menangis mengetahui perangai anaknya yang lepas dari susila. Â Bagaimana pelontaran maaf yang sejati?, bingung ia?,pupus semua ancang-ancangnya. Bermaksud ingin mempamerkan semua hasil kuliahnya di depan Bu untuk menutup semua kelakuan buruknya, tapi orang yang menilai itu telah tiada. Hilang senyap ditelan bumi.
Bagaimana menuju pengampunan dari Allah dan Bu?. Apakah dengan doa?. Dengan mengaji?,apakah diterima lagi orang sepertiku untuk membaca ayat suci itu?. Tapi aku harus punya sikap positif sekarang. Aku akan bertobat dan memomong ayahku. Mungkin inilah cara terbaik untuk memperbaiki semua keteledoranku dulu hatinya berargumen.
Ayahnya hanya mampu menunduk dengan  tangannya menempel di gundukan. Antara ikhlas dan tak ikhlas, perasaan itu sulit dilukis juga sulit dimengerti, dan ditemukan jawabannya. Hati masih egois dan nurani masih larut sedih.
Siang kian berkemelut dengan jam. Putaran jam seperti mengatur kerjanya, perlahan gerak mentari mulai condong menurun dari tegaknya yang  mengambang. Pancarannya pun makin surut. Doa-doa telah teruntai dari mulut anak dan bapak untuk keselamatan bunda yang telah tiada. Hari-hari  kini harus mereka lalui tanpa perempuan yang kuat itu. Tanpa nasehatnya, tanpa senyumnya, tanpa marahnya dan tanpa gerak kesehariannya. Semua rasa menjurus pada satu bidang. Bidang yang memacu ke arah kesenyapan.
*
13. Kunci Luka
 Dua bulan berlalu kenyataan ternyata berbalik . Tegar justru dimiliki Dewie,  Yudisium telah lama berlalu, Dewie juga tegar menghadapinya. Raut sedihnya berusaha ditutup-tutupi, dan ia tetap terus selalu memotivasi diri. Memotivasi  dengan semangat kerja itulah visinya.  seolah punya semangat bangkit ia malah terus mengunci semua rasa keterpurukannya jauh  dalam alam ketidaksadarannya. Bangkit menuju kesuksesan dan tak ingin jatuh dalam keprustasian. Terbukti setelah musibah itu ia bangun, dan kini Dewie sudah menghonor di sebuah SMP yang berada dekat dengan kampungnya. Tak ingin berpikir kawin dahulu.  Ia akan terus memomong orang tuanya yang masih tersisa itu.
Pak Darwis ternyata yang jatuh. Kematian isterinya membuat mentalnya roboh berserakan seperti bangunan terhantam badai. Walau awalnya ia berusaha  bersikap tegar, tapi toh siksaan hari-hari yang ia lewati cenderung membuat jiwanya mengalami erosi, dan kini mental itu benar-benar longsor.
Pak Darwis mengalami depresi berkepanjangan, tiap pagi ia hanya duduk mendongok ke langit dari emperan depan rumah. Mirip orang sengong. Matanya menatap kosong. Tiap hari sering berjalan tertatih-tatih keluar, hanya untuk berlama-lama melihat kebun sayuran yang telah tandus kering tak terurus. Entahlah perasaan apa yang tengah ia pendam. Kadang Dewie melihat ayahnya itu menangis di tempat tidur, di sudut rumah, dan di pekarangan belakang.  Badannya tambah tirus, layaknya balutan kulit saja. Kotor dan sedikit kumuh penampilannya. Ini karena mengurus kepribadian diri yang  tak lagi Pak Darwis jamah. Dewielah yang setia menyeka peluh di tubuh bapaknya itu. Menangis juga kadang ia,  jika  memandangi ayahnya.
Sigit menatap keadaan Pak Darwis pagi itu, ia baru mengarit rumput dan melihat ayah Dewie berjalan memutar-mutar pekarangan. Ada juga anak kecil yang masuk bebas di rumah Dewie, tak menanyakan apa-apa Sigit kepada anak itu. Cuek masih Sigit terhadapnya.
 Sebagai pemuda sopan, sebenarnya Sigit selalu menyapa Pak Darwis, sesekali ia membawanya ngobrol. Tapi raut muka hampa terpasang di wajah Pakdenya itu. Hingga sangat sering obrolannya tanpa ada balasan. Hanya balasan senyum darinya. Senyum yang Sigit tak paham maksudnya. Tapi Sigit sebisa mungkin memakluminya.
Terus Sigit melihat keadaan Pak Darwis. Ia amati ruangan rumah sepi. Mungkin Dewie masih bekerja, jadi tidak ada di rumah pikirnya. Benar-benar prihatin ia. Sigit pun punya inisiatif.
Suatu malam, di tengah-tengah antara selesai Maghrib dan menjelang Isa, terjadilah percakapan di rumah pak Ratnho.
Bapak? panggil Sigit. Sigit sudah dewasa Pak, apa boleh sekarang Sigit di berikan pilihan untuk mencari pendamping hidup? mohonnya.
Saat itu di rumahnya sedang ada acara kumpul makan-makan. Ada ayah, Bu, Sigit dan adiknya. Sigit yang berbicara seperti itu tentu membuat ayahnya merasa geli, karena omongannya terucap saat tengah makan-makan.
Ngaco kamu ini Git? jawab pak Ratnho senyum-senyum.
 Mau modal apa kawin itu?, bekerja saja plonga plongo.
"Lho, bapak?. Ini Sigit serius tekannya lagi.
Sudah Pak?, dengerin anak kita ngomong dulu, jangan langsung dipotong keinginananya? ujar ibu Sigit.
'Nanti Git. Kita makan dulu setelah makan baru kita rembuk maksud kamu dengan matang? lanjut Ibunya.
Mereka pun diam masing-masing dan meneruskan makan.
Angin  di luar rumah berembus aneh, penuh teka-teki seolah itu ialah soal yang harus diselesaikan seseorang. Menyeruak angin itu, menabrak dedaunan akasia dan galam dengan kencang lalu lirih lagi. Kencang lalu lirih lagi seperti denyut keberanian seseorang dalam bertindak dan membuat keputusan. Bulan memancar dengan awan hitam menutup setengah wajahnya. Rona putihnya itu samar layaknya rahasia yang belum terkuak dan masih terpendam dalam diri. Baru ingin diungkapkan dengan jalan yang juga rahasia.Bintang hilang dari atap langit, mungkin tabirnya tertutup mega yang sedikit mendung. Bintang sembunyi di belakang punggung awan. Bersembunyi diam untuk muncul kembali dengan sebuah kejelasan.  Malam itupun senyap-senyap penuh intrik hening sebuah permainan nurani.
Selang berapa puluh menit acara makan pun kemudian usai. Mereka berempat lalu pindah berkumpul diruang tengah.
Begini Pak maksud Sigit? memulai pembicaraan. Sigit sudah punya keinginan kuat Pak?, mau menikah. Keyakinan Sigit sudah bulat? jelasnya.
Menggiling-giling tembakau strongking, ayahnnya itu duduk bersandar di dinding tanpa baju dan hanya memakai sarung, kepanasan ia karena kenyang. Ayahnya itupun merespon kamu belum matang Git?, isterimu kamu mau makani apa? makani tanah kering apa? Dulu Bapak mau jodohkan, kamunya yang minder. Padahal pas dulu itu, karena kamu juga telah kerja sekarang kamu pengangguran, malu toh le?.
 Rezeki itu pasti ada Pak,  gak bakalan sampai sengsara kalau di kampung itu, asal mau bertani tentu hidup saja. Nanti Sigit tidak usah minta jatah sawah dari Bapak, karena Sigit bisa menggarap sawah punya calon isteri Sigit? bujuknya.
Hahahahahaha!!!!! tertawa lebar ayahnya. Mana ada Git zaman sekarang? kawin tanpa punya modal sendiri, kok enak? cuma modal muka saja, mau kawin sama siapa?. Sama sapimu opo jawab ayahnya dengan mimik wajah meledek.
"Ada Pak?. Sigit sudah punya calon. Zaman sekarang yang penting rajin bekerja Pak, perkara jujuran itu bisa saja seadanya urai Sigit bersungguh-sungguh.
Nggak ada Git, yang seperti itu! bantah ayahnya. Bapakmu ini lho yang sudah tua, lebih banyak  makan garam dari kamu!. Bapak hapal seluk beluk pandangan perempuan. Perempuan itu Git, paling utama tidak memandang calon suaminya giat atau tidak. Yang penting mapan atau tidaknya dulu. Kamu itu dipermanis pacarmu saja, jadi dia bisa berkata-kata seperti itu. Coba saja kalau kamu nekati, paling tiap hari berkelahi! terangnya panjang.
Memang siapa toh Git calonmu itu? sambung Ibunya datar.
Sigit terdiam sejenak dan terlihat menunduk di seberang dinding tempat ayah dan anak itu duduk. Dewie bu? jawabnya pelan.
Mendengar jawaban anak laiki-lakinya itu sontan ayahnya sedikit kaget. Dewie Git?, Dewie? raut muka ayahnya terlihat cerah. Â Tapi Dewie itu sudah sarjana?, kamu sekarang belum punya pangkat apa-apa. Apa mungkin dia mau Git Roman muka Pak Ratnho mulai bersungguh-sungguh kali ini.
 Dewienya juga telah setuju kok Pak? kata Sigit.
Padahal sebenarnya Dewie pun belum ditanya masalah ini oleh Sigit.
 Semakin heran, ayahnya pun menatap Ibunya yang duduk di depan televisi namun badannya tetap menghadap Sigit.  Beneran Git?. Memang sudah pernah kamu tanyai? kata ayahnya tambah bersungguh-sungguh.
Sudah Pak, Sigit katakan, kalau Sigit kepengen ikut menjaga ayahnya, ayahnya tidak ada yang mengurus, dan keadaannya pun Dewie tahu sendiri. Atas dasar itulah akhirnya Dewie setuju wajah Sigit menjelaskan dengan ekspresi yakin.
Diam beberapa jurus.
Yah kalau memang seperti itu ceritaya, ya orang tua harus terus mendukung saja Git? terang Ibunya.
 Tapi, apa dia benar-benar sudah yakin. Sudah mantap, soalnya kamu ini pemuda sawah dan tidak punya sawah sendiri lagi?, apa kata-kata dia itu sungguh-sungguh? sambung Ibunya.
Sudah Sigit tanya semua Bu? desaknya meyakinkan.
"Anak itu mau, dia tidak pemilihan mengenai calon suaminya. Yang penting secepatnya suaminya itu bisa mengurus sang ayah yang sedang sakit, bilang dia seperti itu Bu? ucap Sigit lagi.
 Ayahnya hanya diam dengan hati girang sebenarnya. Masih menggiling rokok tembakau keduanya, sejurus kemudian jadilah tembakau itu rokok kretek, lalu asap mulai berkukus lagi, buyar pencar-pencar saat mulut kebiru-biruan itu menyedot rokoknya.
Bagaimana Pak pendapatmu? tanya Ibunya.
Dengan jari-jarinya menjentik abu yang berada di ujung rokok, dan akhirnya gugur juga abu itu kedalam asbak, menyahutlah ayahnya bila memang dia sudah mantap dan punya calon yang setuju, Â ya sudah, terusin saja.
