Sebuah Roman
Perempuan  Penjemput Subuh
Karya, Heri Haliling
1. Perempuan dan Baktinya
Seorang wanita kurus dengan usia lumayan tua terpanggang panas dan terus mengayuh sepeda ontel menerenjang tanah berdebu di jalanan transmigrasi. Dialah Bu Sumarni, matanya cekung tanda ia kurang tidur. Pandangan Bu Sumarni lurus tanpa  sudut keluhan; sebuah sikap simetris pilihan telah terkunci. Lakon hidup manusia telah ada pada rel sendiri-sendiri. Tak pantas seorang manusia harus terus mengeluh dan mengiba. Manusia diciptakan paling sempurna di antara semua makhluk. Manusia punya ketangkasan beragam, motif berpikir dan bergerak yang berwarna. Manusia yang hanya jadi batu parasit adalah manusia yang selama hidupnya menjadi makhluk sia-sia. Jika raga masih mampu bergerak, tak ingin bagi wanita itu untuk sudi mengemis . Bu Sumarni bersyukur menyikapi sebuah peran dalam buana ini. Selama napas masih dapat termulai di hari Subuh, selama itu pula kita sebagai insan akan selalu diberi kekuatan dan jalan guna menempuh jalur hidup.  Asal kita selalu eleng dengan berpandang bahwa Tuhanlah tempat kita untuk mengadu tentang segala gundah masalah dalam rumah Salat. Tak ada yang patut kita protes dalam keluh karena sesungguhnya kita mampu untuk menjalaninya.
Wanita itu sedikit bergetar-getar kedua tangannya dan dierat-eratkan kegenggaman setang sepeda. Dari cara ia mendayung pedal sepedanya, tampak  lemah nian kaki-kakinya itu. Di boncengan belakang masih terbandul karung goni berisi sayuran. Tak habis lagi ternyata jualan hari ini.
 Terus bersabar dia.
 Selagi mengontel sepeda, pikirannya kerap kali mengalir menuju anak tunggalnya di rumah yang baru lulus SMA. Kehendak putrinya, ia ingin kuliah tinggi dan menjadi guru. Dengan cakap polos itu, ia punya keinginan untuk merubah keadaan orang tuanya. Wanita kurus itu terharu dengan niat anaknya. Sebagai ibu, ia pun tak mau kelak anaknya mengikuti jejak langkahnya Berjualan sayur sampai berkilo-kilo jaraknya karena pasar yang ramai ada terletak jauh di luar desa. Sementara untuk pemukiman tran tempat wanita itu  tinggal pasar begitu sepi. Keadaan itu tak menjamin bila dipakai untuk sarana penunjang kebutuhan hidup.
Kretek....Tek!!..Tek..Tek!!!!..
Ya Allah..., opo iki" kata Bu Sumarni kaget.
Menengok Bu Sumarni ke belakang, ternyata rantai sepedanya los ger. Diarahkan sepedanya menuju pinggiran jalan yang kerontang tumbuhan. Mati tampaknya tumbuhan dan pepohonan sepanjang jalan tersebut karena banyak batangnya yang setengah dikelupasi. Â Di tempat lain tanaman yang dulu merias sisi jalan telah musnah tertimbun aspal murahan.
Kini kakinya yang terbiasa telanjang langsung bersalaman dengan aspal panas. Berjongkok Bu Sumarni, tangan kirinya yang gemetar berpelembab keringat berusaha menahan setang sepeda. Sementara itu tangan kanannya sekarang telah belepotan oli bercampur bau minyak goreng.
Semenit kiranya dia menjadi montir amatiran. Di lain sisi karung sayur sebelah kiri tak dapat memberinya tempat sembunyi dari cahaya panas mentari. Â Hanya kerudung lusuh berwarna ungu yang melindungi kepalanya dari amarahnya hari.
Hyyuuuuhh!!!!... kode suara Bu Sumarni lega.
Berdiri ia, lalu mendorong sepeda dan menaikinya. Bu Sumarni mengontel dengan pelan. Akan tetapi kira-kira 5 meter dari tempatnya memperbaiki rantai tadi, sepeda Bu Sumarni ternyata los ger lagi.
Allahu Akbar??.. seru Bu Sumarni dengan wajah kian pucat.
Sebagai seorang hamba, tentu tak berarti Bu Sumarni selalu tegar tanpa keluhan. Yah, ia memang tak sudi untuk mengeluh dengan sesama. Bu Sumarni hanya selalu melarung semua keluhnya secara vertikal ke atas. Dia percaya, selalu ada jalan dibalik kesulitan yang menguji.
Teringat anaknya di rumah, tiba-tiba muncul seutas senyum di bibirnya yang layu. Terpancang tajam matanya ke depan dan  seolah datang hujan dari langit; sekarang  tubuh keringnya sudah basah dengan aura semangat. Â
"Dewie Pengen kuliah Bu, lalu nanti ingin membahagiakan Ibu  dan Bapak."
Mengangguk sendiri Bu Sumarni. Mengangguk sambil bertambah pelan mengontel. Kedua tangannya kini bergetar bukan karena terkoyak sinar matahari. Ngiangan dari anaknya berarti haru baginya. Getaran tangannya itu merambat ke badannya dan berubah semangat meski kepala sampai kakinya diterjang panas.
Iyo Ndok, kalau kamu mau sekolah lagi. Ibu janji bakal carikan biaya buat kamu batin Bu Sumarni.
 Kemudian ia pun terus bersepeda dengan air bening mengiring perjalannya.
Setengah jam kemudian.
Melewati jalan kecil seperti sebuah siletan mengukir rambut. Dengan keadaan sepedanya yang masih rewel, Bu Sumarni kini telah sampai di jalan persawahan yang menghubung ke desanya. Dia memotong jalan besar tadi rupanya.
Meter demi meter jalan, ia harus lalui dengan sedikit-sedikit turun.  Hal ini bukan lantaran rantai sepedanya yang rusak, melainkan lintasan kali ini terlihat  kecil berlubang dan sebagian area telah tersamar oleh rerumputan liar yang menjalar menyebrang jalan.
Terus ia tabrak tumbuhan rawa itu dengan ban depan dan tubuhnya. Kadang-kadang pula ia harus dibuat jengkel ketika akar tumbuhan rawa seperti pakis dengan ketidaktahuan dirinya menerobos masuk jeruji sepeda. Hal itu tentu membuat roda sepeda jadi tersendat.
"Oalah sampai sekarang jalan trans kok enggak ada yang bagusnya. Bupati sering diganti, tapi kok jalan tetap mati dikubur debu dan rumput. Apa ini sudah jadi takdir  buat aku dan desaku biar terus hidup nrima. Hmmm...Seingatku, mengenai usul perbaikan jalan, sudah ada dari pemuda-pemuda atau Kades. Sudah dari Subuh-subuh dulu berpuluh-puluh usulan terlayang ke pusat dengan  map rapi dan silaturahmi beras. Tapi yo mboh lah,  kelihatannya mereka yang pakai  jas itu selalu pintar masang muka, gumamnya sambil terus menyisir jalan.
Cepat-cepat berhenti dari rasa kontroversi batin, Bu Sumarni sekarang lebih sering memandang ke pinggiran jalan. Tampak ribuan padi merunduk kuning masak siap dipanen. Mayoritas penduduk memang petani. Namun jujur saja, wanita itu tak merasakan sebuah kekaguman sebagai seorang petani. Orang dari kota biasanya sering datang berkunjung, entah mungkin dari daerah Kapuas atau bahkan kadang dari kota Banjarmasin. Mereka sering merefreshkan kepala dari semua hiruk pikuk kepadatan kota dengan kegiatan memancing di desa itu. Sering wanita itu menegur, tentang mengapa mereka rela jauh-jauh datang ke sini dan apakah di daerah sana tidak ada tempat seperti di desanya ini. Balasan salah seorang mereka adalah: mereka kagum, melihat indahnya padi yang sudah masak, indah merunduk, kagum juga mereka pada para petani. Tekun dalam bekerja keras membabat alas, hingga menghasilkan ratusan karung gabah pertahunnya. Bila mendengar jawaban demikian, biasanya Bu Sumarni akan tersenyum. Bu Sumarni menyetujui segala ungkapan yang dilayangkan orang kota itu tentang tekunnya menjadi seorang petani. Tapi dalam batin, wanita itu ingin mengungkapkan bahwa ketekunan dari seorang petani, ialah karena memang mereka tak punya pekerjaan lain, atau tepatnya mereka telah pasrah untuk mencoba meloncat dari tempat basah ke tempat yang lebih kering.
Jika dipikir satu atau dua orang di kampungnya ada yang memberanikan diri meloncat. Contohnya Supri yang sudah menjadi distributor gabah dari desa sendiri. Tugasnya ialah mengirim gabah kampung ke distributor-distributor besar yang berada jauh di luar desa seperti Kapuas, Gambut di Banjarmasin, dan Banjar Baru. Supri paham, begitu berat menjadi petani. Â Bertani adalah kerjaan sesakit-sakit kerjaan. Mulai membuat bibit padi, membersihkan sawah dari tanaman rawa dan gulma, hingga bertanam, memupuk sampai panen dalam setahun. Semua hal itu adalah dinamika keringat yang terus terkucur. Benar, pendapat yang mengatakan kerja keras memerlukan keringat yang ekstra. Tapi manusia tercipta dengan segala pemikiran, segala pilihan. Akhirnya kembalilah keanggapan dasar, bahwa: selama hari Subuh seseorang masih mampu menghela napas, maka di saat itu sebenarnya manusia masih diberikan jalan pilihan untuk merubah keadaannnya. Oleh keyakinan itulah maka satu dua orang di kampung Bu Sumarni ada yang nekad keluar mencari rezeki dengan cara lain.
Bu Sumarni  memutuskan untuk berdagang, karena hasil dagang begitu cukup untuk mengayom hidup. Bersepeda berkilo-kilo jauhnya, baik dalam mencari dagangan dan menjualnya ke pasar memang juga sama menguras peluh. Tapi setidaknya, berdagang adalah sebuah pekerjaan dengan ketenangan jiwa, karena mata mampu  melihat-lihat hal yang baru. Hitungan untung yang diraih meski kecil namun perhari. Sedangkan bertani, dari pagi sampai sore hanya melulu bercinta dengan benih padi. Dan ketika benih padi itu melahirkan, memang hasil yang dicapai seseorang begitu besar mengingat garapan sawah di tanah tran luas-luas.  Namun, untuk membiayai proses lahirnya benih padi menjadi beras, itu adalah proses panjang dan rumit. Seorang petani akan jadi profesor matematika ketika dihadapkan dalam situasi itu. Berhitung dengan jeli, menghitung bulan demi bulan. Apalagi musim berganti dan bila sampai pada musim yang dijadwalkan, namun sawah belum siap ditanam dan diurus sebagaimana mestinya; maka hal itu akan berdampak pada kualitas benih padi. Belum berhitung tentang mengupah, membagi untuk kosumsi, untuk pupuk, dan lain sebagainya. Semua harus rinci dan terumus dalam buku. Bila hal itu luput maka tanpa disadari seorang petani bisa jadi akan memanen rugi.
Sepeda berhenti berputar rodanya, sedikit terdengar endusan napas megap-megap. Bu Sumarni menyandarkan sepedanya pada  sebatang pohon galam besar.
Dari dalam bakul yang tergantung di setang, ia ambil sebotol aqua berisi air rebusan dari rumah dan langsung mereguknya.
 Gluk...Gluk..Gluk!! bunyi cairan bening terdorong masuk diikuti jakun tua  yang naik turun berirama mengontrol gerak air yang membasahi kerongkongan keringnya.
Langsung pulang saja Bu, Tidak usah ikut mengarit padi!! teriak seorang lelaki yang sama umurnya dari tengah sawah.
Laki-laki itu adalah Pak Darwis, suami Bu Sumarni.
Ah..Tidak apa-apa Pak, ini juga cuma sebentar. Sedapatnya saja mengarit.
Berjalan lagi kaki-kaki keriputnya, wanita itu kini terjun ke sawah yang hanya terdiri dari 45 borongan untuk beralih profesi menjadi petani. Bagaimanapun, bertani adalah salah satu pekerjaannya, walaupun ia berusaha menjadikannya sampingan kerjaan. Dia juga tak tega melihat suaminya bekerja sendiri dari pagi sampai sore untuk mengarit padi yang telah panen. Pedoman Bu Sumarni ialah berbakti kepada Tuhannya, kepada suaminya, dan melunasi semua kewajiban sebagai orang tua.
Maka di siang panas itu pun, wanita tersebut sudah terjun membakti pada suaminya. Kadang kata-kata lawakan keluar di antara pasangan itu aar pekerjaan lekas rampung. Kemudian kala beristirahat di sebuah gubuk reot di tengah sawahnya, sang istri selalu membawakan suaminya gorengan  yang ia beli di pasar untuk melipur lelah sang suami.
*
Malam di Desa Rawomangun seperti pasar yang sunyi ditinggal pengunjungnya. Tiada yang ramai dari kampung transmigrasi itu.
Rumah Pak Darwis letaknya sedikit ke pinggir kampung. Lebih dekat ke areal persawahan ketimbang merapat dengan tetangganya. Hal tersebut membuat keluarga itu tidak dapat mendengar deru-deru pembicaraan dari gardu di tengah desa.
Mau kemana Pak..? tegur sang istri yang melihat suaminya hendak keluar rumah.
Cari angin sebentar Bu, .
Dengan celana kain dan balutan sarung di lehernya, keluarlah Pak Darwis dari rumahnya.
Kreeek!!!..gleekk!!.. bunyi pintu menderit lalu mengatup.
Nanti kalau sudah kuliah, yang hati-hati yo Ndo'k"
Iya Bu, Dewie janji bakal kuliah dengan benar."
Iya Wie, orang tua hanya dapat menyokong dana  dan dan doa, tak bisa ngebantumu berpikir. Jangan jadi seperti Ibuu dan Bapakmu.
Inggeh Bu, sahut Dewie sopan.
Percakapan keduanya itu berlangsung singkat. Sebagai anak, Dewie sudah tahu seperti apa keadaan orang tuanya. Hingga sering sekali ia mendapat nasihat. Singkatnya tidak hanya malam itu saja wajengan dari Ibunya ia terima, malam-malam yang lalu pun sama. Gadis berpipi gembung dengan kulit kuning kecokletan itu pun langsung mengerti bahwa, betapa enggan orang tuanya melihat kelak anaknya menuruti jejak mereka.
Teman-teman Dewie yang seangkatan, kini kabarnya telah mendapat pinangan sendiri-sendiri. Kadang-kadang sambil ngelaba di Handphone mereka kerap menanyakan kapan Dewie menyusul. Mendapat pertanyaan yang sepertinya terdengar lebih ke sindiran itu, tak membuat hati Dewie sesak dan cemburu. Ia anggap angin lalu saja karena hidup berkeluarga itu tak senyaman menguap kala bangun tidur. Tak spontan lancar. Tak spontan jadi. Semua adalah proses panjang, dengan pola pikir matang bukan dengan nafsu atau egoisme karena takut menjadi perawan tua.
Di luar rumah, Pak Darwis duduk kumpul di atas kursi panjang dari bambu dan galam, dengan beberapa orang tua  yang asik menggiling rokok tembakau. Pemuda-pemuda juga berkumpul duduk-duduk bersila di dalam sebuah gardu dekat kursi bambu itu dengan tangan masing-masing memegang kartu domino. Riuh  tawa pemuda-pemuda yang tersiratkan semangat-semangat di masa merah memecah hening malam.
Seorang lelaki uzur yang duduk dekat dengan Pak Darwis langsung membuka cakap dengan bertanya:
Bagaimana, sudah selesai belum sawahmu Wis?"
Waah masih lama Mbah, belum apa-apa kok.
"Mbo'k dicarikan orang saja, buat mengaritnya.
Sedikit tersenyum di sudut bibirnya menyanggahlah Pak Darwis dengan sopan:
 Sayang Mbah, diarit sendiri saja, lama-lama juga selesai."
Jangan terlalu perhitungan Wis sama duit, kita ini apa toh?. Yang penting sawah selesai, terus ya kerja lagi urai  pria uzur lainnya. Dia adalah Mbah Karjo yang duduk di pojok kursi dari bambu. Apa lagi anakmu itu perempuan. Sudah jelas nanti kalau besar terus kawin. Terus paling ikut suaminya. Tidak bisa ngebantumu.
Terlihat mencibir bibir Mbah Karjo, Perempuan itu punya keterbatasan. Dia kalau sudah kawin Wis, maka hak berbakti pertama dia adalah kepada suami. Tidak kepada orang tua lagi. Orang tua akan tergeser  keurutan ke dua, itulah keterbatasan perempuan. Mereka tidak perlu di sekolahkan tinggi-tinggi. Identik perempuan itu, biasanya lemah dalam mempertahankan sikap. Aku sih cuma mau ingetin, kasian kamu Wis, sudah jungkir balik pengen nguliahkan anak. Tapi eh..Anakmu malah lupa."
Nasib orang tidak ada yang pernah tahu Mbah, itu yang pertama. Saya, sebagai  orang tua pasti pengen ngasih yang terbaik. Apakah itu salah?, menatap tajam ke wajah Mbah Karjo. Hidup, mati dan pembagian rezeki itu sudah ada yang ngaturnya. Anda mengatakan tentang perempuan saja, seolah posisi perempuan itu murni di bawah kita, para kaum lelaki. Apa Mbah juga tak tahu, bila seyogyanya, lelaki pun punya keterbatasan. Tidak hanya perempuan saja.
Lelaki itu kuasa Wis, dia kepala rumah tangga. Dia pengatur. Dia pemerintah, dan haknya jelas, kalau isteri harus patuh dengan suami. Perempuan diciptakan dari tulang rusuk kiri laki-laki, itu sudah jelas bahwa letak perempuan ada di urutan dua, setelah laki-laki.
"Anda itu salah anggap Mbah. Perempuan diciptakan dari tulang rusuk lelaki, bukan lantaran  itu menunjukan bahwa perempuan mutlak menjadi yang ke dua atau menjadikan mereka seolah budak dengan kita sebagai juragannya. Bukan seperti itu protes Pak Darwis dengan kini membuang putung rokok tembakaunya yang masih panjang.  Perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki karena perempuan itu wajib untuk kita jaga. Tulang rusuk dekat dengan hati. Dekat dengan jantung, Oleh karenanya, kita sebagai laki-laki harus bisa menjaganya dan mendidiknya. Laki laki semestinya memberinya semangat ketika dia jatuh. Karena tulang iga itu rapuh dan mudah patah. Oleh karena itu sebenarnya sikap kita tengah diuji. Bukan sebagai pengatur, melainkan sebagai pemomong.
Hahahaha!!!...Kata-katamu itu seperti orang pendidikan saja" ucap Mbah Karjo terpingkal. Tetap saja perempuan itu punya keterbatasan. Seperti yang ku jelaskan tadi, bahwa perempuan akan beralih patuh mengeduakan orang tuanya bila telah kawin. Ini menjadikan suami menjadi tempat pertama untuk perempuan mematuhinya."
Tidak bisa seperti itu Mbah?!  sanggah Pak Darwis mengeleng-geleng geli. Perempuan dan laki-laki itu sama-sama punya keterbatasan, juga kelebihan. Tidak bisa Mbah, kita sudutkan perempuan. Kita saja punya kekurangan. Baik...!!. Saya setuju dengan Mbah bila perempuan telah menikah maka dia wajib mematuhi suami terlebih dahulu baru  berbakti  dengan orang tua. Itu sebabnya dalam akad nikah terjadi ijab kabul, tanda penyerahan perempuan untuk dimomong suami yang disetujui oleh orang tua perempuan sendiri. Namun itu tadi Mbah, perempuan tercipta bukan untuk disuruh dan diatur seenaknya. Dia tercipta sebagai penyemangat dan kita wajib membimbing, bukan merasa tinggi atas hak-hak tak jelas kita. Kalau di runut pun, sebenarnya kita juga lemah dan punya keterbatasan Mbah.
Mbah Karjo masih merasa menang dan memandang Pak Darwis hanya sebagai seorang bocah, jauh dari pengalaman dia. Sedikitpun dia tak akan setuju tentang apapun gagasan yang Pak Darwis utarakan. Mbah Karjo hanya terus menggiling-giling rokok dan mengepul-ngepulkannya dengan congkak. Melihatnya Pak Darwis semakin panas, diapun terus bercerita untuk membangunkan presepsi yang kolot dari Mbah Karjo.
Begini Mbah, silahkan  mikir sendiri lanjut Pak Darwis dengan nada jengkel sekarang. Dalam Al-Quran tertulis 'surga ada di telapak kaki ibu' Mbah pasti pernah mendengar. Nah dari situpun kita sudah tahu, bagaimana kedudukan perempuan. Mereka tinggi Mbah, doa pertama dan bakti pertama seorang anak, adalah bakti kepada ibu, baru ke Bapak. Dengan kata lain, derajat perempuan adalah mulia. Kita sebagai seorang ayah akan menjadi urutan kedua di mata anak. Sosok perempuan atau ibu akan menjadi patokan pertama bakti seorang bocah, jadi adil.  Salah, jika tadi Mbah mengatakan bahwa, laki-laki adalah pemerintah mutlak karena sesungguhnya semua yang tercipta oleh Tuhan baik laki-laki dan perempuan adalah mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Ya.., silahkan saja jadi guru di sini" timpal Mbah Karjo sewot.
"Lalu tentang Dewie, dia  itu anak baik Mbah; anak tau budi pekerti. Perkara nikah-nikah dia sama sekali belum terpikir. Di sini dia berada di lingkungan yang baik. Tentu anak baik akan terdidik baik di lingkungan yang baik. Saya cuma tak mau Dewie jadi seperti orang tuanya. Saya ingin dia makmur.
Muak benar sekarang Pak Darwis menghadapi orang tua yang keras kepala itu. Irikah dia, atau mungkin sirik. Tapi sirik tentu pasti dilatar belakangi iri. Semakin muak Pak Darwis lalu  akhirnya memutuskan pulang.
Saat dia berjalan membelakangi Mbah Karjo dan kerumunan-kerumunan, Mbah Karjo selaku guru ngaji terlihat dikerubung oleh  santri-santrinya. Raut mereka sebagian terkesan mencibir Pak Darwis. Begitulah keadaan sebuah desa yang masih kental dengan lemahnya pola pikir pendidikan.
Kini tengah malam di Kampung Rawomangun begitu senyap. Tak terdengar lagi guyonan pemuda yang riang bermain kartu. Begitu sunyi.
 Rembulan nampak cerah. Cerahnya tidak alami. Seperti ada  lentera buatan ikut tercampur di dalamnya. Dari kejauhan terlihat cahaya merah mengepul ke atas. Tidak ada pesta di desa transmigrasi. Apalagi pada jam 2 dini hari. Pandangan demikian membuat Bu Sumarni yang bangun untuk menunaikan salat Tahajud, menjadi tersita langkah kakinya saat hendak ke sumur untuk berwudu.
 Api..?, batinnya. Itu Api..!!. Sopo seng  begitu ceroboh membuat api di musim kemarau seperti ini. Nggak mikir dampak dari kegiatannya itu terus hatinya berseru. Pandangan Bu Sumarni terus terfokus ke arah selatan. Cahaya merah sangat terlihat berkukus membumbung tinggi membuat warna ketakutan di langit.
Untungnya kebakaran itu masih jauh dari persawahan mereka. Kebakaran itu lebih dekat ke kampung  seberang di mana suku Bugis juga bermukim di sana.
 Tanpa ia pedulikan lagi. Jongkoklah Bu itu mengambil gayung untuk berwudu.
Tubuh kurus itupun telah berserah lagi dalam hening malam dan amparan sejadah . Kelihatan dari bibirnya. Wanita itu sangat khusu dalam menjalankan kewajiban manusia. Di akhir salat, untaian doa ia panjatkan menembus atap rumahnya, dan melintas vertikal ke langit. Kepada Tuhannya. Allah SWT.
Usai salat tengah malam, Bu Sumarni segera menuju ke dapur. Memasak. Disiapkannya kayu bakar dari pelepah kelapa dan aneka ranting pohon lainnya. Tidak ada kompor. Ia enggan memakai kompor. Ia tahu perjuangannya sebagai orang tua masih panjang.
 Bangun jam 2 dini hari dan menyiapkan segala keperluan bekal makanan suami dan anaknya di pagi nant. Ini telah menjadi hal biasa dalam rooling kegiatan Bu Sumarni.
 Selesai dengan kesibukannya. Wanita 1 orang anak itu lalu berjalan keluar. Menuju pintu rumah.
Di depan pintu masuk, sejenak ia pandang sepeda ontelnya yang  berbesi dingin termandikan embun dengan boncengan berisi dua karung goni. Setiap sisinya terdapat kantong untuk tempat barang dagangan. Ia amati empat batang umbud kelapa belum teriris sempurna. Masih bercampur dengan pelepah tua dan bakal jadi beban tambahan baginya. Diambilnya batang umbud itu satu persatu, diangkat, ditaruh di tanah lalu dikupasnya menjadi batang dengan potongan pas siap untuk diiris.
 Aneka sayur seperti bayam, kangkung, buah waluh beserta pucuk daunnya yang muda juga telah dicuci agar nampak bersih. Ia tumpangkan semua sayur itu di atas boncengan, dibalut karung rafia lalu mengikatnya rapih.
Dari kejauhan, lamat-lamat terdengar suara radio pengajian mulai diputar di mushola Pak Poyo. Satu-satunya langgar di kampung itu.
Berarti sudah jam 4an ini, pikir Bu Sumarni.
Beberapa kegiatan yang dilakukannya tak terasa begitu cepat memutar waktu. Tanpa banyak menunggu. Selesai dengan persiapannya, Bu Sumarni segera bergegas menuju kamar untuk salin baju. Ia kenakan kerudung dan baju yang menurutnya hangat dengan membawa kantongan plastik berisi sebuah bungkusan. Kemudian berangkatlah wanita itu membelah hari di pergantian malam. Menyongsong Subuh dengan penerangan bulan yang sembunyi dibalik sayub-sayub kabut.
Bu Sumarni pergi berdagang ke Desa Anjir. Pasar yang akan ia singgahi adalah pasar Arba km 18. Di mana jarak antara pasar dengan Desa Rawomangun -+ 20 km.
Sesekali terdengar lantunan nyanyian di bibirnya. Entah apa nyanyian itu. Seperti puji-pujian namun tak jelas. Mungkin dengan bernyanyi, wanita itu mampu sedikit melupakkan penat kakinya ketika mengayuh sepeda.
Dilewatinya berbagai jalan. Keluar perkampungan, masuklah wanita itu kedalam jalan di mana setiap sisinya adalah hutan karet.
Beginilah jalan Tran. Jalan yang dibuat dengan menerobos hutan. Suara monyet menyambut kedatangan Bu Sumarni. Tapi hatinya tak pernah ciut, sebab bukan pertama kali ia lewat di situ. Jadi hal tersebut tak  pantas ia takutkan.
Sebenarnya bukan Bu Sumarni saja yang berdagang di Anjir. Ada beberapa tetangga yang memiliki pekerjaan sama seperti itu. Mereka lebih memilih pasar Anjir karena tergiur keuntungan yang cukup besar, ketimbang pasar seminggu sekali di desanya.
Tapi khusus pasar Arba. Hanya Bu Sumarni saja yang nekat untuk berdagang di sana. Letak pasar Arba yang jauh, membuat mereka enggan mendatanginya.
Perlahan kayuhan Bu Sumarni akhirnya melewati belantara hutan karet. Keluar dari hutan  pandangannya sedikit demi sedikit mulai kabur.
Kabut?. Inilah kebakaran itu!. Pancaran cahayanya sampai di desaku batinnya.
Dilewatinya jalan kampung Handil Gardu, di sisi jalannya dijumpai damen padi yang  hangus terpanggang api.
Ternyata sawah mereka lebih dahulu panen sehingga aktivitas bakar-bakar seperti ini lebih awal mereka lakukan .
Napas Bu Sumarni perlahan menyesak. Mata mulai terasa pedih. Kemukus asap putih lebih parah menyiksa daripada kabut. Semakin mendekat ke arah perkampungan semakin terasa. Bau dari asap itu mirip gas bocor. Tajam mencolok hidung dan bola matanya. Terus ia kayuh sepedanya hingga  keluar menjauhi perkampungan Hadil Gardu.  Sedikit legalah ia.
Fajar dari sudut timur perlahan tampak rona kuningnya. Kabut masih menyelimut. Kendati tidak sekuat saat melewati perkampungan tadi. Tetap saja, Â kabut mengganggu aktivitas seseorang.
Beberapa km lagi Bu Sumarni akan mencapai tanggul jalan. Tanggul di mana jalan trans Anjir yang terbuat dari cairan aspal mulus segera menantinya.
Sebelum sampai ketanggul, mula-mula Bu Sumarni harus menyebrang jembatan dari kayu ulin. Jembatan itu tinggi dan menukik. Di bawah jembatan itu sungai yang lumayan lebar dan bermuara ke Barito. Biasanya digunakan sebagai pembatas antara Desa Anjir Serapat Barat, dan Desa Anjir Serapat Timur.
Turunlah ia dari sepedanya. Diturunkan pula semua dagangannya. Ia sadar, tak mungkin sanggup ia bawa dagangan itu sekaligus dengan sepeda menyebrang jembatan. Oleh karenanya, ia bopong satu persatu dagangannya melewati jembatan.
Membopong batang umbud yang seukuran kepala manusia seperti menimang bayi besar. Membawanya menyeberang naik dan turun jembatan harus dipeluk lembut. Apabila umbud jatuh, otomatis kulit dan isinya yang ranum akan pecah. Sayur mayur ia angkat bersama karung goni yang lusuh dan penuh debu. Asap debu menguap dan sedikit membuat wajah Bu Sumarni bercelemotan warna cokelat tanah. Perlahan akhirnya selesailah Bu Sumarni  membopongi dagangannya.
Sampai di seberang jembatan, ia bergegas menata dagangannya kembali lalu segera berangkat.
Melewati tepi jalan trans, mata wanita itu lebih sering menatap ke pinggiran. Apa yang ia pikirkan?. Terlihat wanita itu tengah berburu dengan sesuatu.
Sekitar 1 km dari jembatan tadi, berhentilah ia.
Seakan mendapatkan apa yang ia cari. Diambilnya bungkusan putih dari kantong plastik yang digantungkan di setang sepedanya. Berjalan ia mendekat ke sebuah bangunan langgar.
 Ya..Bu Sumarni tahu manusia tercipta hanya sekedar ikhtiar, berusaha serta berdoa. Ia paham manusia tidak akan kekal selamanya di dunia. Ada hari pembalasan kelak saat manusia mati. Setelah usai berwudu, mukena dalam kantongan plastik  itu dikenakannya.
Kala pagi masih enggan terbangun dan mentari belum mau beraktivitas. Di situ wanita tersebut berserah kepada sang Penciptanya. Menunaikan ibadah salat Subuh di sela-sela perjalanannya.
*
Ceciut burung prenjak berbunyi menandakan pagi telah hadir.  Halimun tipis dari balik mentari yang masih malu seolah  membentuk replika salju di dalam kampung.
Pak Darwis sudah siap dengan perbekalannya. Ia tidak makan di rumah. Pak Darwis biasa makan lewat jam. Ia akan makan jika perutnya telah mengorganisirnya. Â
Dengan sepeda Jengki, berangkatlah Pak Darwis menerobos rumput-rumput basah di jalanan untuk bekerja di sawahnya.
Di dalam perjalanan.
 Wis..Bareng..?.
Melengos kekiri pipi kempot Pak Darwis. Matanya tertuju pada sosok laki-laki kurus di belakang yang mencoba memburunya. Pria itu berusia lebih muda dari Pak Darwis. Ia berwajah cekung hitam-hitam juga dan mempunyai kumis tipis. Akhirnya sambil tersenyum menjawablah Pak Darwis:
Ooh kamu to Nho.."
Tenyata Pak Ratnho teman kecil Pak Darwis.
"Rei 6 apa sudah selesai Nho jadi pindah kesini" ujar Pak Darwis lagi.
Sudah rampung 3 hari yang lalu Wis, aku carikan orang dari Palingkau untuk membantu.
Terus bersepeda Pak Darwis diikuti Pak Ratnho.
Berapa upah yang kamu sepakati Nho
Ahh.. Itu 8 banding 1 karung
Sayang Nho, mending digarap sendiri.
Hahaha...kalau digarap sendiri, enggak rampung Wis, kebanyakan sawah ucap Pak Ratnho mencongkak.
Pak Darwis paham karakter sahabatnya itu, dan mengaku kalah dengannya. Keputusan temannya itu tak dapat dilawan. Kepala Pak Ratnho keras. Meski begitu terbukti dengan kedisiplinannya ia mempunyai rumah yang mewah bila dibandingkan dengan warga Desa Rawomangun.
Anakmu kemana Nho alih tanya Pak Darwis.
Itu aku suruh mengarit rumput. Disuruh kuliah nggak mau katanya malas pusing" sahut Pak Ratnho enteng.
Hahaha..Orang hidup kok takut pusing
Lha anakmu sendiri piyee?, beberapa minggu lagi pengumuman lulus ujian bukan?
Dewie mau aku kuliahin Nho, biar nggak jadi sakit seperti orang tuanya.
Ohh..Bagus itu Wis balas Pak Ratnho dari belakang dengan wajah remeh.
Mentari sudah tampak bulat. Namun teriknya terasa masih segar tidak memeras keringat. Jam 8 ini, pkir Bu Sumarni tatkala telah sampai di pasar Arba.
Pasar Arba letaknya tidak di pinggir jalan Anjir. Lebih menjorok kedalam. Di pinggir pasar tersebut adalah Sungai Anjir yang bermuara  sampai ke Sungai Barito dan Sungai Kapuas.
Masuk kedalam gang, dijumpainya beraneka dagangan dijual para pedagang. Macam-macam asal daerah pedagang itu. Ada yang dari daerah Banjarmasin, Marabahan, Kapuas , Anjir, dan lain sebagainya.
Mayoritas masyarakat Anjir adalah suku Banjar. Kendati berlaianan suku, para pedagang dan pembeli itu nyatanya rukun-rukun saja.
Bu Sumarni terus mendorong sepedanya masuk ke sudut pasar, menuju lapaknya. Teman-teman sepekerjaannya juga telah siap untuk berjualan. Bu Sumarni pun segera menata dagangannya semenarik mungkin. Diirisnya aneka sayur-mayur .
Bibi.. Â umbudnya berapa harganya Bi? tanya seorang perempuan yang usianya sepantar Bu Sumarni.
"Kalau yang diiris utuh itu 1000 seiris, nah kalau yang ini katanya mengambil satu bungkusan. Ini 2000 saja, sudah ada irisan waluh, nangka muda, dan kacang panjang. Tinggal disayur?
Emm.., Kalau yang diiris  itu dua,  ditambah yang di kantong ini 3 bungkus dapat ya Bi 5 ribu? tawarnya.
Bu Sumarni tersenyum. Mbok yo dinaikkin Bu, soalnya jauh ngebawanya"
Kalau pas saja berapa Bi?