 Bapak tidak usah cemasin Sigit, dia sudah besar. Dia pasti bisa berumah tangga, meski sawah pun belum punya? bela Ibunya.
Nanti biar sawah Bapak yang bersebelahan dengan sawah Dewie itu saja yang diberikan separoh untuk Sigit, biar dia tidak malu, sebab, tau sendiri bagaimana sindiran dari tetagga kalau kawin tanpa punya pegangan hidup  terus Ibunya.
Iya , bisa saja itu bu balas suaminya.
Mereka lalu berbicara mengenai hari, tanggal dan waktu, kira-kira kapan dapat diadakan pelamaran, dan segala tetek bengek urusan perkawinan. Semua dibahas malam itu, seolah-olah keputusan telah mutlak punya mereka. Dan juga pengaturan waktu, keadaan itu seperti hak paten milik mereka. Semua karena penjelasan dan pengakuan Sigit yang coba membujuk dengan memberi keyakinan serta kepastian bagi orang tua dia. Dan tentu hal itu membuat mereka menjadi percaya dan segara cepat merencanakan pelaksanaanya.
Hari minggu sore Sigit mendatangi rumah Dewie, ingin berbicara dengannya perihal keinginannnya dua hari lalu. Motor telah sampai di teras. Dan Dewie juga paham, bila bunyi motor itu adalah motor Sigit, maka langsung saja Dewie memburu keluar.
Eh kamu toh Git?, ayo masuk dulu?
 tawarnya. Tidak usah Wie, tidak baik dilihat orang, di emperan saja? sahut Sigit dan duduk bersandar di tiang rumah.Sebentar ya, tak buatin minum dulu sambil langsung berjalan lagi kedapur.
Kali ini tak sempat buat Sigit mencegahnya.
Sigit lalu melihat-lihat sekitar, dengan sebilah rokok telah ia sulut dan ia isap-isap dengan mulutnya. Bunyi tongkat tek!!tek!!tek!! membuat telinganya tersita. Dari dalam ternyata Pak Darwis berjalan keluar, badannya yang kurus itu begitu nampak, dan sejenak menyapalah Pak Darwis kamu toh Git, Â sudah lama?"
Ah baru saja Pakde?, baru datang? jawab Sigit.
Bagaimana kabar ayahmu dan Ibumu? tanyanya lagi.
Alhamdulillah baik Pakde?, Pakde sendiri bagaimana? tanyanya balik.
Entahlah, kali ini tak disahut pertanyaanya.
 Pak Darwis hanya terlihat membersihkan peci yang ia kenakan sambil tetap duduk di depan pintu. Tak mendengar kah dia. Terasa tak mungkin bila tak mendengar. Mungkin kambuh lagi ia dalam arus ngelamun. Dan tak tahulah, sesaat kemuadian ia beranjak berjalan lagi kedalam rumah. Misterius sekarang sikap Pakde Sigit itu.
Di dalam, Pak Darwis berpapasan dengan anaknya yang hendak keluar membawakan teh hangat diatas lapak tembikar sederhana. Berhenti sejenak langkah kaki Dewie. Â Bapak?. Jangan lupa makan ya? Dewie sudah buatin makanan buat Bapak? bujuk Dewie dengan sopan.
Iya Ndo? sahut ayahnya lirih.
Dewie telah sampai di teras, maju dengan sedikit membungkuk, Dewie pun menyodorkan minuman itu lebih dekat dengan Sigit Plekk?? bunyi gelas bersentuhan dengan lantai .
Ini diminum dulu Git? tawar Dewie sambil mundur dan duduk di depan pintu.
Ah tidak usah repot-repot Wie? jawabnya.
Oh iya?. Tumben kamu kesini? Ada apa? tanyanya lagi. Ahhh??..,aku cuma mau nengoki keadaan ayahmu saja? urainya peduli.
 Beliau baik-baik saja kan? . Hmmm!!!" Menghela napas. "Ya seperti itu Git, kamu bisa lihat sendiri kan keadaanya. Jiwa ayahku benar-benar terguncang saat musibah itu, aku benar-benar iba dengannya? kata Dewie dengan raut wajah mulai pasi.
 Lalu, apakah kau tak terpikir untuk mencari seseorang yang dapat menjaga ayahmu dari pekerjaanmu Wie? Sigit memulai pembicaraan yang mengarah keniat dia yang sebenarnya.
"Maksudnya apa Git? tanya Dewie yang memang kurang paham.
 Kamu tak ingin mencari pendamping hidup Wie, agar pria itu bisa menjaga ayahmu?. Mata Dewie menatap Sigit tajam.
 Dewie yakin pasti hal yang dahulu akan terulang lagi. Di mana Sigit mengutarakan cintanya dan kali ini tekanan itu lebih serius dengan topik pernikahan.
Segera saja Dewie mematah harapan Sigit dengan berujar  aku masih bisa mengurus ayahku Git?, honoranku  tidak full dalam seminggu, jadi aku masih sanggup mengurusnya. Lagian aku belum terpikir nikah Git?.
"Wie?, Â kamu itu sudah saatnya mencari pegangan" Sigit menatap sungguh-sungguh. "Tidak bisa seperti ini terus, itu ayahmu siapa yang mengurus nanti? Sigit mulai mendesak.
"Biasanya, aku menyuruh Arif untuk menjaga bapakku setengah hari. Biasanya aku suruh dia dengan ku beri upah 15 ribu buat jajan, itu juga untuk hari-hari tertentu kalau aku mengajar, bila tidak mengajar, ya aku sendiri yang mengurusnya terang Dewie. Â
Lalu sawahmu, juga kebunmu yang telah kering itu?.
Masalah sawah, aku dapat bagian setiap tahunnya dari hasil garapan, dan tentang kebun, lihatlah sendiri beberapa bibit waluh, juga sayur yang sebentar lagi akanku garap. Â
Ah!!!. Tak bisa kau emban sendiri seperti ini, sungguh aku hanya mencoba meringankan masalahmu yakin Sigit. Dewie tersenyum.
Prinsip Dewie benar-benar keras. Ia tak ingin kawin dulu untuk beberapa tahun ini. Ingin selalu setia menemani ayahnya dan dia sejujurnya takut bila kawin, justru desakan mertua nanti membuat dia harus meninggalkan ayahnya. Benar-benar anti dia dengan perkawinan. Ia beasumsi jika alasan yang dikemukakan Sigit itu hanya tameng awal yang menutup semua maksudnya. Dewie kuatir bila ia mengamini kemauannya, ayahnya akan kalah. Dan tak terurus lagi.
Tapi di pandangan Sigit, bahwa dia benar-benar ingin menjaga Dewie beserta ayahnya . Hanya mungkin Dewie benar-benar trauma dengan masa lalu pertama dia mempercayai laki-laki, hingga pendiriannya itu serupa karat besi yang sulit hilang.
Jadi benar-benar kamu tak ingin menikah dulu Wie, Â padahal akulah yang ingin sekali melamarmu Wie? akui Sigit.
Dewie telah tahu maksud Sigit, jadi ia tak merespon kata-kata Sigit itu dengan mimik wajah kaget. Biasa saja kesan wajahnya itu. Senyum-senyum saja. Dengan bernada halus, ia pun mencoba memberinya pengertian maaf  ya Git?, terima kasih sampai sekarang kamu masih menyayangi aku, tapi aku ingin sikap pengertianmu, karena aku masih ingin menjaga ayahku. Semoga kamu mengerti Git?. Menunduk muka Sigit mendengar penjelasan Dewie.
Keras benar hatinya. Batu sudah nuraninya itu. Kamu yang tak mengerti Wie, tak paham, dan selalu bisa menyelesaikan persoalanmu sendiri. Batu!!!. Benar-benar batu pendirianmu! batin Sigit dongkol, dan marah.
Masih terdiam, Sigitpun mengeluarkan ponsel dari dalam saku bajunya. Ia pencet-pencet tombol Handphonenya itu, mencari-cari sesuatu, dan sejurus kemudian Dewie mendengar seperti suara video berasal dari ponsel Sigit.
 Ini Wie silahkan melihat? mengunjuk ponselnya ketangan Dewie.
Gllaaaarrr!!!!!! Glaaarrrrrr!!!! guntur bergemuruh di hati Dewie.
 Kilat menjilat-jilat lagi menghantam sasaran. Menghancurkan apa saja yang disentuh, diraba, dan dilihat. Sepertinya  akan terjadi badai besar. Topan dahsyat bahkan tak mungkin terjadi Tsunami. Wajahnya cemas bukan main. Bergetar-getar bibir dan mukanya tak percaya. Matanya tajam menatap layar ponsel tanpa berkedip. Tangannya mulai menggigil ketakutan.
Sebuah video dewasa tengah Dewie saksikan, dan mirisnya bintang utama wanita dalam video itu adalah ia sendiri. Bermain bebas di kamar sebuah hotel, dan peran lelakinya seumuran saja dengannya. Itu adalah teman dari temannya Sigit , yang dulu Sigit  pernah suruh untuk mengerjai Dewie dengan menyuruh teman yang satunya untuk membacking Dewie selama semalam.
Tak tahan dengan apa yang ia lihat, video berdurasi 10 menit itupun tak sampai habis ia putar. Ia matikan tombol untuk memberhentikan tayangan itu. Dengan wajah mendung, bergemuruh. Dan selanjutnya hatinya mulai mendidih berkecupakserupidalam kancah. Ia pun berontak dengan nada bicara tinggi.
Darimana kamu dapat video ini!!!! bentak Dewie.
Suasana kian kacau sekarang, bukan seperti tamu lagi Sigit dimata Dewie. Melainkan seperti musuh yang benar-benar jahat. Benar-benar licik. Benar-benar bengis. Kejam.
Darimana kamu dapat video ini kataku!!!!! bentaknya lagi dengan mata kian melotot.
Sigit hanya tersenyum dingin. Meneguh teh yang telah dingin juga ia, kemudian mejawab dengan nada santai sambil memutar-mutar rokok dengan jari-jemarinya.
Tak penting juga buatmu, tahu tentang asal muasal video itu. Bukannya kamu bangga dengan atraksimu itu Wie" ucap Sigit dengan wajahnya menatap Dewie penuh kemenangan.
Tangan Dewie serasa memegang sampah kali ini. Matanya benar-benar kalut, dan HPitu benar-benar sampah sekarang. Ia genggam Handphone Sigit dengan kuat-kuat. Dengan angkara yang menjadi gelombang besar. Berubah Tsunami. Siap tumpah menerejang. Meluluh-lantahkan. Memporak-porandakan.Wajahnya merah mewakilkan amarahnya itu.
Semakin bergetar-getar tangannya.
Banting saja Wie!!!!, Silahkan banting!!!!!! gantian hardik Sigit.
Aku punya salinan video itu di HP satunya. Banting saja kuat-kuat!! suruhnya lagi. Â
Luapan amarah itu tiba-tiba reda Syut..Syut..Syut!!!, syut!!! mengempis, kecil dan kemudian hilang. Terdiam lemas, sekarang Dewie hanya terisak-isak tangis. Handphone tak lagi ia genggam, dan tak jua ia banting, hanya ia letakkan sayu di atas lantai. Gantian terpojok ia, dan tak dapat berbuat apa-apa lagi.
 Kamu tak paham Git? Dewie mencoba menjelaskan maksudnya. Aku berbuat demikian, lantaran keadaan ekonomiku yang berantakan, dan aku tak tega melihat mereka berpayah-payah mencari dana untuk kuliahku? jelasnya.
Lalu! dengan cara seperti itu kamu ingin merubah mereka, meringankan mereka. Dengan berbohong hingga ajal menjemput Ibumu Wie! balas Sigit menekan.
Tidak!!!, kamu belum paham dan tak mungkin mengerti!!! Dewie berbicara sambil menahan ucapannya agar tidak membongkar masa lalunya yang hina bersama pemuda yang awal kali merusaknnya .
"Baiklah, tak tahu kelihatannnya aku tentang semua rahasiamu itu, dan tak pernah coba untuk ku ungkit. Itu pribadimu, yang ku ingin hanyalah, aku mau kamu jadi isteriku? desaknya lagi.
 Aku tak ingin bersuami dulu, apa kurang yakin ucapanku tadi! bersungut-sungut mukanya.
"Kiranya, kau tak mengerti dengan maksudku menunjukkan video itu, sekarang terserah kau mau memilih, pilih bersuami denganku atau pilih ayahmu tersiksa batinnya lagi, ketika melihat video mesum anaknya tersiar ke segala sudut desa? tekannya dengan nada datar.
Kamu!,..Kamu mengancamku Git! hardik Dewie dengan semakin memplototkan mata.
Tidak?, aku tidak mengancammu?, aku hanya berusaha memberimu pilihan.
Keterlaluan kamu Git! terus terisak-isak.
"Aku sungguh tak menyangka, tega kamu berbuat licik seperti ini?, kecewa aku mengenalmu, dan bahkan menganggapmu sebagai kakak!..Jijik aku sekarang!! lantang suaranya.
Hhffffffftt... asap rokok meluncur lurus dari mulut Sigit, hampir bersentuhan dengan wajah Dewie. Raut wajah Sigit santai tak peduli dengan apa yang ia dengar. Meski terisak, bahkan menangis darah pun sungguh Sigit tak peduli. Keputusannya bulat untuk meminang Dewie, dengan semua rencana jangka panjangnya. Walau cara yang ia gunakan sama sekali tak senonoh.
Pikirlah sendiri Wie?, pikir dengan bijak, aku hanya ingin merawat ayahmu?, aku akan datang 3 hari lagi, dan kuharap pilihan darimu itu tepat jawabnya sambil mengambil Handphone yang tak jadi dibanting dan  masih tergeletak dilantai. Setelah itu Sigit pulang meninggalkan Dewie dengan mata Dewie yang bengkak dan masih duduk di depan pintu.
Ketika debat tadi, Pak Darwis sama sekali tak mendengar, ia ternyata tengah ada di kebun sayur miliknya yang  tandus, dan bersandar di bawah pohon karet. Tempat ia dan almarhumah isteri yang memberi nasehat baginya.
Malam hari terasa panjang bagi Dewie, benar-benar tak bisa tidur. Gelisah dan terus membolak-balikkan tubuhnya untuk mencari ketenangan. Namun tetap tak bisa. Benar-benar tak percaya Dewie dengan orang yang telah ia anggap kakak itu. Sebegitu tega menurutnya. Malam ini pun ia harus cepat ambil keputusan. Dan keputusan itu terasa berat sebelah. Lebih tepat jika di katakan tidak ada pilihan, dari semua pilihan yang ada. Semua hanya tekanan yang menjurus pada satu keputusan. Sekali lagi tidak ada kata pilihan.
Di lain pihak, malam ini juga membuat pak Ratnho terus terbayang-bayang dengan impiannya. Ia yang sedang duduk-duk dikursi mulai meraba-raba bagaimana pucuk dari pernikahan Sigit dan Dewie Jika nanti Sigit berjodoh dengan Dewie, otomatis sawah Dewie pun akan menjadi hak anakku. Darwis melihat keadaannya sih bakalan pendek umurnya?. Temanku itu dilanda tekanan hebat, palingan kiranya berumur 3 tahunan lagi. Sigit bakal mendapatkan bagian dari sawah isterinya. Dan ujung dari ujung?, pasti aku juga ikut mengelolanya. Wah???... Bakal bertambah lebar lagi sawahku? lamunannya kotor sambil senyum-senyum sendiri.
Tiga hari telah berlalu, sebelumnya Sigit dan Dewie telah mengatur tempat untuk bertemu. Dalam percakapan itu, Dewie tak punya lagi perlawanan untuk menolak. Ia pun menerima. Dewie juga  telah mendapatkan restu dari sang ayah yang tidak tahu perkara apa-apa. Pak Darwis menyetujui lantaran Sigit itu anak baik dipandanganya. Tidak serta-merta karena tekanan ucapan dari Dewie. Pak Darwis tulus menerima Sigit menjadi mantu.
Sesuai rencana awal, acara pernikahan pun diselenggarakan kiranya seminggu dari acara pertunangan. Tetangga-tetangga sebenarnya heran dan bingung juga dengan tindakan yang dilakukan Dewie. Sebagian ada yang membodohkan sikap yang dijalankan Dewie untuk kawin dengan pemuda kampung seperti Sigit. Dengan beralasan bahwa, Dewie itu guru, lebih pantas bercalon dengan guru juga. Sebagian lain ada yang  memakluminya, karena ayah Dewie perlu untuk ada yang menjaganya. Yang jelas kesemua warga desa  Rawomangun, tetap tak mengetahui rahasia antara Dewie dan Sigit.
*
Dia yang Terempas Berulang Kali
Waktu beredar dengan putaran sia-sia bila arah keputusan selalu terhimpit oleh sebuah tindakan ketidakyakinan. Keyakinan akan termimpi-mimpi oleh keraguan dari diri pribadi atau desakan dari luar. Keraguan dikarenakan kecemasan dari bayangan kejadian-kejadian buruk yang tercipta oleh alam khayal sendiri.
Begitulah yang dialami Dewie. Telah dua tahun ini ia dan Sigit resmi menjadi pasutri. Walau telah menikah, tapi perangai Dewie yang terkenang dahulu, membuat Sigit enggan untuk berbuat layaknya suami isteri. Sigit berprinsip sebelum Dewie mengakui semua salahnya kepada ayahnya, maka ia tak akan menjamah badan isterinya itu walau sejengkal jari. Bukan karena ia mengingat betapa menjijikkan kelakuan Dewie dahulu, namun itu semua berdasarkan prinsip.
Dewie sekarang telah menjabat sebagai guru resmi. Bukan guru honorer lagi. Agaknya doa Iibunya dahulu terkabul. Ia lulus dari tes yang diikutinya di Kapuas. Uang tabungan untuk memperlancar jalan Dewie ternyata juga cukup. Itu hasil kumpulan Iibunya untuk dia, semasa Ibunya masih hidup. Sekarang Dewie mengajar di SMA, dan alhamdullilah Dewie dapat membeli motor kredit untuk penunjang aktivitasnya. Sawah Dewie semua diserahkan Sigit, ia yang mengelolanya, mengingat penggarap terdahulu sudah habis masa perjanjian garapannya. Sekarang Sigitlah yang menggantikanya.
Urusan ayah Dewie, mereka berdualah yang bergantian mengurus. Setiap selesai bekerja dari sawah, Sigit selalu pulang ke rumah untuk memperhatikan kondisi Pak Darwis. Keadaan mertuanya itu kian layu saja. Ia benar-benar hilang segala tenaganya untuk bangkit. Kini mertuanya itu hanya bisa berbaring di tempat tidur. Kaki-kakinya semakin tak berdaya menopang badan.
Dalam berbagai kesempatan, sebenarnya Sigit selalu membujuk Dewie untuk mengakui semua kesalahannya  kepada sang ayah yang keadaannya kian sakit. Akui semua perbuatanmu  sebelum sang ayah berhenti bernafas? salah satu saran Sigit. Namun Benar-benar takut oleh alam ilusi sendiri, Dewie tak berani bila perkataannya itu malah membuat ayahnya mempercepat umur yang tersisa. Ilusi-ilusi kecemasan Dewie oleh karena kejadian itu.
Suatu hari, pernah Dewie ingin mengakui semua khilafnya di masa lalu.
Saat itu, ayahnya sedang duduk-duduk di teras sembari mendongok-dongok ke langit-langit rumah. Nanar benar Dewie melihat hal itu, ia pun segera mendatangi ayahnya dengan membuatkan secangkir kopi. Hari itu ingin dia bercakap-cakap dengan ayahnya.
Pak?.., Ini tak buatin kopi buat Bapak?, ayo di minum bujuk Dewie. Pak Darwis menatap kopinya dan tangannya langsung memburu gelas yang telah tertaruh di lantai tersebut. Diangkatlah gelas itu mendekati bibir, hendak diseropot ayahnya. Ketika telah bersentuhan antara air dalam gelas dengan bibir Pak Darwis. Laki-laki itu mendadak batuk terpingkal-pingkal.
uhukk!!!!..,uhukk!!!!..Uhukk....huuuk!!!!! suaranya tersisksa, gelas pun turun ke lantai lagi dengan cepat. Tak jadi diseropot. Menaruh dengan sembarangan hingga setengah airnya tumpah.
"Pak!!!!.. Kenapa Pak!!!..tanya Dewie cemas dan langsung mengurut-urut leher belakang ayahnya.
"Uhukkk!!!!!...Uhukk!!!...Uhuuuk!!!! semakin berat lagi batuknya. Tersengal-sengal setelah itu alur nafas ayahnya. Dewie pun tambah cemas, berlari tunggang langgang ia untuk pergi ke dapur mengambil air putih, beserta minyak angin yang tergeletak di kamar ayahnya. Lari dia seperti maling ketahuan.
Sampai di teras ini Pak diminum air putihnya, dan pakai minyak angin ini??  menyurung air putih. Pak Darwis menurut apa kata anaknya, ia langsung reguk air dalam gelas, gluk!!!..,gluk!!!!..gluk!!, bunyi air masuk ke kerongkongan hahhh!!!! Suara ayahnya sedikit reda dari batuk-batuknya .Terjangkau gelas itu sekarang, dan masih ada sedikit airnya. Tertaruh rapi di sisi kiri duduk ayahnya. Dewie langsung mengoleskan  minyak angin ke leher juga perut ayahnya, agar hangat. Itulah menurutnya.
Sambil mengoles-oles Dewie ingin berbicara lagi dengan topik awalnya, yaitu mengakui segala kebohongannya. Pak Darwis terlihat diam pucat hendak mendengarkan.
Pak..sebelumnya maafkan Dewie Pak?" ungkapnya mengurut leher belakang ayahnya).
Kenapa minta maaf  Wie? tukas ayahnya.
Begini Pak? Dewie ingin masuk ke topik. Dahulu Dew..???!!!. Sett!!!!!!..tertahan ucapan Dewie tak jadi disambung, seperti mati ngilu pita suaranya. Kata-kata terjun kembali masuk keperutnya. Gagal berloncatan keluar. Gerak urutan tangan berhenti. Mata Dewie terpancang kini kedalam gelas. Samar-samar terlihat ada warna merah di bibir gelas itu. Ia jangkau gelas itu, kemudian  mengamatinya lebih dekat, lebih detail.
"Darah??? kataya dengan nada khawatir benar sekarang.