Wah, saya ndak biasa main ngepas-ngepaskan. Â Ibu saja memberi harga, nanti bisa diatur? kata Bu Sumarni ramah.
Lho? sahut pembeli heran. Bibi kan yang jual, kok tidak bisa menentukan harga pasnya?
Bukan ndak bisa Bu, saya biasanya memang seperti itu, jadi pembeli dapat ridho dengan harga yang disetujuinya
Mendengar pengakuan itu pembeli itu pun tertawa. Pengakuan aneh tapi harus diakui bahwa pembeli itu jadi malah penasaran dengan Bu Sumarni. Pembeli yang beretnis Banjar itu pun lalu memberi penawaran:
7000 ya Bi?
Tersenyum ramah lagi, dan akhirnya Bu Sumarni pun setuju. Dibungkusnya irisan umbud dan campuran sayuran yang biasa dimasak santan ke dalam satu kantongan plastik.
Mereka berduapun sepakat dengan masing-masing mengakhirinya dengan akad khas Banjar.
"Tukar" kata pembeli.
"Jual" jawab Bu Sumarni.
Mata pengunjung pasar liar tertuju pada objek masing-masing yang diminatinya. Kaki berfungsi sebagai alat gerak dari rangkain tujuan yang terasa ternikmati hati. Anak-anak berjalan dengan mata meminta membuat orang tunya lumpuh dipermainkan. Arah mata bermacam-macam, namun dapat disimpulkan bahwa, mainan dan pentol adalah pemberhentian bocah-bocah itu. Â Pemuda-pemuda terlihat bergumul di tempat orang jualan baju. Sering juga mata mereka jelalatan melihat gadis-gadis bertubuh ramping berjalan lenggok dengan aroma dan bedak yang tersamar bau amis ikan dan apek keringat pengunjung. Yang pasutri setengah baya juga tak mau kalah dengan keliling-keliling jalan pasar. Sang suami yang terlihat kualahan tatkala sang istri menarik tangannya dan memberhentikannya di sebuah toko perhiasan hanya pasrah menunggu. Para Kakek dan nenek lebih suka duduk di emperan rumah sembari melihat kerumunan yang pikuk dengan tujuannya sendiri-sendiri.
Sementara itu di sela kesibukannya  Bu Sumarno tetap jeli melihat warna tatapan para pengunjung. Seorang pengunjung pasar yang mencoba melihat-melihat dagangannya dan wajahnya terbaca tulisan RAGU segera dibujuk rayu untuk membeli dagangannya.
Mari Bu, silakan menyayur bening atau santan. Bu sini dulu saya kasih tahu sebentar panggil Bu Sumarni kepada pengunjung pasar yang melihat dagangannya secara sepintas.
Pembeli lain juga banyak bertanya tentang harga dan Bu Sumarni tak mengabaikkanya. Saat pengunjung menyepi ia tak akan membatasi jumlah patokan harga yang ingin ditawar pembeli. Namun bila keadaannnya seperti ini otomatis Bu Sumarni harus memberi patokan harga dengan cepat oleh karena banyaknya yang membeli sayur.
Ada sayur apa saja Bi? kata pembeli yang ragu tadi.
 Bu Sumarni langsung menggunakan triknya dalam berdagang. Dia iris umbud besar yang bila dijual gelondongan maka akan laku 20-30 ribu secara terukur namun tampak serampangan bagi orang awam. Dengan begitu kesannya penjual akan terlihat menambahkan bahan secara gratis. Setelah diiris ia tambahkan pula beberapa potong waluh untuk pewarnanya lalu dimasukkan ke  plastik.
Ayo monggo Bu, silakan dipilih sayurnya. Silakan beli Bu? ajak Bu Sumarni sambil melayani pembeli yang lain.
Yang ini berapa katuk ma bayamnya Bi tanya pembeli dengan nada malas.
2000 dua ikat Bu
Wah layu ini Bi? klaim pembeli.
Itu hanya layu sebentar Mbak, tapi di dalamnya masih bagus."
"1000 saja dua ya Bi?
Wah ndak dapat Mbak. Gini aja, itu 2000 ribu 2 ikat. Mbak mau berapa ikat. Nanti  saya tambahi sayur ini untuk campurannya tukas Bu Sumarni sambil memasukkan sayuran yang telah diirisnya kedalam keranjang si pembeli.
Sang pembeli tentu merasa risih karena dia belum membeli, namun keranjangnya telah terisi sayuran yang ia belum pasti membeli. Akhirnya pembeli yang tampak ragu tersebut jadi membeli sayur katuk dan bayam serta tambahan-tambahan yang lain.
Rancangan Bu Sumarni memang pas, ia jeli membaca keadaan seseorang. Meskipun kesannnya ia seperti orang yang berjualan tanpa menghitung untung, dengan seringnya menambahkan sayuran ke pembeli. Namun sebenarnya Bu Sumarni tetap mendapatkan laba dari tindakannya tersebut.  Umbud yang ia iris-iris dan dicampur dengan waluh, kacang panjang, dan nangka muda ialah murni inovasi Bu Sumarni sendiri. Ia ingin meringkas jualannya agar pembeli mudah untuk mengolahnya, dan cara seperti ini tak ada penjual yang mengikutinya. Entah mungkin tak ingin repot atau karena tak ingin disangka seorang plagiator. Jelasnya atas dasar inilah sehingga Bu Sumarni tergolong pedagang yang disukai para pembeli. Mereka beranggapan  bahwa dagangan Bu Sumarni tergolong murah meriah.
Sekitar pukul 10 Â terlihat para pengunjung pasar mulai sepi. Kerumunan yang mulanya berjubel-jubel menyesak perlahan menjadi lenggang.
Dagangan Bu Sumarni yang awalnya banyak pun, kini telah habis terjual. Diperhatikannya ada segelintir pedagang lain yang masih tertumpuk barang daganganya. Salah satu pedagang tersebut bernama Leman, Â berasal dari Kapuas. Termasuk teman Bu Sumarni. Â Wanita itu kemudian mendatangi Leman dan menawar dagangan sayurnya dengan harga yang tentu telah dipertimbangkan.
Man..Sayurmu tak beli aja ya.." tanya Bu Sumarni sambil mendekat dan melihat-lihat dagangan Leman.
Sayur yang mana Bi.
Kangkungnya 20 ikat, waluhnya satu, terus tempenya 5, berapa semuanya Man.
Berpikir sejenak, mungkin menghitung dalam pikirannya dan akhirnya bersuara jua ia:
 Emm..35 ribu Bi..
Mendengar harga yang dipasang Leman kening Bu Sumarni mengernyit.
 Wah mahalnya Man..?, mbo' dikurangi harganya..
Harganya..udah dari sana Bi?, ya seperti itu harganya.
20 Â ribu saja yo Man?
Tampak memelas mukanya, Leman pun menyahut lagi:
Duh..kayaapa yo Bi?, tambahi Bi, Â buat tambah-tambah bensin."
Yo lah..25 ribu Man, itu kalau kangkungmu seharga seribu seikat dan tempenya seribu satu maka pas Man" Â jelas Bu Sumarni sambil tangannya memilih-milih kangkung.
Diam sejenak agar terlihat ragu-ragu lalu  berserulah:
 Ayu ja..Bi ae..?  balas Leman dan tangannya mengambil kantongan plastik untuk tempat dagangan yang dibeli Bu Sumarni.
Dalam perjalanan pulang Bu Sumarni lebih sering mengambil jalan memutar. Ia ingin menjual lagi dagangan yang dibelinya tadi ke perkampungan yang dilewati. Â Tentunya hal demikian dilakukan untuk mendapatkan keuntungan yang optimal.
Sampai di depan jalan pedesaan, yang berdebu dan sisi-sisinya penuh dengan pohon karet, tiba-tiba Bu Sumarni mendengar ada yang memanggil dari belakang.
Mbak Marni keliling di sini juga to? tegur salah seorang penjual sayur yang terlihat muncul dari belakang.
Itu si Sudar, pedagang sayur juga yang usianya jauh lebih muda. Dia telah menikah dan punya 2 orang anak yang masih SD kelas 1. Mengetahui itu, Bu Sumarni pun berhenti. Didorongnya ban sepeda, dan disandarkannya di sebuah pohon akasia.
Aduh capeknya Dar, aku istirahat dulu
Istirahat kok di situ, ayo kita cari warung Mbak bujuk Sudar.
Kamu duluan saja Dar, aku mau makan dulu. Ini aku bawa bekal sendiri dari rumah. Kamu mau? tawar Bu Sumarni dengan mengeluarkan wadah nasi.
Sudar yang sejak tadi ikut juga berhenti, sedikit tersenyum.
Aku di warung saja lah Mbak istirahatnya. Ada nasi bungkus di sana sama es teh. Nggak mau Mbak aku hidup terlalu susah. Yang di rumah sudah aku beliin pisang goreng, jadi enggak mungkin protes lah. Istriku juga nggak pernah nuntut, kalau aku ke warung. Anggap saja ongkos bensinku, hahahaha... tawa Sudar meledak.
Bu Sumarni ikut tertawa menghormati.
Yo wes yo Mbak, aku duluan saja kata Sudar sambil mendorong lalu meluncur meninggalkan Bu Sumarni.
Iyo Dar, hati-hati  di jalan.
Sambil makan, Bu Sumarni tersenyum melihat sikap pemuda sekarang. Banyak sebenarnya penjual-penjual sayur yang lebih suka nongkrong di warung dan makan-makan di situ. Sudah susah kok dibikin susah, kerap kali slogan ini terdengar di telinga Bu Sumarni. Ia sendiri bukan tidak ingin mampir di warung, hanya saja tampaknya belum layak  buatnya untuk bertindak seperti itu. Jika tidak mulai sekarang berusaha tirakat terhadap diri sendiri untuk mengutamakan kepentingan anak lalu kapan lagi. Cenderung hal-hal seperti ini lah yang kadang tersepelekan dan banyak membuat hidup seseorang menjadi hedon.
Anggaplah sekali ke warung habis 15 ribu, dan kalikan dengan 6 hari. Lalu hitung perbulannya. Bu Sumarni berlogika, seharusnya hal seperti ini dipikirkan masak sebab sampai di rumah yang dimomong banyak.
 Gluk..Gluk..Gluk!!! Alhamdulillah! suara sebutan dan hembusan napas Bu Sumarni saat meneguk air.
Selesai dengan makan siangnya, tanpa berlama-lama Bu Sumarni pun beranjak dari tempat duduknya. Tenaganya telah diisi, dan siap lah dia untuk mencari rezeki lagi.
Bu Sumarni memutar sepedanya, tak jadi ia menjajakan sayurannya di jalan itu. Dia tahu bahwa ada pedagang lain yang membarenginya untuk berjualan keliling, sejak itulah Bu Sumarni memutuskan untuk istirahat agar pedagang  itu mau pergi duluan melawati jalan tersebut.
 Intinya Bu Sumarni ingin sendirian dalam menjajakan dagangannya. Oleh karena jalan yang hendak dilalui Bu Sumarni telah dilewati Sudar, maka ia pun memutuskan mencari jalan tembusan lain untuk menghabiskan sayurannya.
Jalan menuju Desa Rawomangun memang banyak, dari Anjir sendiri mempunyai berbagai perkampungan yang bisa dibilang kampung transmigrasi juga, namun transmigrasi ini lebih kependuduk asli Kalimantan seperti daerah Kandangan, Rantau, Purukcahu, Paringin dan lain-lain, di mana letak daerah-daerah  tersebut sangat jauh dari Anjir, dan  pada masa terdahulu, mereka  juga suka melancong serta tinggal di pelosok-pelosok Anjir,  kemudian mengakibatkan lahirnya sebuah desa-desa kecil di sepanjang pematang sawah yang di buat jalan tembusan oleh agenda Bupati setempat.
Bu Sumarni bersepeda mencari jalan pedesaan lain. Ia bersenandung untuk melepas jemu. Â Mungkin juga senadung itu membuat hati dan pikirannya menjadi tenang.
Sayur... sayur.." Â teriaknya memasarkan dagangan.
Kadang, ada saja tingkah pelanggan yang macam-macam. Sayur yang memang satu ikatnya sudah dihitung harganya masih saja ada yang menawar dengan harga  murah. Alasan layu, sudah terlalu siang, dan beragam lainnya menjadi senjata mereka. Ada juga yang bandel, sudah lebih seminggu namun belum juga pembeli  itu melunasi hutang sayurnya.  Di antara mereka ada yang kepergok Bu Sumarni. Namun saat mereka mengetahuinya, buru-buru  pergi ke dapur atau pergi ke sawah. Tapi toh  kejadian seperti itu tak membuat beban yang berat di pikiran Ibu satu orang anak ini. Ia tetap saja senyum. Ia yakin betul, dengan bersabar Allah pasti memberi rezeki yang lebih dari itu.
Bibi...?, sayur Bi.." panggil seorang ibu muda yang tengah duduk di depan pintu.
Bu Sumarnipun berhenti, disandarkannya sepeda itu ke tiang listrik yang berada di pinggir jalan desa tersebut.
Sayur apa aja Bi..? tanya ibu muda tu.
Ini adanya..sayurnya ya seperti itu, cuma kangkung, waluh dengan tempe.
 Berapa seikat kangkungnya Bi"
 1500 seikatnya Mbak?.
Ya udah..saya ambil 2 ikat sama tempenya 3 Bi.., jadinya berapa?
Tempe tiga. 3000 tambah 3000, jadinya 6000 Mbak" Â hitungnya.
Oh iya ...ini uangnya Bi..makasih Bi ya katanya sambil menuju rumah.
Ia sama-sama Mbak.
Dari kampung satu kekampung lain perlahan telah ia lewati. Dagangannya pun mulai habis. Â Jam berputar pada angka 2 siang. Panas mentari masih bengis menjajah kulit hitam nan keriputnya. Ia tidak pernah peduli. Kemukus di tengah sawah akibat kebakaran juga ia temukan di jalan yang ia lewati itu.
 Bu Sumarni kembali teringat sawahnya. Seandainya dalam beberapa bulan ini sawah tersebut belum selesai. Sudah pasti  api keburu mencicipinya. Dalam perjalanan itu ia telah habis melewati perkampungan. Terlihat di sepanjang jalan ini hanyalah hamparan sawah yang sebagian telah selesai dikatam atau diarit. Tak dijumpainya satupun rumah.
"Di mana aku akan sembahyang? batinnya.
Ketika ia melewati sebuah pohon galam yang agak rindang. Ia putuskan untuk berhenti sejenak. Wanita itu berjalan menuju pinggir  sungai yang airnya kalat karena mengandung banyak zat asam. Menyisir pinggiran jalan itu, Bu Sumarni mencari pijakan yang kokoh untuk berwudu. Setelah mendapatkannya, lalu digosok-gosoklah tangan dan kakinya agar daki-daki hilang. Â
 Kemudian, berwudulah dia.
*
Wis...Istirahat Wis..? bujuk Pak Ratno yang tengah terkapah-kapah kepanasan. Pak Ratno besandar di batang galam dekat tanggul sawah Pak Darwis.
"O iyo iyo..?" sambut Pak Darwis yang berjalan mendekatinya.
Waduhh...Panas banget, mau hujan kelihatanyaa ini ujar pak Ratno, sambil melepas bajunya dan mengipas-kipas badannya dengan topi purun.
Iyo Nho.. , panasnya seperti di neraka saja."
Ha..ha..ha..ha!!! Seperti pernah kesana kamu ini. Orang mati tu ya sudah! ..Gak ada lagi!, tinggal tulang saja yang tersisa Wis..? jelas Pak Ratnho.
Yo jangan begitu Nho, takut karo azab Seng Kuoso itu perlu buat batasan prilaku kita. Salat yo penting buat bekal kalau sudah mati.
Hidupmu sulit maju Wis, kalau mikir yang gituan. Aku ini Islam, tapi kok belakangan ini aku jadi nggak suka sama Islam. Coba lihat itu di televisi, kerusuhan kok teriak-teriak Allahu Akbar. Lalu yang besar-besar seperti anggota DPR itu, lihat sendiri Al-Quran kok dikorupsi. Merembet lagi di desa kaya kita ini yang sudah jadi budaya turun menurun, ketika ada acara berbau Islam seperti Maulid, atau Tabliq Akbar yang diburu bukan pahalanya, tapi nasi bungkus. Kalau sudah pulang, satu orang bisa bawa 2-3 nasi bungkus. Acara agama opo iku. Â Kalau ada syukuran atau akikahan, yang diundang berangkatnya lambat-lambat. Acara sudah mau selesai kadang baru keliatan orangnya. Seolah yang diincar juga makanannya saja. Â Mulai dari itu kok aku anggap Islam itu jadi enteng buat dilakuin. Jadi aku juga ragu kalau neraka itu ono.
Itu kan orang-orangnya juga Nho. Enggak usah ikut arus. Ikuti hati Nho, wong ada petunjuknya
" Halah, aku kebacut  malu sama Tuhan Wis, petunjuknya juga disamar-samarin. Menurutku banyak manusia, sekarang  ini yang gak malu sama Tuhan terang Pak Ratnho serius.
Malu bagaimana dan opo maksudmu tentang petunjuk yang disamar-samarin kejar Pak Darwis.
Yo malu lah, kalau lagi susah lalu eleng salat, lagi sakit lalu inget salat. Tapi kalau sudah bejo, sudah mulyo. Sudah sugeeeehhh!!!!, berderma saja enggak mau. Sombongnya enggak ketulungan, angkuhnya enggak ke ukuran. Terus nanti kalau tekor lagi, Â ya itu?, enggak malu untuk ngemis salat lagi. Terus sekarang sepertinya nikah itu enak, wong ada nikah siri. Yang selalu dielu-elukan tentang landasan sariat Islam, jadi halal. Padahal motif aslinya nafsu. Cihh!!!, petunjuk yang disamar-samarin bukan?"