Gelas terabaikan lagi, sama nasibnya seperti gelas pertama, gelas kedua ini pun diletakkan dengan sembarang. Tumpah juga sebagian isi di dalamnya karena tergoncang kala menaruhnya di lantai. Bergerak tubuh Dewie dengan cepat, dari membelakangi ayahnya kini segera langsung berhadapan dengannya. Berhadapan, kemudian ia tatap wajah ayahnya. Tatap dengan tangan Dewie menyangga rahang-rahang ayahnya .
"Bapak kenapa berdarah mulutnya!!!..Buka mulutnya Pak!!!..,coba Dewie periksa!!! kata Dewie dengan pelupuk mata telah banjir lagi.
Pak Darwis tersenyum dengan menggeleng-geleng, tak apa-apa bapak Ndo?, mungkin gigi bapak copot, jadinya keluar darah?, maklum sudah tua? urai ayahnya.
Ah!!!, tak mungkin Pak!!! desak Dewie terus.
"Bapak jangan melawan Dewie, tolong buka mulutnya Pak!! bujuk Dewie lagi.
Uhukk!!!!!..Uhukkk!!!!! suara batuk lagi, dengan tetap membawa degup jantung yang semakin ngos-ngosan. Dewie sedikit melengoskan muka. Batuk ke tiga ini, langsung memunculkan lelehan darah yang keluar dari mulut ayahnya. Sedikit darah itu, tapi tetaplah terlihat darah. Â Dewie lalu merangkul ayahnya, mendekapnya dengan kasih, Menggigil karena tangisan. Tak sanggup saat itu ia untuk mengaku, karena keadaan ayahnya seperti itu.
Bapak!!!!... kata Dewie  menggigil. Bapaknya hanya mengelus-elus rambut Dewie, dengan mengangguk-angguk Bapak tidak apa-apa Cah ayu, kamu tenang saja. Bapak ini masih sehat.
Dewie tak percaya, Ia lepas pelukan ayahnya, dan secepat kilat langsung menunggang motornya untuk menjemput Mantri.
Sekitar 30 menit kemudian, datang Mantri yang langsung memeriksa tubuh ayahnya dengan stetoskop.
Bapak mu kena paru-paru basah Wie? kata Mantri setelah usai memeriksa. Paru-paru basah! Â Kok bisa kena Pak, soalnya, paru-paru basah itu setahu saya, hanya terjadi bila seorang suka berkendara Subuh-Subuh tanpa tameng dada sangkal Dewie.
"Iya??.., Seperti itu kebanyakannya, tapi paru-paru basah juga dapat menyerang, bila tubuh  tak terurus pola makannya dan sering juga tidur tanpa baju. Dan yang paling penting paru-paru basah, sering disebabkan kebiasan merokok jelas Mantri.
Sejak saat itulah, Dewie benar-benar lebih telaten mengurus ayahnya. Sigit juga tekun, ia mengurus selalu mertuanya. Tapi tetap saja, sang ayah berpolah seperti bayi lagi. Enggan makan bila belum lapar, dan lapar itu juga datang tanpa mau diamini oleh kehendak pikiran ayahnya. Tertahan saja lapar itu di tenggorokan ayahnya. Kejadian itu membuat Sigit juga terus memberi isterinya  ingatan. Cepat minta maaf. Namun mulai saat itu pula, Dewie semakin takut mengaku. Benar-benar sebuah waktu yang tersia-sia.
Hingga peristiwa pilu itu terjadi.
Tengah malam, saat semua orang sedang larut kedalam buaian mimpi, tiba-tiba Sigit dan Dewie terjaga. Pak Darwis batuk terpingkal-pingkal. Mereka cemas bukan kepalang. Kejang-kejang juga ayahnya itu. Entah rasa apa yang ia emban, karena sebelumnya ayahnya itu menolak bila dibawa berobat ke Puskesmas untuk di tangani lebih lanjut. Pak Darwis trauma dengan hal yang dulu-dulu, yang hampir berujung pada carut-marutnya kuliah Dewie, gara-gara musibah yang menimpa dia.
Mengetahui sang ayah tengah berjuang dalam koma, Sigit berlari keluar dan langsung menggas motornya menuju rumah Mantri. Dan Dewie berlari menju kamar ayahnya, dengan menangis sejadi-jadinya, lalu memeluk badan ayahnya yang terbaring  kejang di kamar itu. Nafas ayahnya kembang kempis. Batuk itu benar-benar terdengar berat.
Terus terbatuk-batuk Pak Darwis, lelehan darah juga tampak di bantalnya ternyata. Entah darah kapan itu. Â Sejurus kemudian, sadarlah Dewie bila ayahnya itu tengah berhadapan dengan sakaratul maut. Ia pun membimbing ayahnya untuk menyebut asma-asma tuhan dengan isak tangis yang mendalam.
Sayangnya untuk kedua kalinya, ia sama sekali tak terlintas untuk meminta maaf buat ayahnya. Ia panik dengan kondisi sang ayah. Mulut ayahnya bergetar-getar mengikuti kalimat yang dibimbingkan Dewie. Laaillll.....a. terbata-bata  suaranya, dan lepas  penghujung nafasnya.
Roh telah terangkat, terbang memandang jasad atau terbang melayang buana, ini tidak ada yang mengetahuinya. Semua gaib.
Hening udara malam larut itu, membawa sebuah cerita duka. Rumah itu perlahan merasakan lara untuk kedua kalinya. Semua senyap menjadi saksi bisu. Horden pintu kamar melambai-lambai diterpa angin yang sejak tadi dBuka oleh jendela. Melambai-lambai layaknya suruhan alam untuk segera seseorang bertemu dengan tuan-Nya. Rayap-rayap di perut  dinding sudut kamar itu pun diam tak beraktivitas lagi. Tampak benar bentuk mereka yang liliput itu begitu kuasa merusak medan yang keras. Seperti tekanan mental yang begitu halus tak berbentuk, yang dahsyat  mampu membawa seseorang menuju alam senyap tanpa nafas.
Membludak-bludak perasaan Dewie. Terulang lagi rasa panasnya. Wajahnya berapi nyala dengan mata bengkak terisak-isak. Ia dekap tubuh dingin ayahnya yang hilang roh itu, dingin ia rasakan dan ia dekap terus. "Innalillahiwainnalillahirojiuun.. Dekap erat-erat. Selanjutnya baru sadarlah dia, bila  belum mengakui semua dosanya.Belum ia minta maaf. Belum ia minta maaf dengan kedua Bu bapaknya. Tolol. Benar-benar tolol kau Wie! hujat batinnya. Tuhan benar-benar membuntukan segala panca indera untuk menangkap maksud yang melayang-layang dipikiran. Hingga maksud itu kini seakan telah terbuang hampa. Sesal yang mendalam berada di palung hatinya membuat sebuah gelombag besar dari sanubari menerejang keras melalui tenggorokan. Menerejang keluar dan menghantam semua yang ada.
Bapaaaaaakkkk!!!!!!!....Maafin Dewie..Pakkk!!!!, Maafin Dewie.....!!!!! teriaknya dengan  menggoyang-goyang tubuh ayahnya yang mulai kaku.
Beberapa menit kemudian tetangga yang kaget segera datang menuju tempat arah teriakan itu. Mereka langsung masuk dan mengrumbungi Dewie yang lunglai ngesot-ngesot di lantai. Ayahnya telah menjadi mayat dan terbujur diatas kasur ranjang.
Tetangga-tetangga itu mencoba menenangkan Dewie dengan menyuruhnya mengucap istighfar dan merelakan kepergian ayahnya.
Di emperan depan, Sigit sudah datang membawa Mantri, namun ia pun segera pupus harapannya mengetahui rumahnya telah ramai oleh kiranya 10 orang dengan raut wajah pasi semua. Sigit langsung masuk kedalam kamar tanpa menghiraukan Mantrinya. Dan sampai di kamar, ia juga melihat keadaan yang sama. Dengan penerangan lampu bohlam bercahaya kekuning-kuningan, Sigit melihat bola mata mereka remang-remang. Cahaya mata-mata  itu seperti mengatakan duka. Sedih, prihatin dan pilu melihat kisah tragis Dewie. Sementara Dewie hanya tersedu-sedu dipelukan seorang Bu-Bu bertubuh tambun.
*
Seminggu setelah wafatnya Pak Darwis
Jadi kamu belum sempat mengakui semua kelakuanmu kepada almarhum ayah! kata Sigit tak percaya.
 Kamu anak keterlaluan Wie anak tak punya iman dan benar-benar durhaka! bentaknya.
Akkkuu.. terbata-bata suaranya. Akkku.... takut mengakui semua itu Git!, karena ayah benar-benar rapuh pikirannya kala itu, ku pikir keadaannya akan membaik, dan baru aku akan mengakuinya, Ttttapi... semua lepas dari perkiraanku dan bodohnya aku karena di saat sekaratnya aku tak ingat untuk meminta maaf?.
Kau memang bodoh!, tak pernah paham dengan apa yang dinamakan pelajaran!. Kuliahmu tinggi-tinggi, bahkan kau telah jadi guru, tapi moralmu seperti penjahat-penjahat di sudut jalan kota! Â berkoar-koar suaranya, membuat tetangga terkejut dan terlihat sembunyi-sembunyi mendengarkan pertengkaran keluarga itu. Bersembunyi dan mengintip di balik jendela pintu atau celah-celah lubang dinding.
Kau sudah banyak terminum kencing iblis!, hingga telah terputus saraf nuranimu Wie. Semua kau sepelekan, dan seperti ini yang terus kau terima. Belum cukup ternyata kau belajar!. Â Dan nanti, alam pasti memberimu bimbingan tentang arti jalan yang kau pilih! Â kata Sigit dengan semua kedongkolannya yang meledak-ledak.
Kala itu Dewie hanya menangis dengan duduk di sudut pintu. Menangis sesal yang semuanya telah terlambat. Sigit terus marah, bahkan membanting-banting gelas. Sebenarnya dia kasihan sekali dengan isterinya. Kenapa sampai sekarang hati isterinya masih juga terhasut dengan semua khayal-kahayal ketakutan yang diciptakan setan itu.
Kenapa aku tak sanggup  membimbing isteriku untuk berpandangan dengan kejadian buruk dimasa lalu. Mengambil intisari dari sebuah peristiwa duka?, itu yang ku mau. Tapi sampai detik ini  pun aku tak mampu batin Sigit menangis dengan semua kelemahannya.
Prustasi berkepanjangan karena rasa prihatinnya, Sigit pun keluar dari rumah mencari ketenangan. Ia tak khawatir  isterinya itu nekat bunuh diri. Karena Sigit pun yakin bila isterinya tak sudi juga untuk berbuat itu.
Sigit terus  berjalan keluar dengan hatinya berkata-kata maafkan aku Wiei!. Maafkan kelemahanku sebagai suami yang tak bisa mendidikmu. Maafkan aku baPak Darwis, Bu Sumarni jalan terus Sigit dengan menangis meratapi ketidakberdayaan untuk  menyadarkan isterinya.
Dua hari berselang, wajah Sigit tampak mulai mereda. Tidak marah dia bila bertemu Dewie, tidak ditemukan kejengkelan di raut wajahnya yang hitam manis itu. Hingga isterinya itupun berpikir, mungkin suaminya itu telah melupakan perkara yang lalau-lalu. Sekarang, tiap hari selalu terukir senyum di bibir suaminya itu. Dewie pun mulai merasakan arti cinta dan kasih sayang yang selama ini jarang ia dapat. Khususnya kasih sayang jasmaniah. Dan ketika malam hari datang, hasyrat lelakinya kini mau untuk menjamah isterinya. Dengan bahagia sang isteri pun memenuhi permintaan sunah itu.
Hari-hari terus mereka berdua lewati dengan layaknya suami isteri yang rukun. Tentram dan damai. Tak tahu isterinya itu bila suaminya mempunyai rencana lain untuknya. Rencana yang akan membuat pelajaran berarti baginya. Senyum dan kasih sayang yang diberikan Sigit kepada Dewie, tak lebih hanya sebagai pengiring salam pisah untuk isterinya.
Dua minggu  kemudian, di sebuah warung sederhana yang berjarak kiranya 500 meter dari rumah Dewie.
Oh..iki toh guru lonte itu!! ucap menghina dari seorang ibu-ibu  kepada Dewie yang sedang berbelanja di warung.
Iya...anak yang tak tau diuntung, sampai orang tuanya mati-matian nyekolahkan tinggi-tinggi, malah kerjaannya di sana nglonte! sahut Bu yang lain sambil mencibir. Pagi itu itu pengunjung warung tengah banyak, hampir semuanya Bu-Bu yang berbelanja kebutuhan dapur.
Dengan ucapan-ucapan mencemooh itu, betapa malu dan hancur hati Dewie. Ia pun tak tahan dan mengurungkan niatnya untuk belanja. Ia pulang dengan masih merasa bahwa puluhan pasang mata orang-orang, terus menatapnya dari tepi-tepi jalan dengan pandangan cemooh  mereka. Dewie gelisah dan sesekali pula terdengar samar-samar  umpatan-umpatan dari kejauhan jalan. Umpatan Bu-Bu kepadanya.
Masuklah ia kedalam rumah dengan menangis. Kenapa mereka berkata-kata kasar dan tak beradap seperti itu. Apa yang terjadi, Apa mungkin mereka tau, batinnya menebak-nebak. Ia gelisah dan tertekan lagi. Hal apa lagi yang akan menimpanya kali ini.
Saat jam telah menunjuk tengah hari. Sigit pulang dari sawah menuju rumah. Turun dari motornya ia tampak berwajah santai saja walau keringat bercucuran dan lumpur berclemotan di wajahnya. Beranjak kakinya menuju waduk belakang untuk mandi. Namun langkah kakinya terhenti kala isterinya memanggil namanya dan muncul dari pintu samping.
Git" panggil Dewie. Sigit pun menengok kebelakang
 Apa Wie" sahutnya santai. Dengan wajah merekah marah ia pun langsung melabrak suaminya dengan pertanyaan ketus kenapa orang-orang mengatakan aku lonte Git!. Tau darimana mereka!. Video itu kau kemanakan!, aku tak rela bila sampai video itu tersiar kemana-mana. Aku tak rela Git terus Dewie membentak.
Suaminya hanya diam cuek dan beranjak lagi mandi.
Git panggilnya dengan nada tinggi.
Kenapa berpaling!, kenapa menghindar dan tak menjawab! tanya Dewie nerocos. Sigit tetap berjalan dan menjawab dengan kata-kata membingungkan hati Dewie, biar keadaan baru memberimu pelajaran untuk mandiri Wie?. Dewie semakin menjadi-jadi di dalam rumah, ia berontak menghardik gantian suaminya itu. Kenapa ia tega sebarkan aib rumah tagganya sendiri. Kenapa dia berbuat demikian!. Dewie terus bertanya dan memaki dengan semua ketidakpahaman dari kelakuan suaminya itu.
 Sang suami hanya diam mendengarkan hujatan si isteri, setelah selesai mandi Sigit langsung pergi keluar lagi tanpa memberi senyuman salam seperti senyumnya yang lalu-lalu.
*
Suatu pagi.
Maaf Bu?, saya selaku kepala sekolah mewakilkan dari semua pihak, terpaksa memberhentikan ibu.
Dewi kaget "Lho!!! kok seperti itu Pak?, salah saya apa Pak!!! ucap Dewie .
Begini Bu?" Kepsek dudul dan mulai menjelaskan semua perkaranya. Bingung lagi Dewie, begitu cepat videonya tersiar kemana-mana. Sampai ke sekolahan pula. Dan akhirnya Dewie harus menerima keputusan dari sekolah, bahwa ia resmi di keluarkan dari mengajarnya.
Malam harinya masalah  tidak berhenti di situ, kiranya lima orang datang bertamu ke rumah Dewie.
Assalamualllaikum!!!. ucap salam dari salah satu orang itu dengan mengetuk pintu. Â
Dari dalam Dewie menyahut  dengan pucat waalaikum sallam? dan membuka pintu. Mata Dewie sedikit terbuka, dari kesayuannya setelah puas seharian menangis dan mengurung diri, kala gagang pintu mulai berderit membuka dan menunjukkan wajah-wajah tamunya itu.
Mereka adalah pak Kades, RT, pak Ratno, seorang warga dan Sigit suaminya sendiri. Ada apa kiranya laki-laki itu berkunjung kesini? batin Dewie bertanya cemas.
Ada apa ini Git? langsung Dewie bertanya kepada Suaminya.
"Tidak Dik, mereka hanya ingin meminta penjelasan jawab Sigit menunduk.
Sepertinya hal ini membuat nuraninya pilu juga. Kasian benar ia dengan Dewie. Tapi dengan cara ini mungkin anak itu dapat belajar. Tegasnya berpendapat dalam hati. Boleh kami masuk Wie? mohon pak Kades.
Oh..?? terlihat kaget karena melamun.
 Silahkan Pak, silahkan masuk? Dewie mempersilahkan tamu-tamunya masuk, dan kemudian ingin berlari ke dapur namun langsung dicegah pak Kades.
Tttidak usah Wie? Â burunya. Terhenti langkah Dewie.
Tidak usah repot-repot kami hanya sebentar? lanjut pak Kades.
Dewie pun tak jadi membuatkan minuman, dan setelah itu ia duduk saja, selanjutlah dimulailah pembicaraan malam itu. Dewie berada di pinggir dekat dengan dinding dan ke lima orang itu seperti duduk membundar  berbentuk kurung yang menghadapi Dewie.
Begini Wie", Kades memulai pembicaraannya.
 Kami datang kemari hanya untuk membahas perkara kasus yang menggegerkan warga kita?. Masalah video yang tak senonoh itu. Sebelumnya saya minta maaf apabila ucapan saya kurang menyenangkan di pendengaranmu  kata Kades.
Dewie terdiam masih mendengarkan. Tapi hatinya yakin bila malam ini kabar buruk pastilah ia terima.
. inggih Pak? Â sahutnya kemudian.
Dewie tentunya tau?, betapa warga di desa kita ini begitu rentan gaduh bila mendengar berita yang sedikit miring. Dan parahnya lagi, berita semacam itu sangat sulit lama untuk hilang dari pembahasan" Kades bercerita dengan tangannya menggambar-nggambar bentuk abstrak di lantai yang berlapik karpet hijau.
" Berapa minggu atau bahkan bulan, kabar cerita yang miring pasti akan masih terus santer jadi bahan pergunjingan Wie, apalagi jika hal yang mengolah gempar itu bersumber dari sebuah video mesum!. . Fatal ternyata dampak video ini, beberapa kali saya mendapatkan komplain dari warga, dan akhirnya malam ini saya datangi Dewie dengan maksud lebih menggamblangkan tentang jalan keluar masalah ini.
 Hmm..?? menghela nafas sebagai peristirahatan sejenak dari bercerita , Kades lalu memulai lagi bicaranya kasian anak-anak yang belum mengerti apa-apa Wie, dan melihat adegan-adegan yang tak layak itu. Moral mereka akan hancur,  memang berat mengatakan ini.
Berhenti berucap sementara, dan memandang Dewie, kemudian menyambung lagi  tapi dengan terpaksa, saya selaku Kades di sini mewakilkan dari sebagian keluhan warga, untuk menyarankan agar Dewie meninggalkan desa"  jelasnya dengan tegas.
 Dagumm!!!!!!! bom atom meledak dahsyat di hati Dewie. Begitu keras. Tanpa ampun. Benar-benar sebuah situasi seperti juga tertekan dua bilik dinding besi. Menjepit. Dan melenyapkan sebuah pemahaman. Dewie tatap nanar  mereka berlima, tadinya ia hanya membungkukkan muka dengan melihat kaos lusuh yang diikenakan Kades. Tapi setelah penjelasan itu ia dengar, pandangannya berubah tajam seperti singa lapar. Menghujam ke wajah Kades yang tenang, lalu beralih kepada pak Ratno yang memandang balik dengan sinis, beralih lagi kepada Sigit. Tertunduk tak berani menantang pandang Dewie ternyata ia.  Terakhir  tanpa beradu pandang dengan RT dan satu warga yang turut serta. Dewie pun memandang jatuh ke bawah lagi. Memandang karpet hijau yang mulai samar. Mata Dewie lalu menyipit. Mengedip sesaat  dan terasa dingin air yang ikut. Ia kucek sesekali. Dan merah sekarang warnanya, lalu kabur tergenang luapan air mata yang ingin tumpah.
Tapi Pak? sanggahnya lirih .
 Apa tidak ada kesempatan untuk saya memperbaiki kesalahan itu? mohon Dewie, menahan tangis.
Kades menatap Dewie dengan muka kasihan Saya benar-benar minta maaf Wie?, bukannya saya tak punya nurani. Usulanmu  sudah saya coba rembukkan dengan sebagian warga yang perotes itu. Namun mereka tetap bersih kukuh. Memintamu  segera meninggalkan desa. Alasan mereka mengarah pada anak-anak. Di pos, anak-anak kampung dini tanpa diketahui orang tua mereka, ternyata anak-anak itu suka melihat tontonan dewasa tersebut. Dan ujungnya berimbas pada mental pribadi si anak itu sendiri. Ardi cucu mbah Karjo contohnya terang Kades bersungguh-sungguh.
Di sekolahannya yang baru tingkat SD, Â dia telah berani mendorong putri anak Bu Sumiyati ke tembok, dan seperti mempraktekkan gaya di video itu, tangannya menjamah-jamah kasar ke payudara anak Bu Sumiyati. Cucu mbah Karjo itu pun masuk kantor, dan mendapat sangsi berat. Setelah didesak, dan diancam oleh kepala sekolah. Ternyata ia berbuat demikian karena terpancing video yang ditontonnya. Dan video itu, Dewielah pemainnya.
 Hela napas sejenak lagi, pak Kades pun melanjutkan bercerita.
 Kisah lain datang dari anak pak Kirman, yang ketahuan melakukan manstrubasi di dalam kamar, saat ayah dan ibunya pergi ke sawah, dia ketahuan karena  ayahnya lupa untuk membawa bekal minuman, lalu kembali ke rumah lagi untuk mengambilnya. Padahal anak pak Kirman juga masih tergolong kecil, baru kelas 2 SMP. Tapi moralnya juga mulai teracuni karena video yang ia tonton itu .
Betapa penjelasan  pak Kades membuat hati Dewie seperti dicabik-cabik kuku-kuku tajam dari besi. Apalagi kalimat dari bibir Kades itu yang berbunyi dan video itu kaulah pemainnya dengan tatapan Kades itu seolah mendesaknya agar kalah berargumen.