Garuk-garuk kepala, Pak Ratnho pun menyambung lagi:
Sekarang aku nggak mau terlalu ngrepotin Gusti Allah kok Wis, kalau langkahku salah, ya nggak akan ku tutupi dengan sok salat, salah ya salah. Biar salahku dapat batunya. Selama enggak ada batunya berarti aku yakin tindakanku benar.
"Lha itu sama saja kamu natang Gusti Allah Nho" ujar Pak Darwis semakin heran.
"Lho aku ndak nantang, aku hanya malu dan malas ngemis. Kalau salah ya biar dihukum, kalau enggak ada hukuman, berartikan benar.
Pak Darwis kagum dengan cara berpikir kawannnya itu. Dia terlalu mengikuti ambisi dan hati. Padahal kadang setan itu pun dapat masuk dan memberi saran lewat hati orang-orang yang lemah pendirian. Alhasil apa kata hati selalu menjadi tumpuan mutlak untuk seseorang bertindak. Orang yang seperti itu tak memerlukan nasihat-nasihat karena  ia menganggap saran hanya memberikan batasan atas tindak tanduknya dalam berbuat.
Dari balik uap panas siang hari, Dewie melihat Ibunya telah datang mendekat. Segeralah ia berlari ke dapur, dibuatkannya teh untuk Ibunya itu.
Semenit kemudian ia bawa teh a itu ke teras depan.
Ini tehnya Bu, biar  tambah segar.
Lucu memang, hawa yang panas dan Dewie malah membuatkan teh hangat. Namun minuman itulah yang disukai Ibunya. Bu Sumarni pun menyandarkan sepeda di dinding rumah. Dia raih bakul purun dan membawanya ke emperan depan.
 Ini ibu bawain pisang goreng dari pasar tadi, tapi sudah dingin. Wong mulai pagi ujar Bu Suamarni sambil bersandar di tiang rumah.
Dewie tak langsung memakan oleh-olehnya itu, ia dekati Ibunya yang keletihan lalu memijit kepalanya sampai ke kaki.
Kamu sudah cari informasi tentang kuliah mana yang ingin dituju?"
Belum tahu lagi Bu, teman-teman ada sih yang nyaranin masuk ke UNLAM, tapi mboh lah, nanti cari yang pas dengan hati saja Bu.
Nanti Bu tak cari hubungan juga, biar tau tentang biayanya. Sudah saja mijitnya. Itu di makan pisang gorengnya dan sisakan untuk bapakmu beberapa potong kata Bu Sumarni sambil menjangkau katongan plastik wadah pisang goreng.
 Geh..Bu, mengambil satu.
"Pisang gorenganya ada 5 Bu, ini ibu cicipi juga satu tawar Dewie.
Tadi di jalan sudah makan 2 Ndok, jadi kenyang jawab Ibunya berbohong.
Ya tidak apa-apa to makan lagi
Ibunya hanya tersenyum lalu bangkit dan berjalan menuju dapur.
*
 2. Perjuangan, Prinsip, dan Sejarah
*
Musim penghujan telah datang, panen telah lewat. Pak Darwis dan Bu Sumarni bahagia bukan kepalang, sebab sawahnya mampu menghasilkan 100 karung padi. Hasil yang lumayan tersebut menjadi modal mereka untuk mengkuliahkan Dewie yang telah  lulus SMA  1 minggu yang lalu.
Siang ini Dewie baru pulang dari sekolah. Sepeda pedral yang selama ini menemaninya selama 3 tahun ia sandarkan di batang pohon mangga. Sepatu yang ia kenakan nampak  kotor dan lumpur mewarnai kaos kaki putihnya. Gadis berambut lurus itu lalu melepas sepatu serta kaos kaki. Ia masuk kedalam rumah dan sesaat sebelum pintu berderit tanda terbuka:
Sudah pulang ya Wie tegur seorang pemuda.
Itu si Sigit, anak Pak Ratnho. Dia telah lulus 2 tahun yang lalu. Sekarang pemuda itu bekerja di rumah membantu ayahnya.
Sedikit kaget, Dewie pun membalas:
Iya Git, cape bener melewati jalanan rusak
Sigit tersenyum, dan mendekat.
Sudah selesai ngaritmu Git tanya Dewie yang melihat kedatangan Sigit.
Duduk di emperan, arit ia letakkan di lantai. Sementara itu karung berisi rumput yang hampir penuh, ia sandarkan di tanah.
Belum selesai, aku cape juga. Kamu ada air putih?, mbok aku minta segelas kata Sigit sambil menyeka keringat di dahinya.
Dewie yang mendengar permohonan dari Sigit, segera beranjak ke dapur.
Sebentar kemudian, kembalilah Dewie dengan membawa pesanan Sigit.
Gluk..Gluk bunyi air langsung masuk ke perut Sigit. Pemuda bertubuh sedang itu begitu lelah tampaknya. Hal itu terlihat Dewie saat  mendapati dada Sigit naik turun layaknya orang kena asma.
Oh iya, dengar-dengar kamu mau kuliah Wie ujar Sigit sambil menyisihkan gelasnya yang telah kosong.
"Rencananya sih begitu Git, tapi aku juga masih bingung ingin kuliah di mana.
Kalau di Palangka Raya, itu mahal Wie jajanan dan sayur-sayurnya. Aku pernah kesana ketika merantau dulu.
Aku makan nasi bungkus dan teh hangat. Eh masa' 30 ribu ujar Sigit dengan raut muka tak terima.
Tapi kata Sigit meneruskan. Kalau di Palangka Raya, itu mudah mencari sampingan kerjaan, seperti jaga toko atau jaga warnet. Beda di Banjarmasin, itu susah cari kerjaan karena kotanya ramai dan penduduknya banyak. Namun kalau di sana mau makan makanan apa saja itu murah harganya Wie."
Dewie tertawa sebab tatkala melihat Sigit mengucapkan kata murah, Â raut wajah Sigit langsung berubah seperti tikus menemukan ikan asin. Langsung berambisi dan berseri-seri.
Kamu ini Git, melancong-melancong saja kerjaannya. Enggak pernah netap. Lalu tau murah-murah gitu  pas kamu sedang apa?, kerja juga.
Enggak Wie, aku waktu itu ngojek saja. Itu aku ngojekin si Slamet yang mau kerja di perusahaan. Padahal sebenarnya mau cari istri  buat ditanam di tengah sawah. Alasan saja mau mencari kerja. Nah ketika itu aku ditlaktir makan, dan pas aku tanya harganya, ternyata jauh banget kayak di Palangka Hahahaha!!!!! tawa Sigit gantian lepas.
Git..Git..Soal makanan paling ngerti balas Dewie.
Pemuda-pemuda di kampung Rawomangun memang kebanyakan suka yang namanya merantau. Mengadu nasib, cari pengalaman karena telah bosan juga seumur-umur terjerebab di tengah hamparan sawah.
Sigit sendiri padahal ditawarkan kuliah oleh bapak Ibunya, namun Sigit malas pusing. Sigit lebih memilih merantau, dan berkumpul dengan teman-teman senongkrongnya. Banyak orang tua mengatakan jika Sigit adalah salah satu pemuda yang menyia-nyiakan kesempatan. Selain itu ada juga warga yang telah menganggap Sigit itu sebagai lelaki yang alot dagingnya.
 Seperti yang terlihat sekarang, kerjaan Sigit hanya mengarit rumput. Orang sekitar hanya menjadikan seseorang sebagai bahan gunjingan, pasti akan menebak jika sebentar lagi anak itu tentu akan minggat dari kampungnya.
Tangan Dewie perlahan memijat-mijat perutnya, ia lapar. Namun tak enak meninggalkan Sigit yang tengah asih ngepul-ngepulkan asap tembakaunya.
Jadi kamu tahu Banjarmasin Git"
Tau, kamu pengen kuliah di sana bukan?
Iya nanti lihat Bapak ibuku dulu, setuju apa ndak.
"Pade Darwis ya jelas setuju lah, jawab Sigit pasti.
Huh, sok tahu kamu protes Dewie. Ya sudah, aku tinggal makan dulu. Aku lapar. Bila nanti Bapak ibuku setuju aku kuliah di Banjarmasin, aku minta antar kamu ya.
Ooh gampang, bisa diatur.  Aku juga mau menuhi karungku ini. Terima kasih  airnya kata Sigit berdiri sambil membuang putung rokoknya.
Iya.
*
Pak rencananya Dewie ingin kuliah di Banjarmasin saja. Nanti kalau Bapak sama ibu ngijinin, inginnya sih kesana diantar Sigit kata Dewie saat makan sehabis Magrib.
"Opo kamu sudah mantap Ndok, mau kuliah di sana, Bapak sama ibu itu dukung saja. Yang penting kamu kuliah itu bener sahut Pak Darwis.
"Inggeh Pak, Dewie janji tekun kuliah
Terus, opo Sigit mau untuk ngantar kesana Wie lanjut sang ayah.
Mau Pak, malah dia yang nawaranin.
Ya kalau memang seperti itu, ya sudah Pak. Â Kita orang tua bisanya menyokong dana sama doa saja Pak kata Bu Sumarni menyimpulkan.
Iya Bu, Â lalu kapan mau ke Banjarmasinnya. Di sana tentu kamu mencari kos-kosan Wie" tanya Pak Darwis.
Obrolan mereka sampai pada saat salat Isa. Bu Sumarni duluan meninggalkan percakapan  disusul suami dan putrinya. Terakhir simpulan dari percakapan tersebut ialah Dewie berangkat ke Banjarmasin 3 hari lagi.
*
Mar!!! Mar!!! panggil seorang wanita.
Oh, ada apa?"
Mar, bener to anakmu mau sekolah nanti" Â tanya wanita tersebut yang ternyata teman Bu Sumarni.
Sambil menyusun-nyusun dagangan sayur, menyahutlah Bu Sumarni:
Insya Alloh Mbak yu
Punya duit banyak ya kamu Mar, mbok eleng. Nguliahkan anak itu kalau enggak segudang duitnya, enggak bakal bisa Mar
Bu Sumarni tersenyum.
Insya Allah Yu, kalau Gusti Allah ngijinin ya pasti lancar saja urusannya.
Aku ini lantaran masih punya hubungan dengan kakak lakimu, makanya aku hanya ingetin Mar
Iya, rejeki sudah ada yang ngaturnya Yu, mending sekarang kita fokus berdagang. Ndak usah ngomongin yang belum terjadi, jalani dengan ikhlas aja Mbak Yu.
Mar, anaknya si Pak Petrus, yang nomor 2, tau enggak? Pulang-pulang dari Palangka Raya, eh bawa laki.
Terus menyusun sayurnya, Bu Sumarni tak menghiraukan iparnya yang terus ncerocos disebelahnya. Bu Sumarni tak ingin merusak moodnya berjualan. Pagi-pagi telah memberi bayangan yang negatif dan sangat berlainan dengan apa yang dinamakan saudara. Saudara adalah orang yang selalu menyuport, memberi pilihan dengan berbagai masukan, serupa ahli psikologi memberi saran, semirip seorang guru BK melayani siswa. Saudara bukan sosok yang saling menindih dengan bayangan keraguan dan kesedihan.
Akhirnya berhenti juga ipar Bu Sumarni setelah lelah ngedumel.
Apa kabar Bi? sapa seseorang.
Sedikit mendengakkan leher, Bu Sumarni langsung berubah rona wajahnya.
Eh, H. Idrus,..Alhamdulillah Ji, kabar saya baik. Haji sendiri bagaimana?
Alhamdulillah kabar saya juga baik. Lama tidak belanja di tempat Bibi kata H. Idrus tersenyum.
Siapa Mar? Â ipar Bu Sumarni bertanya heran.
Oh..., ini lho Mbak yu, H. Idrus langggananku. Tapi sudah lama ora mampir belanja ke sini."
Mendengar pengakuan dari Bu Sumarni, H. Idrus tambah tersenyum. Meskipun ia berasal dari suku Banjar, namun karena terlalu sering mendengar bahasa Jawa dan sering pula bercengkrama denga orang Jawa, maka H. Idrus pun sedikit-sedikit paham tentang bahasa Jawa.
Saya sebulan di Bandung Bi, jadinya tidak ada di sini aku H. Idrus.
Oh..., keluar kota toh Ji? serobot ipar Bu Sumarni dengan sungkan.
H. Idrus mengangguk.
Ada pekerjaan kah Ji di sana? tanya Bu Sumarni.
Sebenarnya tidak ada, hanya sekedar menengok keluarga adik saya saja Bi. Sekarang anak muda sudah banyak kelewatan batasnya, sudah menyepelekan dan tuli telinganya bila dikasih nasihat
Lha memang kelewatan seperti apa Ji? buru Bu Sumarni lagi.
Anak adik saya, yang masih SMP, sudah lena dengan buaian dunia. Sudah menikmati glamournya di Bandung tempat ia dilahirkan. Nampaknya didikan agama saja tidak cukup untuk membuat anak itu nurut dengan nasihat orang tua. Tapi ya sudahlah Bi, Â sudah terjadi sambung H. Idrus.
Penjelasan yang tidak selesai itu, langsung dapat ditangkap maknanya oleh Bu Sumarni. Susahnya mengontrol anak pada era sekarang ini. Bu Sumarni pun wajib cemas, sebab ia pun memiliki anak perempuan di rumah.
Sabar saja Ji, kita tetap harus bersyukur sebab kejadian seperti itu tidak terjadi kepada anak kita, dan sekarang tugas kita lah yang harus lebih giat lagi untuk mendidik anak kata Bu Sumarni.
Nah bener itu Ji Ipar Bu Sumarni masuk pembicaraan.
H. Idrus pun mengangguk,
Mereka bertiga pun mengakhiri pembicaraan, kala pengunjung pasar telah berdatangan ramai. Seperti biasanya H. Idrus selalu membeli sayur umbud kesukaannya. Oleh Bu Sumarni pun, H. Idrus kerap mendapatkan sayuran yang banyak. Inilah beda antara langganan dan pembeli biasa.
Sebelum pamit pulang, Bu Sumarni menanayakan kepada H. Idrus tentang waktu luang. Rencananya Bu Sumarni serta sang suami akan bertamu di rumah beliau.
*
Pagi sekitar jam 8 kurang di kala hari H tiba.
Dengan mengendarai motor Posh-Onenya Sigit sudah merasa mirip seperti idolanya, Valeintino Rossi. Bunyi motor yang sering ia bangga-banggakan karena nadanya keras dan cempreng itu, sesungguhnya berlainan dengan apa yang didengar warga sekitarnya. Kenalpotnya dibedel, dan akhirnya menghasilkan bunyi seperti kendaraan Ninja. Gaul!, itu presepsinya.
Jika motor Sigit melintas, tidak jarang sumpah serapah selalu terlontar dari dalam rumah-rumah sederahana itu. Bunyinya yang tipis tajam dan memekakkan telinga, Â tidak hanya membuat tidur siang mereka terjaga. Â Suaranya juga membuat gambar TV jadi bergelombang tidak karuan.
Tapi bukan fanatik Rossi jika hal seperti ini membuat nyalinya ciut. Sigit malah semakin menikmati sumpah serapah itu bahkan kian ngece mengendarai motor kesayangannya.
Di sepanjang jalan menuju rumah Dewie , bibir Sigit selalu melekuk-lekuk dan kadang manyun kedapan. Sepertinya ingin senyum namun sungkan untuk meledakkannya. Hatinya diliputi kembang mekar yang ia sendiri tak tahu maknanya. Sumringah cerahlah rona wajahnya.
Sampai di depan pelataran Dewie, semerbak aroma minyak wangi berjenis Sexy Grafity  segera menyeruak membuat Pak Darwis dan Bu Sumarni yang duduk-duduk di teras  jadi senyum-senyum karena pekatnya aroma itu.
Wie..itu Sigit sudah datang, cepat-cepat toh kamu dandannya teriak Bu Sumarni.
Halah opo to Bu, njenengan  itu ada-ada saja. Sopo juga yang dandan"  jawab Dewie yang terlihat risih dari dalam kamarnya.
Turun dari motornya Sigit kemudian berjalan ke teras menyalami kedua orang tua Dewie. Baju dan celana Sigit mirip anak Band, lengkap dengan gaya rambutnya yang dicukur cancang dengan model Harajuku Style. Yah mungkin penampilan  seperti itulah andalannya. Sayang tubuh hitamnya tak mampu menepis citra pandang seseorang.
 Mau berangkat jam berapa Git? Pak Darwis memulai pembicaraannya.
Sigit dudukkan pantatnya di beranda dan menjawab:
 Langsung saja Pakde. Nanti ndak kepanasan kalau siang-siang berangkatnya"
Oh yo, tunggu saja dulu. Dewienya masih di kamar.
Adakalanya dalam percakapan itu Pak Darwis menyinggung halus tentang penampilan Sigit yang modern namun tak sesuai dengan keadaan.
Rambut sama bajumu mantap yo Git. Bajumu itu pasti harganya mahal, penampilannmu sudah mirip  seperti artis sopo  itu..? matanya melihat kelangit-langit atap rumah sambil tangannya sesekali menggaruk-garuk kepala mengingat-ingat Pak Darwis pun melanjutkan pujian kiasanya,  Nah mirip Ariel Noah Git."
Sigit kurang mengerti tentang singgungan halus dari Pak Darwis,dan hanya duduk tersenyum. Sesekali kepulan asap  rokok L.A membumbung memutar-mutar di depan wajahnya.
Dari raut mukanya, tampak Sigit merasa ucapan Pak Darwis itu memang benar-benar pujian. Ia pun diam-diam menikmatinya. Terus ia hiyut rokoknya dalam-dalam dengan lubang hidungnya terlihat kembang kempis.
Sementara Bu Sumarni yang mengerti kosa-kata suaminya itu sebenarnya ingin menumpahkan tertawanya, namun ia cepat-cepat telan kembali karena takut anak muda itu tau dan bisa tersinggung.
Tak lama berselang.
Sesosok gadis ayu keluar berkelebat baju hem putih karet, dalaman hitam dan sedikit mengentat di bagian pinggang. Dewie berjalan kalem dari kamar menghampiri Sigit yang asik ngobrol dengan orang tuanya. Celana gadis itu memang pas dengan bentuk pahanya yang ramping. Liukan kedewasaanya dapat terlihat oleh mata dengan detailnya.
Dewie keluar menuju emperan rumah. Wajah hitam manisnya tersamar pupur dingin. Kerudung merah jambu ia kenakan serasi dengan baju hem.
Aroma bedak membalas semburan wangi dari parfum kebanggan seseorang. Membuat pemakai parfum itu  tersungkur dalam tebing asmara. Mencuat menampar alam sadar. Pingsan alam sadar itu, kini terbawa oleh halusinasi khayal yang macam-macam. Dewie juga melembabkan lipglos di bibir ranumnya, sehingga basah dan mengguyur Sigit yang ketahuan melongo di teras.
Kikuk duduk Sigit. Gerogi badannya. Tersirap pandangan yang belum pernah ia tahu. Semua serba tak nyaman. Tak enak, dan tak tersadar.  Hingga abu rokok berhamburan dipangkuan Sigit bahkan puntungnya pun lupa ia matikan. Alhasil  jari kasarnya tersengat bara di dalamnya.
Aduhh!!
Bu Sumarni melihat tingkah kikuk Sigit, dan penampilan Dewie segera paham dan langsung cepat menegurnya.
Berjalan mendekat dan membenarkan ujung pakaian Dewie, Ibunya pun berujar:
 Wie apa ndak ada baju yang lain toh. Bajumu itu sudah kekecilan. Nanti kalau berkendaraan kamu masuk angin lho?.
 Biarin saja Bu?, ndak usah terlalu cemas"  potong Pak Darwis tenang.
Sambil membenarkan kerudung, Dewie pun menyahut:
"Ndak apa-apa Bu  harinya panas. Kalau pake jaket, di jalan nanti kepanasan."
Dewie lalu berjalan menghampiri Sigit.
Ya sudah kalau begitu. Hati-hati di jalan saja yo Ndo" pesan Ibunya.
Iya Bu.. Dewie pamit dulu. Wasalamuallaikum sambil mencium tangan kedua orang tuanya.
Wallaikumsallam seng ati-ati yo, jangan ngebut-ngebut bawanya pesan Bu Sumarni lagi kepada Sigit yang menylenger motornya.
Inggih Bude. Â kami pergi dulu jawab Sigit.
Mereka berdua pun pergi.
Mencari topik pembahasan yang pas agar pembicaraan jadi seru, itulah prinsip Sigit. Ia terus bercerita meumpan kata, agar Dewie mau menanggapinya. Dewie pun meresponnya dengan kata-kata seadanya.
 Dewie tahu, dari cara Sigit berujar tampaknya  Sigit suka dengannya. Namun  ia tak ingin hanyut dalam dunia pacar-pacaran dahulu. Dewi tak ingin pula membuat seseorang hanyut karena umpan balik kata-katanya.
Ban Dunlop motor Sigit terus berputar menyusuri jalan persawahan. Â Lajunya ringan dan lebih ekstrim tatkala beberapa kubangan lumpur bekas jatuhan air kemarin ia tabrak-tabrak. Kubangan yang meriasi jalanan itu seperti perangkap yang siap mencekal mangsanya. Bannya meliuk-liuk kekanan serta kekiri membuat permainan rem harus terus dimainkan.
Dewie merasa tak nyaman dengan posisi duduknya. Jok Sigit licin. Terlalu licin. Mungkin diolesi sesuatu cairan. Hingga dadanya tanpa rem yang stabil selalu terdorong kedepan membentur punggung berjaket Junkies itu. Berkali-kali Dewie menarik badannya ke belakang. Beda dengan Sigit yang tanpa kontrol terus memainkan perannya sebagai joki medan trek lumpur.
Gak usah ngebut-ngebut Git. Aku gak nyaman duduknya keluh Dewie.
Sigit yang mendengar keluhan dari pemboncengnya perlahan mau untuk mengurangi gaya bermotornya. Namun tetap terkadang kebiasaannya itu termulai lagi.
Sementara itu di rumah Dewi tampak Pak Darwis sedang mengobrol dengan istrinya.
Bu, kata Ratnho, bila suatu saat nanti kita perlu bantuan dana buat Dewie; dia bisa mbantu ujar Pak Darwis yang membersihi rumput di pinggir rumah.
Kalau bisa yah, jangan sampai kita ngutang Pak
Itu kan hanya saran Bu.
" Aku ndak terlalu suka sama si Ratnho itu. Orangnya terlalu nyepelein hal. Aku ndak berani sangkut urusan sama dia."
Memang sih Bu, tapi kita ndak boleh buruk sangka juga. Mungkin memang dia rela menolong? bela Pak Darwis.
"Aku akan berusaha agar kita bisa sekolahin Dewie sampai lulus. Aku hanya mohon, Bapak tetap pada rencana awal. Jangan sekali-kali bimbang atau ragu. Kita punya ndoro Pak, bukan Ratnho atau masyarakat sini. Kita punya sesembahan. Kita masih mampu karena kita ada yang momong.. Bapak fokus kerja, aku juga kerja sambil berdoa bimbing Bu Sumarni.
Guratan ragu muncul di kening pak Darwis.
Aku dukung anakmu kuliah di Banjar Wis, tapi yo itu tadi Kuliah memang tempatnya orang yang kebanyakan harta. Empat tahun ngurung di kota hanya buat mendapatkan kertas yang untuk beli kacang atom saja tidak bisa. Saranku hanya satu, kamu harus kerja keras. Aku bakal  bantu kamu bila kerepotan.
Ngiangan itu meski hanya beberapa menit dan telah terjadi beberapa hari yang lalu, toh tetap saja membuat hati Pak Darwis menjadi maju mundur. Bimbang dia, tanpa belum menjalani.
Iya Bu. Kita harus giatkan lagi bekerjanya.
Bu Sumarni mengetahui keadaan itu, dan melipurnya dengan berbagai saran.
Kita manusia wajib berusaha. Tak peduli berusaha itu adalah berusaha yang tidak mungkin, namun tetap manusia itu wajib untuk bergerak. Bapak tidak usah ragu. Kita sama-sama coba, mungkin dulu orang tua kita tidak serepot dan semuluk-muluk kita untuk ngurus anak. Tapi jika niat kita ingin merubah keadaan turunan, maka yo harus prehaten seperti ini. Dengan doa kita antarin Dewie ke tempat dan pikiran-pikiran yang baik, dan dengan ikhtiar kita cari rejeki untuk bekalnya. Insya Allah bakal terwujud.
Guratan ragu di wajah Pak Darwis mulai menyurut. Bayangan ketakutannya mulai pudar.
Baik Bu, besok Bapak akan minta bibit Pisang Ambon yang banyak di kebun Mbah Joyo yang ndak diurus itu. Tambah lagi bibit mangga dan jambu. Bapak juga bakal mencari upahan borongan najak atau bertanam padi. Lumayan buat tambah-tambah sayurnya jelas Pak Darwis mulai semangat kembali.
Ya begitu Pak. Bapak mesti kuat, dan membuktikan kalau kita akan merubah nasib Dewie. Aku akan perbanyak mencari umbudnya, nanti pulang dari pasar aku juga akan membawa bibit karet. Lumayan 1 kg 15 ribu. Nanti Bapak bantui tanam. Aku juga akan menanam buah waluh untuk diambil pucuk daun dan buahnya yang banyak, serta aneka jahe kencur untuk tambah-tambah.
Oh ya? kejar Bu Sumarni lagi.
Nanti ibu  tukarin anak ayam, tolong Bapak yang mengurus yo.
Bu, ayam itu ngumpaninya pakai beras toh. Lha nanti malah beras kita yang habis buat makananin ayam
Sang istri tersenyum.
Gampang saja masalah pakan Pak, nanti kalau pulang dari pasar aku tak mampir di tempat gilingan padi, minta dedak untuk makan ayam. Tinggal dicampur sama cincangan singkong, Â ayam sudah kenyang
Wah benar itu Bu jawab Pak Darwis kagum dengan rencana isterinya.
*
Lepas dari jalan perdesaan dan Desa Anjir, motor  ebret-ebret milik Sigit  akhirnya melewati Jembatan Barito.
Melihat panorama jembatan yang membentang panjang, tentu membuat rona di paras Dewie jadi berubah. Matanya membesar, dan tak henti-hentinya menengok ke arah mana saja.
Dewie tak pernah keluyuran sedemikian jauh, dan kali ini ia sangat menikmati keberuntungannya itu.
Nanti sore kita nongkrong  Wie di Jembatan Barito ini tawar Sigit.
Bisa, asal jangan lama-lama ya Git, soalnya aku takut kesorean" Â timpal Dewie.
Enggak lama juga, Â hanya mengistirahatkan bokong yang mulai terasa ada gejala ambeyen in."
Dewie tertawa mendengar guyonan Sigit, dan Sigit pun senang pasangannya tertawa.
Memasuki jalan Banjarmasin, kendaraan semakin memenuh, bertambah sesak juga padat. Â Dewie seakan teruji mentalnya. Jika tadi motor Sigit berkelok menerebas kubangan lumpur di kampungnya. Kini motor itu menari di antara tepi-tepi bak Truk dan sedan.
Betapa mengapung terombang-ambing hati Dewie ketika motor Sigit bersembunyi di sela-sela Truk karet dan gas yang berjalan berat. Hawa panas dari deru mesin berubah menjadi hawa dingin yang melayangkan jantungnya.
Sejengkal saja jarak itu. Ya cuma sejengkal saja batin Dewie ketakutan.
Selang 15 menit kemudian, motor yang mereka boncengi masuk ke dalam sebuah gang kecil. Motor berhenti di depan gerbang berbaleho hijau dengan tulisan promosi.
Nah ini kampusmu Wie. Kamu hafal jalanya, bukan?"
 Iyo Git. Bagus bangunannya."
Ayo aku ajak berkeliling, kita mencari informasi yang diperlukan
Dewie mengikuti saja arahan dari Sigit, dan mereka  berkeliling di sekitar kampus yang temboknya berwarna kuning.
*
Mbah Sumarni??? panggil nyaring seorang wanita dari emperan.
Lho? Kamu to Sus.
Sikap peduli Bu Sumarni, langsung muncul. Ia pun mendekati perempuan yang tergolong muda itu. Sepeda ia dorong menuju sebuah rumah yang sederhana.
Sekarang kandunganmu sudah jalan berapa bulan."
Lumayan Mbah, masuk delapan bulan
Wah sebentar lagi. Lha  ini suamimu kemana?
Masih di sawah Mbah. Â Oh iya lama ya, Susi tidak melihat Mbah,. Bagaimana kabar Mbah dan bagaimana kabar Dewie?
Memang, Susi adalah seorang perempuan yang jarang di desa. Ia tergolong perempuan pelancongan. Lulusannya adalah SMK, dan pernah dahulu magang di luar wilayah, hingga akhirnya Susi bertemu dengan jodohnya.
Alhamdulillah baik Ndok, kamu sendiri seperti apa. Rukun-rukun saja toh kamu dengan suamimu? tanya Bu Sumarni kepo.
Susi berpucat muka,
Kabar Susi baik Mbah, dan alhamdulillah rukun-rukun saja dengan Masnya kata Susi sedikit tertahan.
Yah syukur jika begitu. Ini tumben kamu pulang ke kampungmu. Mas mu libur to bekerja?
Tidak juga Mbah, ini lantaran kehendak Susi saja yang mau ketemu dengan Emak. Mba, Susi ini ingin cerita" kata Susi mendekatkan diri. Susi mengatur duduknya agar nyaman. "Sebagai perempuan yang telah salah jalan pada tempo dulu. Apa yang telah Susi alami ini, apakah suatu teguran ya? kata Susi lirih.
Teguran bagaimana to Ndok."
Semenjak Susi menikah dan mengandung, Susi merasakan kalau suami Susi itu banyak sekali berubah. Sekarang lebih suka marah-marah. Jauh banget seperti dulu saat  pacaran. Susi menyesal sekali. Kini Susi hanya menahan malu dengan ucapan Susi waktu dulu.
Sabar Ndok, yang sudah biarlah berlalu. Memang bila menikah spantar usia itu lebih sering berbeda paham. Namun pada hakikatnya, bila telah sepasang manusia terikat dalam pernikahan, tentunya jalan pemecahan itu pasti ada. kamu Ndok sebagai seorang isteri harus lebih sering bersabar. Mungkin suamimu sedang lelah atau sedang ada masalah. Jadi kesanmu dia berubah kata Bu Sumarni lembut.
Mungkin ini balasan atas ucapan Susi tempo dulu Mbah, yang lebih mempertahanin calon suami Susi ketimbang nasihat yang diberikan emak tukas Susi sambil menerawang ke atap yang terbuat dari dau rumbia.
Bu, si Rijal itu cowo yang baik Bu. Mengapa ibu sebagai orang tua masih tak menyetujui Susi.
Aku bukan tidak menyetujuimu Nak, hanya saja dia itu orang jauh. Lagipula dia kan juga masih magang sama sepertimu. Â Bu Ijinkan kamu berteman dengan Rijal, tapi tolong Nak, jangan kalah pendirianmu dengan hatimu
Banyak Bu, di kampung kita yang bersuami orang jauh. Tapi toh sekarang rukun-rukun saja dan bahagia. Apa ibu mau melihat Susi mendapat jodoh yang menjerumuskan Susi ke liang lumpur dan berpanas-panasan
Semua orang tua menginginkan anaknya bahagia. Sama sekali aki tidak  berpikiran seperti itu. Hanya saja kamu itu anak pertama. Kamu punya ade-ade yang harus kamu bantu Nak. Seandainya calon lelakimu itu telah mapan tentu aku  merestui.
Bu memang tidak mengerti kehendakku!  Usia Susi telah dewasa Bu. Rejeki telah Tuhan yang mengatur. Dahulu ibu tidak pernah merasakan cinta makanya masih dangkal  untuk merasakan apa yang Susi alami" sindir putrinya.
Yah, ini mungkin teguran buat Susi Mbah? sambung Susi.
Semenjak kejadian tersebut, Susi menjadi sedikit arogan. Di matanya, hanya ada Rijal. Telah mabuk kepayang dia, namun dia tak tunjukkan sikap arogannya itu secara terang-terangan kepada Ibunya. Ia hanya mengatur rencana agar Ibunya merestui.
Ibunya yang hanya tahu  tentang sekolah Susi pun dibuat tercekat dan akhirnya sekarang sakit-sakitan.
Susi mengandung. Berita itu pun dengan licin menyebar ke Desa Rawomangun. Desas-desus dan untaian pertanyaan yang Susi dengarkan kala itu layaknya cemeti yang dicambukkan ke punggungnya. Dia pun tak tahan dan akhirnya merantau mengikuti jejak suami. Susi meninggalkan Ibunya yang sakit tanpa pernah ia mengetahui.
Terkadang nasihat orang tua sekarang banyak diterjemahkan sebagai larangan oleh anaknya. Â Begitulah anak sekarang. Namun, yang sudah terlanjur ya sudah Ndok, tak usah disesalkan. Sekarang yang penting kamu sudah kembali ke desa dan kewajibanmu adalah meperbaiki khilafmu di masa lalu. Membaktilah pada Ibu dan ade-ademu."
Inggih Mbah sahut Susi dengan tersedu sekarang.
Sekarang di mana Ibumu. Apa beliau sudah bisa jalan?
Masih di kasur Mbah, lumpuh
Bu Sumarni menghela napas,
Bersyukurlah kamu Ndok masih memiliki ibu. Banyak di luar sana yang lahir tanpa bapak dan Ibunya. Nah wujud bersyukurmu sekarang adalah dengan jalan merawat beliau. Ini meski kadang suamimu marah-marah, namun dia kan masih mau untuk kerja menggarap sawah. Sekarang yang harus kamu lakukan hanya bersabar, berikhtiar, dan membakti itu saja Ndok.
Tapi konsep bersabar itu yang Susi belum tahu Mbah, Susi juga punya emosi. Rasanya Susi ingin pisah saja dengan Mas Rijal. Enggak tahan dengan sikapnya. tutur Susi dengan alot.
Bu Sumarni yang duduk di sudut emper mengerti perangai Susi. Sifat labil dan manjanya belum mampu ia hilangkan sepenuhnya. Kedewasaan belum dapat ia terapkan dan hanya mampu membaca. Terlalu Subuh semua logikanya.
Sabar itu bertalian dengan bersyukur Ndok. Bersyukur itu dapat dilihat dengan jalan mendekatkan diri pada yang memberi nyawa untuk kita. Manusia itu tak pernah merasa puas. Selain itu manusia tak ingin juga merasa salah, dan lebih senang menyalahkan. Jika sudah terdesak oleh berbagai pelik, manusia itu tetap keras pendirian dan akan menyalahkan takdir. Akan menyalahkan Gusti Allah. Untuk menghindari atau menghilangkan hal yang seperti ini maka dekatkanlah diri Ndok. Merenunglah di tengah malam. Mbah yakin kamu akan mendapat jalan keluar dari bimbang yang kamu alami sekarang. Â Kemudian akhirnya rasa sesal itu tak akan lagi menjadi penurunan mental untuk maju ke arah pembuktian. Buktikan pada semua orang desa sini kalau kamu mampu membuat mereka hormat. Buktikan pada Mbah, buktikan pada Ibumu bahwa di keadaan sakitnya dia bangga dan tersenyum lalu pulih Ndok. Mbah yakin penyebab sakit Ibumu itu berasal dari tekanan batin.