Badan Dewie panas sekali. Mungkin karena panas bingung yang bercampur dengan malu. Matanya tak tahan sekarang, dan kemudian tumpahlah air mata itu untuk kesekian kalinya, perlahan!. Lalu deras!. Â Dan bercucuran lebih deras lagi!!.
 Maafkkkkan ssss...aya pppak" Dewie menundukkan kepala dan terbata-bata suaranya. "Ssssaya bbbbeennnnar-benar menyesal dddan sedih dengan ini semmmua... katanya dengan menyeka air mata yang jatuh mengalir di pipi lalu masuk ke dalam mulutnya.
"Sssaya tak mengira semua terjadi hhhingga.. seperti ini jelasnya dengan tersedu-sedu.
Yo jelas tak mengira!. Â Wong ndak bisa mikir!!!. Apa bisa mikir toh kamu itu! Ndo? ejek pak Ratnho yang merokok-rokok dengan wajah masam. Â
Sekolah tinggi-tinggimu itu kan cuma buat ganti-ganti lakian toh. Gak kasihan dengan arwah bapak Ibumu kan kamu!, gak kasian dengan suamimu toh!, dapat corengan jelek sekarang aku. Gara-gara  punya mantu  kayak kamu!! lanjutnya dengan nada marah.
"Sudah pak, sudah? pinta Sigit. Tidak baik mengungkit orang yang telah meninggal. Sudah?. Tenang pak! terus Sigit berusaha meredam amarah ayahnya.
Begini Pak? Dewie mencoba cari pembelaan.
 Video itu tentu ada yang mengedarkannya?, apa Bapak tahu siapa pelaku yang menyebarkan video itu. Saya rasa tidak adil bila hal itu tidak diusut dan orangnya tidak mendapat hukuman yang setimpal seperti yang dilayangkan kepada saya" Mata Dewie memicing ke arah Sigit. Dan Sigit pun tak berani menatap. Langsung membuang muka ke dinding, tempat kalender-kalender usang tertempel.
Yah?, benar! Saya telah mencoba menyusuri asal muasal kasus video itu. Saya tanya terus, dari siapa-dari siapa video itu, hingga pada telusuran puncak, saya mendapat pejelasan dari seorang pemuda, yang mengatakan bahwa, ia mendapat video itu dari temannya yang bekerja di Banjar!, sedang  temannya itu  kini merantau lagi ke Palangka Raya jelas pak Kades.
Bohong itu Pak!
Dewie memberontak. Wajah kuyu itu seperti terisi baterai lagi. Kuat lagi. Kokoh lagi. Siapa pemuda itu! desaknya. Saya minta, dia dipanggil kesini! ucap Dewie tak menerima penjelasan dari pak Kades.
Memang benar. Ini adalah rekayasa panjang yang telah disusun Sigit hingga masak-masak. Penuh muslihat, yang hanya ia dan teman-temannya saja yang tahu. Dan untuk yang lain, semua hanya seonggok benda yang terus hanyut oleh arus ciptaan Sigit.
Sudah!, buat apa toh panggil-panggil pemuda itu malam-malam begini! tekan gantian dari pak Ratnho. Ini sudah larut!, mbok terima saja. Semua tidak bakal pulih seperti asal" Wajahnya bersungut-sungut. "Terima Ndo! dan tolong tata sikapmu setelah ini! terangnya.
 Bapak sebenarnya sayang sama kamu, dan kasihan melihat kenyataan pahit yang terus menimpamu. Tapi mbok coba tengok ke belakang dari semua kejadian-kejadian itu. Semua peristiwa tentu punya sebab, dan kejadian-kejadian pilu itu mungkin teguran buatmu untuk segera merubah watakmu Ndo? lanjutnya lagi.
 Diam Pak! bentak Dewie.
"Bapak tidak mengerti keadaan Dewie tempo dulu" Bergetar-getar badan beserta bibirnya Dewie.
"Ibu dan Bapak Dewie semasa hidup berjuang mati-matian untuk Dewie. Saya tahu itu semua. Dan apakah salah bila Dewie sebagai anak, ingin meringankan penderitaan biaya yang mereka cari untuk Dewie? mendelik matanya.
Video itu, Sigit sendirilah yang menyebarkan!!!" tuduh Dewie menunjuk Sigit. Dengan suara masih berderik-derik marah ia menyambung lagi Entah apa yang ada di otaknya!!, hingga tega berbuat seperti itu!!.
Ke empat peserta sidang termangu. Bukan karena terkejut. Tapi lebih ke arah iba tentang pembelaan Dewie yang muskil tak masuk akal itu. Sedih ke empat laki-laki itu. Dan hanya pak Ratnho sendiri. Laki-laki ke lima, yang nampak mulai mengumpulkan tenaga yang ia simpan untuk ia ledakkan menghantam perkataan mantunya itu. Tapi buru-buru diredam Sigit. Sudah pak! jangan dibahas lagi! selanya mematah ucapan tajam yang telah rucing lurus  siap menghujam Dewie. Dia enggan ayahnya itu bentrok dengan isterinya dan hanya  akan memperkeruh suasana.
 Cukup Wie saran Sigit. Cukup, tak perlu dilanjutkan. Semua tak ada yang akan paham. Tak ada yang akan percaya.Semua tetap bakal memojokkanmu, hal ini telah menjadi kobaran api besar. Sulit untuk dipadamkan. Andai kamu ingin tetap tinggal di sini pun, apakah mungkin kamu bisa tahan mendengar cercaan dari para tetangga dan warga desa ini! Sigit menerangkan sambil merembeng matanya. Berkaca-kaca basah oleh penerangan lampu philips. Hatinya robek juga melihat isterinya yang sendiri di sidang habis-habisan.
Terdiam kalah Dewie. Berontakannya telah ia sadari tiada guna. Tak mempan. Sekarang larut semua batahan, terkena abrasi penjelasan Sigit. Penjelasan yang memelikkan pikiran. Dan benar-benar pilihan yang kasar mentah untuk ditelan.
Eling Ndo? saran pak Kades. Ini bukan akhir dari cerita, dan jangan kamu merasa kecil mental dengan keputusan ini?, tegarlah seperti almarhumah Ibumu. Baja dan kokoh mental dia. Hingga membuat orang-orang desa yang dulu pernah mencibirnya karena niatnya ingin mengkuliahkanmu sedang ia saja dari keluarga sederhana. Tapi sekarang ia bisa dan bahkan tabungannya itu masih dapat kamu pakai buat Wisudamu dulu nasehat pak Kades lembut.
 Memang Kades harus bijak. Tidak ada kesan pihak-memihak. Pilihan yang ia ambil memang bukan lantaran hasutan dari warga, itu sebenarnya hanya kamuflase Kades saja untuk lebih memantapkan pendapatnya. Ia sayang warga-warga desanya, oleh sebab itu pilihan ini ia landaskan karena ia sayang juga dengan Dewie. Kades tak mau Dewie malah ciut akal dan bunuh diri bila dia tetap tinggal di desa, karena setiap hari nanti ia harus mendengar dan melihat cibiran pedas serta cemoohan warga kampung. Ia lebih baik disarankan untuk pergi.
Pak RT, dan seorang warga yang ikut serta dalam sidang itu hanya terus bungkam. Tak ikut debat. Semua kata-kata telah diwakilkan Kades yang lebih menjabat kuasa dibanding dua orang itu.
Sunyi kemudian suasana itu. Isak-isak Dewie pun telah berhenti. Mereka berlima juga diam. Menanti lontaran kata dari Dewie tampaknya. Layaknya pemain bulu tangkis yang siap menerima servis dari lawannnya, dan segera mengembalikan servis itu dengan smash keras. Sama seperti ungkapan itu, mereka pun siap mematahkan  lontaran kata Dewie dengan sanggahan yang mematah gerak lidahnya.
Dengan pelan Dewie pun berucap lagi kiranya, baiklah bila keinginan warga sini meminta saya untuk pergi meninggalkan desa. Lalu bagaimana dengan rumah beserta sawah?, itu memerlukan waktu untuk menjualnya Pak?.
 Lho! apa yang dijual? sanggah pak Ratnho.
"Sawah dan rumah ini harus dibagi dua. Sigit masih suamimu!. Dia berhak mendapatkan warisan peninggalan orang tuamu! pojoknya.
"Tidak bisa begitu Pak! protes Dewie.
"Rumah dan sawah, ini mutlak hak saya. Punya ibu dan Bapak saya. Â Dan telah dijatuhkan semua kepada anak satu-satunya. Yaitu saya. Adapun bila Sigit berhak mendapatkan jatah tanah. Itu oleh aturan dan ijin saya. Orang tunggal yang mempuyai hak tanah ini! terang Dewie tegas, dan berhadap pandang dengan pak Ratno mertuanya.
Tidak bisa seperti itu Ndo! bantahnya tak terima.
 Kalau masalah ini lari ke hukum. Kamu kalah!. Coba saya tanya, apa kamu punya sertifikat tanah rumah dan sawahmu ini?  desaknya sambil nyengir.
Ucapan kali ini, sekali lagi membuat lidah Dewie kelu tak mampu berucap. Memang pada dasarnya, kebanyakan penduduk yang tinggal di kawasan transmigrasi ini belum mempunyai sertifikat rumah, kebun dan sawah. Belum ada yang membuat karena pemutihan belum sampai di desa itu. Sampai sekarang pun masih banyak warga yang belum punya sertifikat. Semua tanah disetujui berdasarkan saksi-saksi. Sementara penentuan batas lebar dan luas itu diambil dari seberapa mampu seseorang membabat alas di tempo dulu, ketika kawasan itu masih benar-benar ortodok.
Tapi kini ada juga yang nekad membuat sertifikat sebenarnya. Pak Ratnho salah satunya, walau biaya yang dikeluarkan benar-benar tinggi, tapi ia tetap maju. Pak Ratnho beranggapan bahwa setifikat memang wajib ada. Agar kelak tidak menimbulkan suatu permasalahan.
Kembang kempis dada Dewie menahan pukulan yang terus datang menghantam. Bagaimana lagi harus berpikir, sempat ia menyahut lagi untuk melawan, saksi-saksi hidup! kata Dewie.
Walau tanah saya tak punya sertifikat, tapi saya masih punya saksi-saksi hidup yang akan memperjelas akan hak saya ini Pak! serunya.
Mertuanya semakin senyum mengejek dengan matanya membesar menatap ke segala dinding dan atap dan TV dan semua ruangan. Lepas ia tatap dengan balasan kemenangan yang ingin ia lontarkan, bawa semua saksi-saksi itu kemari Ndo!, bawa saja!, dan tanyai nanti!, tanya satu pesatu. Bapak tidak takut! tantangnya.
"Kamu pikir mereka akan membelamu?, membela seorang mantu yang kerjaannya merusak desa dengan tebaran dosa!, membantu seorang penyial desa!. Pembuat desa menjadi kotor! kamu berpikir mereka akan membantumu Ndo? nadanya turun naik dengan muka yang kadang maju merendahkan dan mundur lagi mukanya dengan maksud menang berpendapat.
Kelimpungan Dewie dengan lontaran kata-kata mertuanya. Ingin ia menangis lagi. Tapi air matanya benar-benar telah habis. Tidak keluar lagi pelampiasan semua sebalnya itu. Keruh sudah. Suasananya keruh jua. Sekeruh air kali yang surut. Ia pun tertunduk. Rambut panjangnya melampir di sepanjang pipi-pipinya dan sesekali goyang menutup barisan alis dan matanya yang sembab.