Susi juga merasa Mbah. Keadaan ibu ini lantaran ucapan Susi dahulu.
Oh iya dahulu kamu di perantauan ikut kerja apa bersama suamimu Sus? tanya Bu Sumarni mengubah topik.
Susi lulusan SMK jurusan Tata Boga jadi kerja di sana sebagai pembantu-pembantu di restoran. Â Karena lama akhirnya dipercaya menjadi asisten koki.
Muka Bu Sumarni merona.
Lho, bagus itu Ndok, tandanya kamu punya bakat dan tentunya menjadi asisten koki itu gajihnya lumayan besar kan Ndok.
Benar Mbah lumayan, tapi suamiku itu, kebiasaan ngumpul-ngumpulnya kumat lagi. Padahal janjinya setelah menikah dia mau meninggalkan kebiasaan buruknya.
Wajar saja Ndok. Kamu sebagai isteri yang harus pintar-pintar  menyimpan penghasilan. Jangan sampai suamimu tahu semua uangmu. Kamu nasihati dia. Jangan kamu atur melainkan kamu serang nuraninya agar dia paham dan mengasihimu Ndok. Semua laki-laki tidak mau untuk diatur.
"Inggih Mbah"
Oh, aku mau nengoki Ibumu yo cah ayu?
Oh ya, mari-mari Mbah. Silakan masuk ke dalam saja. Tapi maaf ruangannya masih berantakan Mbah.
Bu Sumarni hanya tersenyum maklum lalu masuk ke dalam.
Bagaimana Bu, keadaannya?
Alhamdulliah sehat Mar. Aku kok enggak tau kalau kamu datang?
Mereka berdua bercakap-cakap sampai beberapa menit. Bu Sumarni prihatin dengan keadaan di depannya. Beliau kurus dan terbaring di atas kasur. Padahal usianya hanya terpaut beberapa tahun lebih tua dari Bu Sumarni.
Ya sudah Bu. Saya doakan saja semoga lekas sembuh. Susi sudah pulang, dan telah berubah. Dia mau membakti katanya.
Iyo Mar, aku juga bersyukur Susi ingat kembali dengan Ibunya. Semoga anak itu kurang lagi keras hatinya.
Sus, aku pamit. Jaga benar-benar Ibumu ya. Semoga dia lekas sembuh Ndok? pesan Bu Sumarni.
Amin Bule, terima kasih banyak  jengukan dan masukannya."
Iya sama-sama Sus. Wassalamuallaikum kata Bu Sumarni keluar rumah sambil mendorong sepedanya.
Waalaikumsallam?
Bu Sumarni memang dikenal sebagai perempuan perkasa dalam menyikapi masalah, tak heran bagi mereka yang mengenalnya secara mendalam, maka orang tersebut sudah tentu akan hormat kepadanya. Tak terkecuali Susi, ketika masih SD dia sering sekali main di rumah Bu Sumarni. Kadang oleh Bu Sumarni Susi disuruhnya untuk mencari uban, Susi kala itu sangat senang karena  hasil mencari uban rambut Bu Sumarni diberi upah dan dapat membeli jajan.
*
Wah macet Wie kata Sigit.
Beda sekali dengan di desa ya Git, tapi kok orang sekitar sini bisa tahan saja?
Ya tahan saja Wie karena sudah keadaan. Â Mulai lahir jadi telah biasa.
Tapi ada saja Git, orang dari desa yang suka tinggal di kota, merantau. Padahal aku saja kalau tidak ingin menuntut ilmu malas  ke sini ungkap Dewie sambil meraih sapu tangannya.
Dalam keadaan itu, sapu tangan terus membenamkan hidung Dewie. Kemudian dalam hitungan menit, warnanya sudah tampak menjadi cokelat kekusam-kusaman. Gerah begitu menggodok badan Dewie. Polusi menghantam saraf, menghasilkan pening lalu turun ke perut. Dewie terasa mual gara-gara terhirup karbon dioksida yang melayang-layang  mencari sasaran.
Aku gak tahan aku Git jelas Dewie dengan menggeleng-geleng.
Sabar Wie, kalau menurut pandanganku sih, orang desa yang suka melancong ke kota itu juga karena berniat ingin gengsi saja. Mereka telah bosan hidup di kampung."
"Manusia Git, pada dasarnya memang selalu sulit beradaptasi dengan keadaan secara permanen. Orang dari desa saking sudah suntuknya hidup di kampung, maka ia pun ingin mencari suasana lain dengan merantau ke kota. Begitu juga yang berada di kota cenderung akan suka tinggal di desa."
Berarti manusia itu sebenarnya tidak pernah merasa puas ya Wie.
Bisa dibilang begitu.
Motor Sigit berjalan lambat dengan tetap suasana panas menghantam inci per inci roda motornya.
Tapi ada kok Wie, manusia yang menurutku puas menikmati hidupnya. Coba lihat kaum sufi. Mereka tentram saja dengan segala aktivitas rohaninya."
Seperti yang tiap sebulan sekali datang ke kampung kita itu ya. Yang seperti ulama dan selalu mengingatkan untuk memenuhi langgar? jelas Dewie yang masih menbungkus mulutnya dengan sapu tangan.
Benar, lihat saja mereka semua. Mereka sangat santun, ramah, dan tegas dalam memegang teguh keyakinan. Mereka terkesan membuang dunia. Mereka berpindah-pindah dari kota turun ke kampung. Dari kampung naik ke kota hanya demi syiar agama. Mereka bukan semata-semata mencari uang melainkan berbagi keyakinan dan ilmu yang mereka kuasai untuk keselamatan umat.
Apakah kamu yakin jika tindakan yang mereka lakukan itu sepenuhnya benar dan sesuai tuntunan? tanya Dewie ragu.
Sigit clingukan. Perutnya keroncongan dan semakin membuatnya gaduh. Dia semakin pusing melihati kemacetan yang memuakkan. Ingin rasanya ia bunyikan klakson nyaring-nyaring. Tapi nyalinya mengecil karena di depannya ada Colt bermuatan tanah dan pekerja bangunan berwajah hitam sangar duduk di atas gundukan tanah itu. Sesekali buruh tersebut memplototinya.
Ya tentulah aku yakin songsong Sigit. Mereka mempunyai referensi dan memang tuntunan yang mereka syiarkan menurutku benar adanya. Aku pernah mengikuti tausyiah bersama mereka. Mereka pernah berkata tentang pertanyaan-pertanyaan  nanti saat kita meninggal. Seingatku ada yang menyatakan pertanyaan kubur bukanlah tentang materi SMA atau kuliah. Sebaliknya  hakikat kewajiban kita sujud dengan Tuhan semesta alamlah yang diutamakan."
Dewie menepuk pundak Sigit.
Eh Git, kalau keyakinan yang kau ulaskan seperti itu. Aku juga ingin sedikit bertanya kepadamu, begini? hela Dewie mengatur napas.
Dalam hadist, ada tercantum  Allah SWT tidak akan mengubah nasib umatnya, jikalau umatnya tidak berusaha merubahnya terlebih dahulu. Lantas, apakah menurutmu benar? Bila dalam hidup ini kita hanya menuntut ilmu akhirat saja dan membuang yang berada di dunia. Memang pada hakikinya, kebanyakan hal yang berada di dunia itu hampir bersentuhan dengan hal yang mudarat. Namun apabila bertatanan dengan cita-cita atau kewajiban sebagai kamu seorang calon kepala rumah tangga. Apakah nanti kamu akan mengayomi dirimu dan istrimu dengan nasihat akhirat, tentunya tidakkan. Hidup ini tercipta tidak melulu satu warna dan satu rasa. Jika kamu hanya hidup untuk satu arah, tentunya itu  masih dalam ambang keraguan. untuk apa dicantumkan ulasan tentang berusaha dan menuntut ilmu sampai negeri Cina jika hanya dalam lama hidupmu kau fanatik dengan akhirat terang Dewie layaknya ahli filsafat.
Aku kurang paham Wie dengan kata-katamu, seolah yang aku tangkap dari konsep itu adalah kamu kontra dengan mereka.
Aku menyetujui tentang anjuran mereka untuk memenuhi langgar dan selalu taat beribadah. Namun aku tak setuju jika agama dipakai sebagai landasan ongkang-ongkangan seseorang dalam menjalani hidup. Pernahkah kau tanya kepada mereka tentang keluarganya? tanya Dewie mendesak.
Pernah, dan katanya istri mereka tentram memeluk Islam di rumah. Mereka menitipkan sejumlah uang untuk belanja hariannya. Mereka pergi merantau untuk syiar dan sang isteri berdoa untuk keselamatan suaminya yang tengah berjihad di ladang agama.
Jihad atau melarikan diri dari kewajiban?
Kemacetan telah berlalu, jalan pun kembali lengang dan desisan angin menerpa kencang menabrak wajah kedua muda-mudi itu.
Kok kamu ngomongnya gitu Wie? ucap Sigit sedikit memprotes.
Kamu tidak merasakan menjadi perempuan bukan? Apalagi yang telah memiliki momongan. Meskipun dalihnya untuk berjihad namun bagi seorang isteri, arti ayoman suami adalah segalanya. Siapa yang akan membelai buah hatinya kala usianya telah sanggup untuk menentukan bapaknya. Siapa nanti yang akan menghibur isteri jika ia sakit. Apakah agama dapat menjamin hidup sang isteri, menjamin kebahagiaan sang isteri cerocos Dewie menyudutkan Sigit.
Mereka tidak meninggalkan isteri Wie protes Sigit. Mereka hanya pergi sementara?
Mereka pergi berminggu-minggu Git."
Ah sudahlah Wie, percakapan kita malah semakin mengelantur saja, seperti kita ini orang pemikir saja hahahaha belok Sigit karena kalah berdebat.
Hahaha benar katamu, seperti ahli pikir saja aku ini. Namun begitulah manusia mempunyai pandangan berbeda-beda. Pandangan yang baik bila suatu pandangan itu mempunyai referensi yang mendukung. Sementara pandanganku ini, hanya berdasarkan dari penilaian mata, telinga, dan gejala yang ku kecap dengan perantara lidah sebagai medianya terang Dewie melemah.
Aduh Wie, aku lapar. Ayo kita cari warung. Tak tahan lagi tampaknya aku keluh Sigit.
Astagfirullah, benar katamu Git. Aku sampai lupa mentlaktirmu makan karena asik ngobro."
Sigit tersenyum.
Santai saja Wie, aku tidak minta ditlaktir kok
*
Ndak bisa kurang toh Pak..masa umbud yang layu seperti ini dijual dengan harga 25 ribu sebatang. Mahalnbenar pak? Â tawar Bu Sumarni saat bercakap dengan salah seorang yang ingin menjual pohon kelapanya.
Itu kalau bibi mau..harinya sudah sore Bi dan Bibi belum punya dagangan. Jika mau beli saja dagangan saya, namun harganya yah seperti itu.. desak yang  menawakan umbud.
Wanita itupun  mengalah. Memang hari mulai sore, membuat Bu Sumarni tidak sempat lagi berkeliling kampung. Daripada tidak mendapatkan dagangan utama, lebih baik ambil yang ada. Semoga esok hari dagangan ini dapat berujung lebih meski harganya sekarang naik. Harap Bu Sumarni.
Bu Marni, istirahat dulu tegur suara perempuan dari rerimbun pohon mangga.
Wah iya Mbak, nanti dulu. Â Tanggung ini?
Wanita bertubuh gendut itu perlahan berjalan menghampiri. Berjalan di tengah pematang sawah dengan caping khas melindung kepalanya. Terus ia melangkah.
Bu-bu, badan sampeyan kok sampe langsing seperti itu, kelebihan diet sampeyan Bu? ujar wanita bertubuh tambun itu sembari senyum-senyum.
Menghormati teguran dari warga di sekitar, akhirnya Bu Sumarni pun beristirahat.
Iya ini kelebihan diet, makanya jadi kelewat langsing juga hehe..., Oh iya itu opo yang kamu bawa Mbak? tanya Bu Sumarni yang melihat keranjang lumayan besar yang digendong teman bicaranya itu.
Sesaji Bu, buat memberi makan yang punya sawah dan agar sawahnya senatiasa tentram
Oh benar itu jawab Bu Sumarni kembali menghormati.
Daerah tempat Bu Sumarni bermukim adalah daerah transmigrasi. Banyak pendatang dari luar wilayah yang bertempat tinggal di sana pada zaman orde baru. Desa Rawomangun sendiri terdiri dari macam-macam suku dan agama, dan keberagaman suku ini juga menghinggapi desa-desa sebelah. Tak terkecuali desa yang selalu menjadi tempat bagi Bu Sumarni dalam mencari bahan dagangan, khususnya umbud yaitu Desa Sidorejo. Di dalam Desa Sidorejo kebanyakan suku Bali yang bermukim. Tak heran Bu Sumarni selama mencari umbud selalu melihat sesaji yang diletakkan di atas gubuk kecil di tengah sawah.
Sebenarnya bagi Bu Sumarni hal tersebut biasa saja, namun oleh lantaran ingin membuka cakap, maka Bu Sumarni pun berpura menayakan mengenai hal tersebut.
Iya seperti ini Bu, kalau di tempat sini banyak yang yakin bila sawah, kebun tentunya ada yang menjaga, bahkan kami percaya bahwa tikus pun derajatnya tergolong tinggi dibanding binatang lain yang berada di sawah ini. Di sini kami tidak berani membunuh tikus karena takut bibit padi yang telah tertanam hancur karena kemarahannya.
Oh seperti itu ya Mbak, lantas tikus itu dibiarkan saja memakan benih padi? tanya Bu Sumarni heran.
Ya selama ini, syukur saja tidak ada petani yang mengeluh karena ulah tikus Bu. Kami selalu memberinya makan. Bagaimana kalau di tempat Bu Sumarni sendiri?
Kebanyakan memakai racun atau membuang anak kucing di tengah sawah Mbak untuk mengontrol tikus. Namun ada juga sih Mbak yang meninggalkan makanan sebagai ganti beras untuk dimakan tikus."
Lidah Bu Sumarni ingin meneruskan secara tegas ucapannya itu, namun hanya mampu tersampaikan di dalam hati:
"Kami tidak berani mempercayai selain daripada kuasa Allah SWT.
Jujur saja untuk Bu Sumarni, apa yang di sampaikan Mbak bertubuh gendut serasa pada tindakan dinamisme. Akan tetapi pada hakikinya kepercayaan orang itu masing-masing, dari warna  konsep itulah Bu Sumarni seusaha mungkin untuk memakluminya.
Saya percaya kok Bu, kalau kita baik terhadap yang menunggu ladang tentunya yang menunggu pun akan memberikan berkah dengan melimpahnya Mbok Sri  di kala panen nanti tegas wanita tambun itu lebih lanjut.
Bu Sumarni mengangguk, ia ambil kapak dan mulai mengayunkannya ke batang umbud. Si wanita bertubuh gendut itu mengerti jika Bu Sumarni telah memulai aktivitasnya lagi. Sebab itu lah ia memutuskan untuk pamit.
*
Sigit dan Dewie telah sampai di Jembatan Barito. Panjangnya Jembatan  Barito sempat menjadi salah satu dari jembatan terpanjang di dunia. Ramai pengunjung sore semakin meriuhkan suasana. Bukan hanya pengunjung muda-mudi saja yang nongkrong, melainkan semua komunitas. Bahkan anak-anak suka untuk malas-malasan di sana.
Sore itu udara riuh merendah.
Sigit dan Dewie duduk ditepi jembatan, tangan mereka berdua berpegagan pada besi pengkokoh tiang. Mata mereka lepas memandang pulau dan rumah-rumah di Banjarmasin yang terlihat liliput. Kembali desir angin menyapa kedua pipi mereka, bersama sapaan angin itu, Sigit pun membuka cakap:
Di sana itu perusahaan TS? kata Sigit menunjuk pada sebuah bangunan pabrik besar.
Oh yang sering d lancongi pemuda-pemuda dari kampung kita ya"
Iya, kata teman-temanku sih, di sana itu ladangnya buat mencari jodoh?
Dewie melongo geli.
Jodoh? sahutnya heran. Berarti teman-temanmu adalah golongan cowo yang tak laku ya Git simpul Dewie tertawa.
Sigit ikut tertawa.
 Biarlah teman-temanku yang belum mendapat jodoh, yang penting aku sudah ada
Wess...Hebat, anak kampung mana calonmu"
Calonku kamu Wie tegas Sigit.
Hahaha gombalmu enggak laku itu Git. Orang-orang di kampung itu kalau cari jodoh  pasti dari kota atau orang jauh dari tran"  kata Dewie mengalihkan topik.
Sebagian ada yang seperti itu Wie, namun juga sebagian tidak. Yang seperti itu lantaran untuk manas-manasi mantannya yang di kampung saja. Kalau kulit cewe yang tinggal di kota itu putih-putih. Berlaianan sekali dengan kulit cewe yang tinggal di desa."
Cowo ternyata hampir sama ya, yang dipandang selalu paras? kata Dewie sedikit kesal.
Cewe juga demikian, yang dipandang dari cowo pasti kebendaan balas Sigit.
Dewie mentap Sigit yang duduk di sampingnya dengan tajam.
Maksudnya semu cewe itu matre?
Yah memang begitu kenyataannya Wie
Ngawur kamu kata Dewie sambil mencubit pinggang Sigit.
Sigit kaget, dan langsung reflek menangkap tangan Dewie.
Tap!!, tangan keduaya pun berjabat. Sesaat Dewie merasakan degupan keras di dadanya. Degupan itu naik ke saraf dan menciptakan suatu denyutan rasa di sana. Saraf mengasumsikan tanda itu dengan berbagai prasangka dan praduga. Sebaliknya Sigit tanpa merasakan hal itu, hanya rasa lembut yang ia rasa. Lembut tangan Dewie membuatnya ingin berlama-lama menjabat.
Aes.. kejut Dewie melepaskan tangan Sigit. Dia berpura kaget tanpa dosa lalu melayangkan pandangannya ke tongkang batu bara yang nampak berlayar di bawah jembatan.
Aku Git kalau di rumah pasti selalu dapat nasehat dari ibku" ujar Dewie yang melupakan kejadian tadi.
Bude Sumarni itu perempuan yang sangat tangguh. Jiwa beliau itu alot. Beliau berdagang sampai berkilo-kilo jauhnya hanya untuk mengubah keadaan. Akiu yakin Wie nasihat nasihatt yang sering diberikan beliau itu atas dasar pengalaman di masa lalu yang tak ingin turun ke anaknya."
Aku sudah tahu hal itu Git, pernah ibuku  bercerita kepadaku tentang asal usul beliau dahulu ke Desa Rawomangun lalu sampai menikah dengan ayahku."
"Aku ini anak terakhir  dari tiga bersaudara Ndok. Aku dahulu itu paling manja dengan orang tua dan paling bandel kalau dinasehati. Aku hanya nurut sama kakekmu. Sementara kakekmu itu sosok laki-laki yang gak punya pedoaman hidup. Akhirnya ibu pergi ransmigarsi kesini bersama Kakekmu. Nah dalam kapal yang mengangkut masyarakat tran itu, aku sempat melihat ayahmu si Darwis. tapi tanpa kenal. Perlu kamu tahu Ndok, aku ini temasuk juga satu dari masyarakat bodoh yang beruntung. Banyak teman-temanku yang meninggal di kapal transmigrasi itu,. Bahkan yang lebih miris lagi, aku mendengar ada sebuah kapal pengangkut para transmigrasi yang terbakar di tengah samudra. Warta yang beredar,  kebakaran tersebut disebabkan karena kecelakaan. Namun aku tidak percaya mengingat perlakuan kami yang naik kapal ini pun tak layak. Kami itu seumpama sampah yang harus dibuang agar tanah dapat memberkah. Agenda dalam transmigrasi juga bermacam-macam tempat Wie. Ada yang melancong di pulau Sulawesi, Sumatra dan untuk kami, pulau yang dituju adalah Kalimantan.
Lalu bagaimana cerita tentang Bapak?
Ayahmu adalah sosok lelaki nekad,asal usulnya adalah seorang yang keras kepala juga. Aku diberitahu kalau dia ikut transmigrasi lantaran muaknya dia dengan Ibunya
Memang nenek  kenapa Bu?.
Nenekmu di Jawa sana adalah perempuan yang suka menimbun banyak lelaki. Lelaki-lelaki simpanannya tak pernah ada yang tahu berapa jumlahnya. Sungguh pandai nenekmu menyembunyikannya seperti menyelinap di kabut kala Subuh hari Wie. Suatu ketiika kesimpangsiuran warta masuk ketelinga Bapakmu. Dia marah luar biasa, lantaran Bapakmu dan kakaknya sajalah yang murni anak nenekmu Wie,. Sedangkan ayah mereka berdua telah meninggal. Kakak ayahmu tak semarah bapakmu, ia dominan tak peduli dengan omongan orang, . Berbeda sekali dengan ayahmu yang mencari kebenaran isu itu. Ayahmu tergolong cepat naik darah dulu Wie. Dia tak bisa menerima kabar dan mencerna isu angin dengan kepala dingin."
Lantas  Bu?
Setelah isu itu kian santer, tentulah sebagai anak ia malu dan akhirnya berujung minggat dari kampung. Terkadang sampai sekarang, aku masih sering melihat Bapakmu turun mental karena perkataan orang. Aku berharap, kelak sesulit apapun keadaanmu jangan pernah sekali-kali putus asa dan berani meninggalkan orang tua Wie.
Inggih Bu, lalu jadi ketemu dengan ayah itu bagaimana Bu?
Itu mulanya dari babat alas atau pembongkaran lahan Wie. Desa Rawomangun pada masa dulu tentu tidak bersih rindang seperti sekarang, desa itu adalah hutan pohon galam, karet, dan pohon-pohon besar yang tak cukup untuk dipeluk pria bujangan. Kaum lelaki dengan bantuan senso, ekskavator, dan alat-alat seadanya membongkar hutan itu. Mereka terus menebang dan membabat, sementara kaum perempuan membuatkan sarapan seadanya. Aku uga membantu memasak-masak. Proyek itu berlangsung hampir tiga bulan dan kami tinggal dengan lokasi yang seadanya seperti tenda-tenda pengungsii. Ayahmu dan aku saat itu berusia kira-kira 29 tahun. Lumayan berkepala namun sama-sama belum ada rencana untuk menjadi keluarga. Ketika lahan telah selesai mendadak kakekmu sakit, hampir seminggu ia tak dapat berjalan. Aku tanpa keluarga dan hanya tetangga, itupun mereka hanya banyak membantu memberikan nasihat. Praktisnya, dari mulai kejadian itulah aku berpikir untuk mengubah sikap. Aku Tak lagi menjadi anak manja, dan langsung tanpa peduli mengerjakan apapun yang dikerjakan kakek. Aku bekerja di sawah. Ibu tak mempunyai sawah waktu itu. Aku hanya meneruskan garapan sawah kakekmu. Kala itu benar-benar diperas tenagaku lantaran hari yang terus maju dan tenaga yang belum profesional. Aku takut jika tidak selesai hanya menimbulkan amarah dari Mbah Karjo yang punya sawah. Selain ke sawah, ibu juga mencari kayu dan segala tetek bengek urusan dapur lainnya. Masa itu aku lewati dengan tangis karena ingin bertahan hidup Ndok. Harus aku syukuri, akhirnya ada saja tetangga yang memahami,  yang lebih dinamis ke teligi memberi saran untuk bangun malam dan banyak-banyak melakukan ikhtiar. Sementata sebagian tetangga lainnya juga berniat mencarikan aku seorang pendamping hidup. Begitulah, orang kampung memang unik pandangannya. Cinta tidak memakai gelarnya pada masa itu Ndok, hanya rasa saling melengkapi, menghargai, dan saling membantu. Aku dikenalkan dengan Bapakmu oleh tetangga karena berbagai pertimbangan. Pertimbangan yang paling kuat adalah dari segi asal usul ke dua belah pihak, yang mana baik aku atau Bapakmu, sama-sama tak mempunyai keluarga yang utuh di tanah buangan ini. Sifat Bapakmu sendiri tidak terlalu muluk-muluk, malah ternyata dia telah menaruh simpatik duluan kepadaku kala melihat ibu yang kebetulan membawakan keranjang kecil berisi nasi pulen untuknya saat kerja. Akhirnya dia mau, sampai kami menikah dan sedikit lambat memiliki keturunan Ndo'k. Saat akad nikah, aku dulu diwakilkan oleh kakek dan ayahmu diwakilkan oleh temannya yaitu Ratnho. Kehidapan ibu masih sakit. Dua bulan dari perkawinan ibu  mulai berjualan. Awalnya hanya ingin coba-coba namun lama-lama lumayan juga penghasilannya. Jadi Ndo'k, manusia hidup itu tak akan selamanya mempunyai pegangan untuk bersandar maupun menopang keadaan. Pegangan sejati ada pada niat kita. Dengan kita bersungguh-sungguh ikhlas maka sesulit keadaan apapun, pasti akan dapat kita melaluinya. Aku dan Bapakmu ini tidak kekal Ndo'k. Satu yang kuinginkan yaitu menjadi orang tua yang berbakti dengan tidak menitiskan keadaan seperti ini kepadamu."
Yah, banyak sekali aku dinasehati ibuku Git. Dengan hal itu, salah satu  yang harus aku wanti-wanti adalah, aku tak mau untuk mengenal cowo secara berlebihan. Aku takut hanyut dan tak bisa mencapai apa yang ingin aku tuju. Orang tuaku saja sangat santai dalam mencari pendamping hidup, lalu mengapa aku harus terburu-buru kata Dewie yang sengaja mematikan niat Sigit secara halus.
Angin yang semakin senja kian berderai mengibas rambut, pipi, wajah, dan tubuh. Angin juga berderai menyapu keinginan seseorang dan membawanya tunduk lesu.
Dewie menunduk, tentu sebagai perempuan yang sensitif terhadap perasaan maka dengan cepat ia dapat meraba rasa yang dialami Sigit. Namun inilah yang terbaik menurutnya. Dewie bukanlah tipe perempuan yang senang menebar kesan memikat terhadap pengagumnya. Dewie berharap, orang di sampingnya tersebut setelah mendengar cerita panjang lebarnya dapat mengerti dan lebih bijak lagi dalam menyikapi sebuah rasa.
*
3. Pecah Seribu
Seminggu di kosan Banjarmasin muka Dewie ceria berseri-seri. Disambutnya pagi berhalimun dengan helaan napas segar keluar dari lubang hidungnya. Ia mengingat kala seperti ini tentu kedua orang tuanya telah meninggalkan rumah dan  sibuk dengan pekerjaan sehari-hari.
Aku tak boleh bermalas-malasan!. Aku tak ingin kalah dengan orang tuaku!. Bangkit ia dari tempat tidurnya yang terbuat dari busa. Langkah kakinya yang kantuk mendadak tegap menuju kamar mandi.
Harus Dewie akui, ia amat berterima kasih kepada Sigit karena seringnya menjadi joki untuk Dewie selama ini. Sigit juga yang mencarikan kos-kosan bernama Nilam ini untuk tempat tinggal Dewie. Baik benar anak itu, begitu kira Dewie. Namun apakah kebaikannya dapat mencairkan hati Dewie yang liat, tentunya belum mampu. Cinta tetap Dewie simpan tanpa mau ia tampakkan ronanya. Mampukah kebaikan membuat seseorang luluh hatinya? Mungkin mampu bagi sebagian penanggap, karena semua manusia berjenjang pikir berbeda. Tapi tidak untuk Dewie, kebaikan Sigit belum cukup atau tepatnya malah belum pada tempatnya. Sudah lebih sebulan puluhan rayuan WA Dewie terima. Tapi hal itu toh tak membuat hati Dewie begeser peduli barang satu inci. Petuah orang tua masih melingkar dan tertera dibenak Dewie, mungkin malah telah mengakar di sana.
Selesai mandi, Dewie bersiap untuk belajar ke kampus. Dewie berdandan tak lama. Â Apa sih yang didandankan dari perempuan yang belum terjamah kota, masih sewajarnya. Dengan langkah pasti Dewie keluar kamar.
Ayo kita bareng Wie ajak seorang perempuan berpakaian panjang.
Dia Fatimah, tetangga kamar sekaligus senior Dewie. Dia berasal dari Desa Palingkau Kalimantan Tengah. Sosoknya santun, dan tak neko-neko. Fatimah tergolong dari keluarga berada. Hal ini Dewie ketahui dari seringnya ia mendengar Fatimah ngbrol di seluler mengenai berbagai urusan atau proyek tertentu. Rasa penasaran menuntun Dewie untuk bertanya langsung tentang asal usul sahabatnya itu. Akhirnya Fatimah bercerita tanpa mimik sombong barang selebar kukupun kepada Dewie. Dewie kagum mendengarnya. Dewi tahu jika seseorang ikut dalam sebuah orgaisasi apalagi organisasi muslim, tentunya banyak larangan yang harus dipatuhi. Kadang larangan akan menjadi kekangan untuk seseorang menjadi sulit bergerak, tapi tidak menurut pandangan Fatimah. Â Dengan berbagai referensi yang dibaca dan dipelajarinya terbantahkanlah statment Dewie. Wawasan yang luas dengan selalu berpedoman pada agama itulah yang membuat Dewie tertarik. Mereka pun menjadi sahabat akrab.
*
Bu Sumarni mengayuh sepedanya menuju pasar Senin dengan gontai. Bulan-bulan ini, bertambah pucat dan kurus saja bandannya. Sebagai seorang ibu yang merasakan rindu kepada putrinya tentu itu menekan hatinya. Dewie pulang kerumah sebulan sekali. Bagi Bu Sumarni sehari atau dua haripun terasa belum cukup. Tapi mau bagaimana? Bu Sumarni harus membiasakan itu.
Bu Sumarni mengingat malam tadi ada kenduri di tempat tetangga. Biasanya acara seperti itu untuk mengirim roh dengan doa atau hajatan syukuran. Dalam acara itu, setiap warga yang diundang selain mendapatkan jamuan makan dari tuan pemilik hajat, tamu tersebut juga wajib diberikan berkat yang berisi hidangan lauk pauk. Bu Sumarni ingat jika ada putrinya, dia yang begitu rakus melahap makanan favoritnya itu. Hal demikian membuat ibu dan bapaknya kerap tertawa lalu menasehati agar Dewie bersabar. Beda sekali sekarang, berkat yang sering mereka makan bertiga, hanya beku di sudut ruangan. Â Bu Sumarni tak tega dan bernafsu menjamah berkat, ia hanya kelu menata sayur bayam dan kangkung dengan bersandar hampa di dinding. Sementara itu Pak Darwis hanya melongo melihat atap rumah dengan bumbungan asap rokok yang telah memenuh di lambungnya.
 Jegleekk..gleek!!
Tiba-tiba ban depan Bu Sumarni menabrak batu jalanan yang cukup besar.
 Astagfirullah...!! teriaknya.
Setang sepeda bergeol kekiri dan kekanan. Jentera berputar dengan liar beringas. Sementara itu bobot dagangan berontak seperti kumpulan sapi yang lepas dari kandang. Di sudut kiri jalanan adalah kali bekas kerukan eskavator, rumput purun tanpa daun hijau-hijau tampak memperolok dan membujuk.  Air yang warnanya keruh membias bayangan ketakutan  di dalam diri Bu Sumarni. Hati Bu Sumarni berdesir turun dalam ketidakstabilan antara tenaga dan beban sepeda.
Banting setang kekanan dengan payah, roda sepeda susah takluk. Seliweran motor dan mobil dari arah kanan yang mulai meramai tak ayal membawa embusan angin yang memperberat usaha Bu Sumarni.
Terus berdzikir. Hati Bu Sumarni perlahan tenang agar tidak jatuh ke kali.
Lalu sesaat kemudian.
Blukk!!!!...
Tiga buah waluh besar jatuh dari keranjang boncengannya. Hentakan ban sepeda itu ternyata membuat buah waluh yang sebesar  kepala manusia itu tak tahan. Buah itu  menyelinap dari jubelan  sayuran yang mengkungkungnya. Gugur dengan beratnya, lalu menggelinding ketengah jalan  lalu sebuah Colt hitam bermuatan sayur segera menyambar.
Praakkk!!!!!.
Waluh itupun lumat meriasi jalanan di pagi hari.
Turun Bu Sumarni dari sepedanya, menyesal sekali dia. Ia pandangai buah waluh yang tak dapat kembali. Pagi itu Bu Sumarni  telah merugi 70 ribu.
 Sembari mendayung sepedanya, ia tetap  tawakal dan mengambil sisi baiknya.
*
 Sebagai seorang perempuan yang terbiasa membersihkan rumah, saat pulang kuliah, di kosan Dewie pun langsung bergerak melakukan aktivitasnya. Semua pakaian yang menurutnya kotor, ia rendam ke dalam ember. Lantai yang sedikit berhambur ratik plapon ataupun bungkusan permen segera ia sapu. Terkadang ia sering geleng-geleng sambil senyum kala  melihati teman sebelahnya yang kurang aktif dalam menata kamar juga mengurusnya. Ada yang senang menumpuk pakaian dan mencucinya di loundry dengan berkilah bahwa takut tangannya kasar. Ada yang senang pula menumpuk piring dengan alasan menunggu piring penuh, baru dicuci. Bahkan kadang Dewie melihat dengan geli betapa lalat-lalat sangat senang hinggap ditumpukan piring rendaman itu.
Saat membersihkan kaca muncullah perempuan-perempuan berparas ayu menor, dan berpakaian  sesak dari dalam kosnya. Langkah kakinya mulus dengan celana levis ketat pendek  menutup paha putihnya. Mereka berjalan lagi keluar dari kos-kosan, dengan gerai rambut berwarna pirang kemerah-merahan, dan langsung masuk kedalam mobil.
Mau heran tapi bukan kali pertama Dewie melihat itu. Tapi yang aneh padahal ibu kos tinggal hanya berjarak 1 Meter di samping kos-kosan. Namun beliau terkesan cuek juga. Pernah suatu kali Dewie menanyakan itu ke Fatimah dan ternyata ibu kosnya adalah  seorang janda. Kata sahabatnya yang lebih lama berdiam di situ, sang bapak kos meninggal karena kecelakaan dua tahun lalu. Pantaslah sekarang ibu kos itu suka bepergian tengah malam, mungkin untuk melepas kepenatan dan sepi yang mengglayut di pikirannya.
*
Hidup ini penuh dengan tantangan dan perjuangan. Perjuangan apa saja. Berupa-rupa dan beragam. Bahkan perjuangan cinta. Tentunya cinta yang benar-benar cinta dan bukan sekedar  cinta-cinta mainan.
Masa-masa penantian dan fantasi Sigit telah sampai di pucuk pohon cemara. Sudah tak tahan dia. Sudah bersabar dia. Mampu terbang atau jatuh tersungkur ke bawah itulah hal yang ingin ia tahu. Sementara di sisi lain, teman-temannya makin santer memberi nasihat yang memekakkan telinga. Benar-benar berarti perubahan di hati Sigit
Malam ini ia ingin menghubungi Dewie. Ingin mencari kepastian hubungan apa yang sebenarnya Dewie kehendaki.