Semua peserta yang lain hanya diam. Tak ikut bicara. Kades hanya menunduk, ia pun tahu keputusan ini benar-benar berat sebelah. Curang menurutnya, tapi bagaimana. Sementara ini, ia juga tengah berpikir penyelesaiannya. Kedua pihak tak mau kalah. Dan saling dorong untuk menumbangkan musuh. Masih diam Kades. Menunggu suasana yang tepat.
Dalam hening, tiba-tiba Sigit memberi masukan Wie? nadanya lembut. Dewie yang kuyu tenggelam dalam ketundukkannya pun menengadah melihat wajah Sigit.
Aku ada tabungan buat bekalmu. Ini benar-benar telah kronis. Tak ada tempat lagi untuk bertahan. Kau tetap pasti akan kalah. Biar aku saja yang rawat tanah ini. Dan nanti bawalah ganti rugi tanahmu ini. Meski jauh dari nilai yang sebenarnya, tapi tolong gunakan untuk hal yang baik jelasnya dengan kini air mata jatuh lengket-lengket dipipi Sigit.
Tak perlu Git kau berlaga jadi pahlawan! timpal Dewie menyeruak.
"Jadi seorang yang suka menggurui!. Jadi priyayi yang suka menasehati!, semua cuma akal-akalanmu Git!, cuma sandiwara dibalik sengsarakkkku..!!!. ucapnya bergetar-getar dan tiba-tiba kedua dengkulnya menekuk ke atas dan membenamkan mukanya kedalam sela-sela lututnya itu sambil tangannya merangkul kedua kakinya, seperti keadaan dulu di mana ia terpuruk.
 Terserah Wie?, mau kau anggap apa aku ini. terserah saja balas Sigit juga dengan nada terbata-bata, tersedak tangis.
 Ndak usah nangis Git, kalau dia tidak mau,  ya sudah. Tidak usah lagian duitmu itu mana, mau ngasih pesangon dia. Seperti jutawan saja kamu ini? sindir ayahnya.
Terdiam Sigit, dan sekarang  Kades pun mulai ikut bicara lagi.
Begini saudara-saudara" Matanya lebih melihat pak Ratnho.
"Perkara tanah, nanti akan saya carikan pembelinya,dan semoga ada yang berminat. Soalnya bila langsung diambil keputusan secara sepihak, dengan jalan adik Dewie tidak menerima bagian dari haknya, menurut saya ini benar-benar tidak adil buat dia? kata Kades mencari titik tengah.
Yoh adil saja toh Pak!. Lagian siapa yang mau nukar tanah tanpa ada sertifikat seruduk pak Ratnho.
"Lalu untuk apa juga mantu kayak Dewie mendapat jatah dari peninggalan orang tuanya. Kebanyakan harta kalau tidak bisa mengurus, toh bakal jadi jalan membuat dosa lagi! serunya mendorong keadaan Dewie.
" Tetap tidak sepihak seperti ini Pak! Pokoknya nanti akan saya urus surat-suratnya" nada Kades sedikit menekan.
Jika dipaksa, tanah itu akan bertuah, akan membuat celaka bagi siapa yang menggarapnya. Karena tanah itu bukan murni hak seseorang, terkecuali Dewie sendiri belanya.
Masih menyangkal dengan ekspresi muka tidak peduli, pak Ratnho terus menghimpit kata, ah..? kata siapa seperti itu Des, itu cuma tahayul. Mitos?, tidak ada yang seperti itu, percaya dengan yang gitu-gitu cuma membuat diri tak bisa maju jawabnya dengan gerak tubuh berayun kekiri dan kekanan, dan mata sipit melihat  Kades dengan tatapan tak percaya.
"Ini benar Pak? jelasnya lagi.
Tan...
Sudah pak!,Sudah! Sigit memotong ucapan ayahnya. Â
"Berhenti berdebat dan membicarakan masalah gono-gini tanah orang kata Sigit.
"Bapak panggilnya dengan memandang wajah ayahnya.
Bapak, jangan seperti itu. Sudah cukup kita menghakimi Dewie. Jangan diperberat dengan tindakan-tindakan yang makin menyeleweng" terang Sigit masih menatap ayahnya. Pak Ratnho hanya menggerkkan dagu serta menatap dinding-dinding.
"Ini telah salah Pak. Benar kata Kades tadi" jjempolnya menunjuk badan Kades. "Llebih baik mencari pembeli dulu, agar Dewie juga mendapatkan separuh haknya? bujuk Sigit.
Tertegun kali ini pak Ratnho. Berhenti ia memandang-mandang, tatap matanya jatuh pula ke lantai.
Hmm..!!!; hembusan nafasnya.
Baiklah bila demikian keputusannya. Lalu berapa hari untuk mendapatkan sebuah pembeli? apa mungkin Dewie tahan bila tetap berminggu-minggu menunggu di sini menanti kedatangan seorang pembeli. Dan apa terjamin bagi Bapak Kades, bahwasannya nanti, tidak akan menerima segala keluhan lagi dari warga, bila Dewie masih tinggal di kampung sini terus pak Ratnho menghasut.
Memang segala kemungkinan itu tentu terjadi ujar Kades tenang.
Tapi langkah dini yang cepat harus segara ada sebagai penanggulangannya. Saya akan meminta nomor Handphone Dewie, dan biarlah ia dalam beberapa hari meninggalkan desa. Namun tetap nomor Dewie saya miliki, dengan maksud bila sawahnya dan rumah ini ada yang membeli, saya akan mengabarinya lalu mengatur urusan dengannya di telepon saran Kades.
Kalah pak Ratnho kali ini. Ia berhenti membantah. Bila tetap ia melawan dengan perkataan yang menyudutkan. Tentu masing-masing pihak akan tahu bila gelagatnya itu di latar belakangi oleh ketertarikannya dengan semua tanah milik mantunya. Mata pak Ratnho hanya memancang menatap Dewie tanpa iba sedikit pun. Tatapannya bagai seorang sipir penjara yang menatap resedivis-resedivis tahanannya, mata sipir itu penuh pandangan arogansi dan tempramental melihat sampah-sampah masyrakatnya.
Dewie yang terus diamati pak Ratnho benar-benar terkulai lemas. Serasa tak bertulang belakang tubuhnya, hingga ingin ia ambruk karena tak mempunyai penopang. Tapi tak bisa ia seperti itu. Kata-kata Kades berapa menit lalu membuatnya lebih tabah. Ibunya adalah orang yang tegar di pandangan warga, dan iapun harus seperti itu. Tak lagi ia menutup diri dari wajahnya yang bersembunyi di belakang dengkul-dengkulnya. Wajahnya terbuka sekarang, dan terihat berkerut-kerut kulitnya, tertekan dorongannya tadi yang lebih dalam mendesak mukanya agar tenggelam di sela-sela lutut. Rambut-rambut terlihat beberapa helai menempel dipipi-pipinya, menempel oleh lem air mata. Dan matanya masih sayu.
Bagaimana Wie tegur Kades.
 Inggih Pak, saya siap menerima kosekuensi ini. Dan perkara tanah, saya serahkan urusannya kepada bapak Kades katanya pasrah.
Malam itupun benar-benar malam pilu. Malam ironis. Malam di mana seorang perempuan dikeroyok  lima kaum adam dalam beradu asumsi. Perempuan itu tanpa daya, tanpa kekuatan dan hanya mirip seperti seekor kecebong di kubangan kecil yang diintai anak-anak itik yang lapar. Melawan dengan dayannya yang sungguh tiada berguna. Sia-sia.
Untungnya mukzizat masih dapat ia rasakan. Mukzizat dari kebijaksanaan seorang Kades yang memberinya tekanan kepada pak Ratnho, agar tidak berlarut-larut dalam tindakan kezaliman.
Keputusan telah dibuat dan disetujui. Malam yang kian melarut benar-benar terasa sakit bila harus dilalui dengan cucuran kesedihan. Mereka berlima pun pulang. Sigit sekali lagi tak tidur di rumah isterinya. Ia yakin isterinya tak mungkin nekat, karena janjinya akan menebus semua salahnya untuk kedua bapak Ibunya itu ialah pedomannya. Tak bakal ia ngawur dalam membawa dirinya lagi.
Dewie masih terdiam duduk lemas bersandar pada dinding. Tekanan masalah yang dialaminya belakangan ini terus menerus membuat bentuk tubuhnya kurus. Tak terurus lagi dia.Pucat dan kurus. Â Ia jangkau Handphone yang berada di sekitar dudukannya. Hadphone yang sejak sore tadi diam, olehnya menjadi saksi bisu vonis yang telah dijatuhkan kepada majikannya. Jempolnya bergerak lemas menekan dan memencet nomor. Malam itu menelpon seseorang dia.
Subuh setelah kamat, tiba-tiba datanglah Sigit masuk ke dalam rumah isterinya. Ia membawa amplop tebal yang ia selipkan di kantong kiri celananya. Masuk kedalam rumah, ia melihat Dewie tertidur  duduk bersandar di dinding. Pulas barangkali hingga ia tak merasakan kedatangan Sigit. Sedih mata Sigit melihat kondisi isterinya. Benar-benar menyayat nurani. Tapi inilah pelajaran yang coba dia berikan tanpa sepengetahuannya. Dalam pulasnya tidur Dewie. Ia ambil Handphone yang tergeletak di telapak tangan kanannya dengan pelan. Sesaat kemudian matanya telah menyusuri layar ponsel isterinya itu. Membaca dan mengamati, siapa saja orang yang terakhir dihubunginya. Dan dengan cepat menyalin beberapa nomor  dari dalam Handphone Dewie kedalam Handphonenya. Usai dengan hal itu, ia pun menggerak Dewie. Wie pelan suaranya penuh kasihan. Wie?, bangun Wie, panggilnya. Mata yang tertutup pucat itu kemudian terbuka. Perlahan membuka dengan sipit-sipit. Â
Kenapa kau datang kesini? tanyanya sedikit terkejut.
 Tidak ada Wie, Mas minta maaf atas kejadian malam tadi kata Sigit.
Sudahlah Git, jangan berpura denganku, kau urus Ayah ibumu saja yang masih lengkap, tidak ada perlu lagi kau mengunjungiku."
Aku peduli denganmu Wie ucap Sigit dan mendekap erat isterinya itu dengan terdu-sedu.
Aku hanya ingin kamu belajar dari ini semua. Aku  ingin kamu tidak menyepelekan sesuatu mengambil keputusan secara sepihak, karena keputusan itu belum tentu benar dan bermanfaat bagi dirimu sendiri kata Sigit terisak-isak.
 Dewie ikut mengeluarkan air mata. Di balik pelukan Sigit, Dewie benar-benar menyesal dengan sikapnya yang dulu-dulu. Ia pun hanya diam dibalutan kasih sayang seorang suami di kala subuh.
Ini ada amplop" ujar Sigit melepas pelukannya dan meraih amplop itu dari dalam saku celana. , "isinya hanya 5 juta saja. Hasil tabunganku selama bekerja di Tanjung Selat dulu? jelasnya.