Sigit keluar dari rumahnya dengan mengenakan kaos oblong dan sebilah rokok telah menjepit di bibirnya. Keringat bercucuran di pipi dan perut akibat selesai memakan sambal.
Duduk dia di kursi depan ruamahnya yang terbuat dari batang galam yang mengering. Jempolnya menekan-nekan keyboard yang ada dalam Hanphonenya.
Assallamualllaikum.. salamnya ramah.
 Waalaikum sallam..ada apa Git?.
"Enggak kok Wie aku cuma lagi sunyi, Â boleh tahu kamu sedang apa. Sibuk ya."
Tidak Git..,ini lagi santai sambil melihat TV.
"Oh gitu to"
Sigit terus bertanya dan berbasa-basi untuk lebih mencari kesempatan yang pas. Asap rokok berkepul-kepul membundar di udara, seperti tekadnya yang telah bundar untuk menanyakan tentang penantiannya. Sementara Dewie menjawab dengan sepraktis-praktisnya dan tidak memberi peluang kepada Sigit. Ucapan Dewie seperti tikaman pisau tanpa balasan. Hanya serangan, dan serangan memojokkan lagi untuk segera memberhentikan pembicaraan.
Jika Sigit diam tanpa berujar lagi, maka dengan senang hati Dewie akan mematikan telpon itu. Dewie kokoh. Tidak ingin menerima Sigit terkecuali hanya sebatas berteman.
Gini Wie..sebenarnya aku udah sering bilang hal seperti ini ke kamu. Tapi selalu kamu jawab dengan nada canda dan raut muka yang mengabaikan Sigit memulai perjuangannya. Aku tahu Wie, Sebagai pemuda yang satu kampung denganmu, mungkin aku sangat jauh penampilannya dengan pemuda di sekitarmu sekarang ini."
Apa sih, batin Dewi bingung. Kok jadi begini.
"Namun Wie..Jujur saja; jawaban yang selalu kamu utarakan dengan senyum menyebalkan itu, di mata dan hatiku malah semakin membuatku penasaran. Kamu sering ku impikan Wie,"
Kening Dewi tambah berlipat lipat.
"Terserah kamu mau anggap aku cowo lebay atau gombal, yah terserah. Aku pemuda Wie..aku punya rasa dan selama ini rasaku benar-benar mengarah ke dirimu. Aku ingin jadi seseorang yang selalu bisa menemanimu Wie. Temani saat bercerita ataupun saat berjalan bersama membuang beban masalah di luaran.
Lho..,bukannya memang selama ini kamu sudah aku anggap sebagai teman yang selalu berbagi cerita denganku Git..? Dewie menyela khotbah cinta Sigit.
"Iya??,aduuuuh!, anak ini gak paham-paham Sigit tertawa jengkel karena maksudnya belum juga terbaca oleh incarannya.
Dewie pun ikut tertawa agar suasana semakin ceria. Dewie bukannya tidak mengerti, namun ia berpura-pura tidak memahami dan terus mencari pelarian topik. Dewie tidak suka dengan suasana yang terlalu panas dan serius ketika berbicara menyampaikan satu topik permasalahan.
Dalam situasi ini,Dewie terus berpikir juga agar jawaban yang nanti ia lancarkan dapat dipahami Sigit  tanpa menimbulkan sakit hati dan perubahan tingkah laku. Dewie telah tahu ujung pembicaraan ini. Tapi Dewi tak ingin temannya itu menjauhinya karena jawaban yang sulit ia terima.
Aku berharap bisa kamu jadikan pacar Wie. Memang kita jaraknya jauh. Tapi aku usahain seminggu sekali, aku pasti tengoki kamu di situ" Â pintanya dengan nada memelas.
Sejurus kemudian hening.
Wie.." Â lanjut Sigit. Kamu juga sudah dewasa. Kamu bisa menilai mana hal yang baik dan mana hal yang buruk. Jika nanti kehadiranku di hatimu itu berdampak buruk dengan perubahan sikapmu. Aku siap Wie diputuskan saat itu juga jelasnya bersungguh-sungguh.
Dagup..,dagup..,dagup!!!
Detak jantung Sigit mulai meninggi tingkatannya, seperti magma yang ingin keluar dari mulut gunung. Keluar melepaskan berton-ton material keras di dalamnya. Khayal-khayal timbul lagi. Mengambang di atas kepalanya seperti awan.
Hmm..piyee yo Git? jawab Dewie dengan suara yang nadanya kelihatan mulai serius juga. Â Orang tuaku melarang aku pacaran Git, kamu mudahan memahami. Aku anak semata wayangnya. Aku itu harapan satu-satunya dari mereka. Aku gak berani pacar-pacaran dahulu sebelum lulus kuliah Git. Nanti jika kita berjodoh, tentu kita bakal bersama menjadi satu keluarga. Kamu itu sahabatku. Â Bahkan sudah seperti kakak kandung. Kamu rame dan asyik. Aku tenang di situ jelasnya dengan lembut dan santun.
Seperti sebilah kaca mengiris tangan. Kata-kata Dewie terasa benar-benar tajam dan perih. Cinta pertamanya hancur. Berhamburan terbang terpencar-pencar seperti abu rokoknya yang gugur. Sakit!!. Kecewa!!. Dongkol!. Hati Sigit mengeras dan sesak sekali rasanya.
Handphone terkulai lemah di genggaman tangan kiri Sigit. Tak terdengar lagi cakap-cakap dari Dewie. Tak penting lagi ucapannya. Tak peduli lagi.
Matanya tiba-tiba membulat dan menyamar karena genangan air mata yang mulai pasang. Tuhan, jagoan itu menangis sekarang.
Sketsa demi sketsa kegiatan yang ia lalui bersama Dewie, muncul kembali di pikirannya. Muncul nyata dan kian mencabik hati.
Ah rasa apa lagi ini.
Git,,Git....Hallo., kamu marah to Git. Kok jadi diem begitu. Aduh maafin aku Git. Tolong mengerti aku Git" Â Dewie memohon.
Menempel lagi HP Sigit di telinganya. Menempel dengan lemah.
Oh..iyo jawabnya sedikit terbata.
 Tidak apa-apa Wie. Santai saja. Yang penting kita masih bisa berteman, ya toh.. ucapnya dengan bergetar-getar.
Lebih dari teman Git. Aku menganggapmu sebagai kakak kandungku sendiri. Aku nggak punya kakak yang bisa ku ajak tukar pendapat. Sedangkan jika aku berbicara dengan kamu, terasa sekali seperti aku mempunyai kakak kandung Git. Terima kasih ya, sudah mau temai aku sampai sejauh ini. Â Maafin semua kelakuanku, kalau membuat kamu tersakiti serta kecewa Git?.
 Untuk apa Wie..Santai saja sahutnya meredam kecewa. Justru aku yang berterima kasih karena telah dianggap kakak. Aku paham Wie dingin nadanya.
*
4. Harapan
Wajah Bu Sumarni dan Pak Darwis cerah. Pagi ini mereka menunggu kedatangan Dewie. Biasalah anak kos. Jika sebulan dan perbekalan dan uang jajan telah habis, tentu mereka mengintil kembali pulang ke rumah untuk mengambil persediaan.
Sebagai orang tua yang sangat menyayangi anak semata wayangnya. Tentu hati mereka berdebar-debar. Terutama pandangan seorang ibu. Bagaimana kabarnya? Bagaimana bentuk badannya? Kuruskah atau gemuk? Mereka ingin melihat dan mendengar anak tunggalnya tersebut bercerita tentang kuliah dan tempat tinggalnya di Banjarmasin sana.
Nah itu Dewie Pak.. Bu Sumarni menunjuk ke arah kanan jalan. Dari kejauhan nampak Dewie datang dengan menggunakan cateran ojek.
Satu bulan tinggal di Banjarmasin membuat perubahan yang cukup mengesankan. Yah kulit wanita memang cepat sekali merespon tentang  suatu keadaan.  Kulit Dewie pun juga sama. Cepat tanggap dan cepat berubah. Air ledeng membuat kulitnya putih  kekuning-kuningan. Kuning langsat. Terlihat dari pakaian berlengan pendeknya. Badannya ramping dan semakin tinggi saja. Matanya sedikit menyepit. Entahlah terkesan Cina saja sekarang Dewie. Pipinya gembung lucu. Dewie tambah cantik ,dengan balutan kerudung abu-aibunya.
Sang ibu langsung menyuruh anaknya masuk, dan di dalam rumah, ayahnya telah mebuatkan miniuman dan pisang goreng untuknya.
 Piyee kabarmu Wie..?, baik-baik saja toh..? tanya Pak Darwis.
Sudah Pak biarin Dewie masuk dulu. Ngomongnya di dalam saja sela Bu Sumarni yang menarik tangan dan mendorong pundak anaknya dengan raut muka yang begitu cerah.
Kedatangan anak tunggal tersebut merubah suasana. Suasana yang selama sebulan lebih sepi menjadi cair dan ramai. Dewie tak henti-hentinya bercerita. Cerita tentang indahnya Banjarmasin dengan segala keramaiannya. Sambil bercerita, tangannya menjangkau isi dalam tas. Di sana ada 1kg buah kelengkeng. Kerap sekali dahulu Ibunya itu berkisah tentang enaknya buah itu. Dari raut wajahnya tampak benar bila Ibunya itu ingin mencicipi buah dalam ceritanya. Dan kini Dewie membawakan buah itu untuk obat penasaran Ibunya.
Bu Sumarni mengucapkan syukur  alhamdulillah anaknya diberi keselamatan dalam perjalanan. Ia tidak cidera segores pun, dan akhirnya membuat kedua orang tuanya mejadi tenang. Terus mendengarkan anaknya bercerita, ibu dan ayahnya sangat menikmatin. Berulang kali liukan senyum dan tertawa tua dari bibir mereka melebar kesudut tepi pipi-pipinya.
Hingga tatkala ada orang di luar rumah yang ingin pinjam pompa untuk mempompa ban sepedanya yang kempes, Bu Sumarni dan Pak Darwis tidak mendengarkannya. Orang itu terabaikan, namun ia juga mengerti jika keluarga itu sedang dilanda kangen-kengenan. Orang itupun pergi dengan mendorong sepedanya yang kempes ke rumah lainnya  untuk memompa ban.
Oh iya Wie, di Banjarmasin kamu sering bertemu Sigit ndak? Â ucap ayahnya. Sigit..? raut muka Dewie bingung. Memang dia ada di Banjar ya Pak..? sambungnya.
 Dia kerja Wie, di perusahaan TS (Tanjung Selat). Sudah dua minggu ini. Kamu kok malah nggak tahu to?.
Dewie ndak tahue Pak" ujar Dewie masih dengan wajah heran.
Dengar-dengar dari bapaknya, dia ingin mencari pengalaman kerja di sana jelas ayahnya lagi.
"Oh begitu" kata Dewie sambil pergi menuju kamarnya.
 Di buka jendela kamarnya. Seliweran angin langsung masuk menerpa. Angin dari rindangnya pohon pisang itu benar-benar sejuk. Berjalan lagit ia ke kasur. Berebahlah badannya dengan telentang. Matanya melihat kelambu di langit-langit kamarnya. Sudah bersih, biasanya masih kotor dengan ratik-ratik. Juga terasa kasur tambah empuk saja. Beda menurutnya. Lamat lamat terasa kantuk. Dewie tertidur.
*
Aduh!! capeknya, pinggangku benar-benar pegal" keluh Sigit sambil menekan pinggangnya lalu menggeliat.
 Ya iyalah capek. Namanya juga kerja sahut teman di sampingnya.
Sigit bekerja di bagian pengeleman playwood pada perusahan Tanjung Selat. Kerjaannya tergolong melelahkan karena seharian tak pernah ia beranjak dari posisinya itu. Handphone tak boleh juga ia mainkan saat bekerja. Ada mandor yang tanpa terkira waktu, dapat datang kapan saja memeriksa. Bila ketahuan memencet Hanphone, maka pekerja itu akan diberikan teguran serius. Sigit  terbiasa bekerja dengan gerakan yang bebas. Bukan bekerja dengan kaku. Sigit tipe pemuda yang mahir bekerja keras tapi sekarang ketekunannya  seperti kalah oleh kerjaan yang menjemukan itu.
Namun sebenarnya ia harus bersyukur.
Ada lagi tingkatan posisi di bawahnya yang sudah membosankan karena tak boleh menggunakan ponsel, ditambah berat pula kerjaan yang disandang, yaitu sebagai pemproses kayu yang masih gelondongan.
Pukul  5 sore pekerjaan Sigit pun usai. Ia kembali ke Mess yang telah disediakan perusahaan untuk melepaskan segala letihnya. Di tempat tidur yang dibikin bertingkat itulah Sigit tidur. Banyaknya penghuni Mess, membuat ruangan yang lebarnya seperti lapangan bola tersebut seperti pasar yang ramai oleh kerumunan pengunjungnya. Ia rebahkan punggung dengan kedua tangannya bersila di belakang lehernya sebagai bantal.
Pemuda tersebut merenung sejenak. Meraba-raba kejadian yang lalu-lalu. Kejadian saat bersama teman-temannya, saat bekerja, dan suka dukanya. Tapi entahlah, tiba-tiba ingatannya melancong ke tempat Dewie. Â Sigit mengucek wajahnya dan cepat-cepat berusaha ia buang. Â Ia ingin mengganti bayangan Dewie dengan seorang pengganti yang harus ia temukan di tempat ini. Tapi cintanya belum lekang. Â Kembali lagi kekenangan. Semakin larut lagi dia seperti cinta di sinetron-sinetron. Mendalami, dan kepalanya pening lagi.
Akh..!!!! helanya muak.
Bujangan itu tak tenang, dan beranjaklah ia dari tempat tidur. Tangannya menelusup di balik baju-baju yang ia onggokkan di samping kamar, mencari rokok. Ia ambil sebilah dari dalam bungkus rokok tersebut.  Rokok filter. Setelah menemukannya, berdiri lagi ia menuju jendela. Memandang lepas pada rumah-rumah, dan bangunan-bangunan di luaran. Sebilah rokok telah ada di tagan. Dia putar-putar rokoknya itu; mempermainkannya dengan melewati jari jemarinya. Seperti bayangan Dewie yang memutar-mutar mempermainkannya dan masih berpusing di kepala Sigit. Terangkat tangannya dengan pelan  menuju tengah-tengah hidung. Sampai di situ,kemudian ia hirup batang rokok yang belum tersulut api. Menikmati betul agaknya dia dengan bilahan rokok yang telanjang belum terjamah api itu.
Creess!!!.. bunyi pentol korek api bergesekan dengan dinding korek. Sesaat kemudian api kecil muncul menyala dari batang korek.Rokoknya telah terjepit bibirnya.  Ujung rokok itu  pun bersentuhan dengan tepi api bewarna merah kekuning-kuningan.
Sekarang rokok tersebut ia nikmati dengan sempurna. Penuh ketenangan. Rileks dan gairah. Â Hembusan asap dari rokok itu membawa semua beban yang diemban Sigit. Pergilah kau Wie. Pergilah bersama kukus ini.
*
Bibi jangan lupa tlaktir sepulang dari pasar nanti", canda seorang penjual jamu dan dibalas dengan nada bercanda pula oleh Bu Sumarni,
 Ayo ku tlaktir bakso, tapi kuahnya saja"
Kembali riuh tawa bergema dalam kegiatan arisan itu.
Alhamdulillah, tabungannya bertambah lagi. Bisa untuk sangu Dewie bulan depan, batin Bu Sumarni yang ingat Dewie telah kembali ke kos.
      Sebagai seorang pedagang tentu insting berhitungnya tidak kalah dengan ahli matematik. Rancangan demi rancangan telah disusunnya. Ini tabungan untuk SPP, ini untuk kos, untuk semesteran dan untuk jajan Dewie. Semua terangkum dalam kepalanya yang tertutup kerudung usang. Jika dibuka kerudung itu, maka bentuk dahinya tampak nonong dengan rambut yang mulai permisi meninggalkan area depan kepalannya.
Usai dengan acara arisan, Bu Sumarni kembali berjualan.
Di tempat dagangannya senyumnya memekar. Menyambut pengunjung yang datang untuk beli sayur dengan senyum yang lain seperti  biasanya.
Bibi..? tegur manja seorang pembeli yang muncul dari belakang, membuat Bu Suamrni sedikit kaget.
 Ehh..,iyo, mau tukar apa Mbak..?.
 Enggak Bi?, aku cuma mau pesan? katanya dengan berdiri dan bersikap sedikit centil. Maklumlah, dari raut wajahnya pembeli itu adalah perempuan berusia muda. Bisa tidak aku dibawakan janur kelapa? lanjutnya lagi.
Berapa perlunya Mbak..?.
 Banyak Bi?, bisa 10 batang, soalnya buat acara pengantenanku" jelasnya dengan telapak tangan kanannya menunjuk dadanya.
 Oh..bisa Mbak, nanti aku carikan sanggup Bu Sumarni. Kapan kira-kira diambilnya Mbak tanyanya gantian.
Emm...?? terlihat memikir, telunjuknya menepuk-nepuk tengah-tengah bibirnya sambil tangan kirinya menopang siku tangan kanannya. Padahal sebenarnya telah ada jawaban itu. Tapi sengaja dibikin-bikin agar lebih gemulai mungkin.
 Dua hari lagi Bi. Bibi bisa antar ke rumah?
"Rumah Mbak di mana?"
Dekat jembatan yang biasa bibi lalui jika kepasar