Pakailah buat bekalmu, jjaga baik-baik dirimu. Aku tak mampu menjagamu Wie. Tatalah hidupmu dengan sebenar-benarnya. Urusan tanah, percayakan akan ku gunakan tanahmu untuk berderma. Aku janji Wie, tanahmu akan kembali kepada ibu bapakmu." Terisak-isak kali ini Dewie. Hilang semua ngantuknya, dan dengan tangan bergetaran ia terima amplop itu terima kasih Git. Entah?, tak paham aku dengan kesimpang siuran pikiranmu itu, tapi kali ini, aku percaya padamu. Terima kasih."
 Hati-hati Wie?, pilihlah temanmu dengan bijak pesannya. Dan Subuh pun berlalu, membawa langkah Sigit pergi meninggalkan isterinya.
*
14. Surau dan Subuh
Tahun ke tiga selepas kepergian Dewie dari desa. Hampir semua tampak biasa bila masuk kedepan desa itu. Namun cobalah masuk ke desa dan menyusurinya sampai keujung-ujung. Maka akan ditemuilah perubahan yang mencolok.
Dua tahun lalu, konflik terjadi antara Sigit dengan ayahnya. Ayahnya tak rela dengan keputusan Sigit mengenai sawah Dewie. Sebelumnya sawah Dewie yang ingin dicarikan pembeli oleh pak Kades, itu diambil alih oleh pak Ratnho. Sawah yang seharusnya tidak boleh ditanami karena itu milik orang lain. Malah nekad pak Ratnho garap hingga musim panen pada tahun pertama. Tapi sungguh sebuah teguran!. Saat padi telah kuning-kuning karena masak, sawah Dewie itupun kebakaran hebat. Habis semuanya dimakan api. Sigit yang mengerti jika ini adalah teguran mencoba memberi saran ayahnya, namun ditolak dengan tetap keras pada sikap ngototnya. Itu hanya kebetulan!! Â katanya.
Tahun kedua musibah kembali menerpa pak Ranho, kali ini bukan padi. Tapi bibit padi yang siap menunggu panen. Semua bibit padi tiba-tiba kuning, Dan mati. Seolah menanam di atas tanah tandus saja. Mati kuning dan kering. Dan akhirnya untuk kedua kalinya, ia mengalami gagal panen.
Hal ini membuat Sigit geram, dan pada tahun itu, ia lawan ayahnya dengan habis-habisan. Eling pak!!!..Eling!!! ini teguran dari sang Maha Kuasa. Mbok sadar!!!, mbok tobat!!!, jangan terlalu maruk dengan harta!!! bentaknya di suatu debat dengan jengkel yang berapi-api. Akhirnya hati ayahnya luluh dan menyerah. Ia lepas keinginannnya untuk menggarap sawah Dewie, dan menyerahkannya kepada anaknya. Terserah ingin diapakan tanah itu.
Pada tahun ke tiga ini, suara azan  lebih ramai berkumandang. Surau  kini ada dua. Surau milik pak Poyo dan kini surau baru yang dibangun di tanah bekas rumah Dewie. Yah, Sigitlah penggagasnya. Tanah Dewie atas seizinnya tempo dulu itu, kini dibangun sebuah langgar kedua. Langgarnya tergolong mewah karena fasilitas yang lengkap. Luasnya lumayan. Lebar 10 meter dan panjang  10 meter. Langgar ini diurus oleh seorang santri  perantauan dari Martapura yang datang ke desa itu untuk  menemui salah seorang keluarga. Dan atas permintaan Kades, ternyata santri itu mau untuk tinggal didekat surau.
Agar lebih nyaman untuk mengurus langgar, santri itu dibangunkan sebuah rumah sederhana di belakang surau. Tepatnya di kebun sayur milik almarhum Pak Darwis dan Bu Sumarni dulu. Bangunan rumah  itu diambil dari sisa dinding-dinding rumah kosong Dewie yang dibongkar, untuk diubah menjadi langgar, namun tetap tidak mengubah sebagian bentuk lantai-lantainya rumah Dewie itu.
Sementara untuk mata pencahriannya, oleh Sigit diusulkan bahwa santri itu boleh menggarap sawah Dewie yang 45 borong, terdiri dari empat balur atau baris. Dengan bagian, dua baris untuk santri dan dua baris saat panen itu untuk wakaf masjid, surau dan zakat untuk kaum fakir miskin yang membutuhkan.
Santri pun setuju. Semua wakaf, dari tanah hingga hasil panen dari tanah itu atas nama almarhum Pak Darwis dan Bu Sumarni. Semua juga atas urun rembuk antara Sigit dan Dewie. Yang telah bercerai sehari setelah pertemuan di kala Subuh dulu.
Setiap malam selalu ramai langgar itu. Â Mengaji dan membaca syair-syair. Agaknya lain juga bila pengurus langgar itu adalah santri asli yang telah belajar lama dengan guru-guru terkemuka di Martapura. Seperti tak pernah berhenti bersenandung ayat-ayat Al-Quran langgar itu di setiap malam.
 Dan tergolong unik, nama yang digunakan untuk penamaan langgar tersebut . Dari cakap-cakap mereka yang rahasia, maka  disepakatilah bahwa bangunan itu  bernama Langgar  Ummi dan Abi.
*
Sebagai seorang mantan Suami yang sebenarnya cinta dengan isteri ,namun karena faktor edukasi yang ingin ia terapkan untuk isterinya. Sungguh Sigit pun benar-benar merasa kehilangan. Tapi ia berusaha tabah, dan dengan mengetahui di mana tempat tinggal Dewie sekarang, serta kabar-kabarnya, itu telah cukup untuk membuatnya tenang. Sigit memperoleh kabar-kabar itu dari tindakan diam-diamnya yang sampai saat ini masih berhubungan dengan teman dekat Dewie di mana Dewie tinggal di situ. Awalnya begitu susah untuk meyakinkan sahabat Dewie itu, bila Sigit ini benar-benar tulus ingin mengetahui kabar dia dengan tetap tanpa sepengetahuan Dewie. Terus berusaha meyakinkan, akhirnya sahabat Dewie itu mau percaya, menginggat ia juga telah paham karakter Dewie dulu saat satu kos dengannya.
 Fatimah nama sahabat Dewie itu. Telah menikah, sekarang ia dan punya anak satu berusia 6 tahun. Dan Dewie tinggal dekat dengan rumahnya yang berada di Palingkau, menjaga nenek Fatimah yang sudah tua. Dari Fatimahlah Sigit tahu tentang keadaan Dewie.
*
Bisik rindu menyelusup dari celah rinai hujan. Kemukus halimun mengarsir malam yang mulai lelah berjaga. Derai embun tampak menari di atas daun. Sementara daun terus bergoyang menahan keseimbangannya. Dewie duduk termangu dalam amparan sajadah. Telapak tangannya mengatup memohon ampun dan pertolongan dari sang Maha Pencipta. Tangisannya di salat malamnya itu benar-benar tagisan seorang hamba yang ingin bertobat. Air matanya begitu belinang deras. Mengucurkan semua dosa-dosa yang pernah ia buat. Dan membuat lembaran baru, untuk dia dan kedua almarhum ayah dan Ibunya. Â Sesal-sesalnya telah ia rela untuk telan. Dan kini dia berharap semoga tidak salah jalan lagi.
Seusai salat dan doa-doa di akhir salat Tahajudnya. Â Jam sudah berderak menuju keangka empat pagi. Dia tanggalkan mukena. Ia pandang nenek angkatnya masih pulas tertidur. Dengan tubuh kurus karena tekanan beban dulu yang belum sepenuhnya pulih, beranjaklah ia ke dapur membuat masakan untuk nenek Fatimah. Tekun ia kerjakan tanpa sedikitpun mengeluh. Sekarang dimatanya, nenek angkat itulah orang tuanya.
Usai membuat masakan, terdengarlah suara pengajian dari langgar. Tanpa menunggu azan dan kamat, ia bergegas menuju padasan tempat untuk berwudu. Ingin salat Subuh tampaknya ia.
Ushalli far-dlash shub-hi rakataini mustaqbilal qiblati adaaan lillahi taalla...Allahu Akbar??!
Semenit kemudian gerakan-gerakan khusu penuh dengan kepasrahan hati terus mengalun menjangkau semua alam gelap menjadi terang. Buram menjadi putih, dan mendung menjadi cerah. Semua hening dalam alunan khidmat. Hingga lima menit berlalu dengan lembut tanpa panca indera yang terbuka.
Dalam berdoa, ia mengucurkan air matanya lagi.
Ya Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dalam lemahku hamba hanya mampu meminta, memohon dan mengemis pada-Mu. Ampunilah hamba dan kedua orang tua hamba. Buatlah mereka damai di sisi-Mu Ya Rabb..!!!, Sungguh hamba sudah berlaku aniaya terhadap diri hamba sendiri. Berlaku curang terhadap mereka berdua. Hamba menyesal! (terisak-isak). Hamba tak pernah menemui jalan ketenangan. Hamba selalu dijerat dengan segala ketakutan khayal-khayal hamba sendiri Ya Allah!!... Ya Allah yang Maha Mengetahui segala rencana. Tuntunlah hamba menuju rahmat-Mu Ya Allah... dan kabulkanlah segala tobat, dan doaku...Amin ya robbal alammin .
Termenung sejenak Dewie di atas lapik sejadahnya. Dan beberapa menit kemudian bangkit. Langsung ia ganti mukenanya dengan pakaian kumal yang ia taruh di atas bangku dekat pintu depan. Tubuhnya kurus benar sekarang, hitam pula. Hingga serasi sekali dengan kaus kumal yang hendak ia kenakan.
 Keluar ia dengan semua persiapan. Kerudung ia kenakan untuk membalut rambutnya yang telah ikal sebahu. Matanya yang cekung jarang tidur itu berkaca-kaca. Wajahnya yang tirus itu yakin, semua akan menjadi baik.  Tangan kananya menggenggam bara semangat.
Sampai di emperan, ia berhenti sejenak. Ia tatap halaman depan rumah masih gerimis. Â Azan di langgar masih belum berkumandang.
Dewi injak tanah basah sebagai pijakan pertama dengan sandal jepitnya. Di punggungnya tergendong bakul besar. Berisi sejenis pisau torehan, air minum, bungkusan bekal, dan obat nyamuk.  Ia terus berjalan keluar.  Menuju kebun karet milik nenek Fatimah. Terus berjalan memotong angin dingin keadaan!. Dewie dengan pasti membelah kabut yang tampak seperti khalayalan penyesalan. Berjalan semakin laju  mencari cahaya berkah. Zikir dari mulutnya nembisikkan pada kesenyapan arti pengampunan.  Hatinya menyambut rahmat dan menyambut rezeki sebagai penoreh getah karet. Dengan tegak sepeda ia ambil dan dorong. Dalam remang malam,  perempuan itu menjemput Subuh.
***
Sekian
Bionarasi
Heri Haliling merupakan nama pena dari Heri Surahman seorang guru di SMAN 2 Jorong. Lahir di Kapuas, 17 Agustus 1990 karya-karya  yang telah ia telurkan antara lain  antalogi puisi untuk Gaza "Abad Burung Gagak" Tahun 2015, Novel Rumah Remah Remang tahun 2024, Cerpen Pion Langit masuk ke dalam pemenang sayembara menulis Readerzen tahun 2024 dan cerpen Bukan Dia Romeomu masuk menjadi juara favorit lomba cerpen BunCha Publisher pada tahun yang sa
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI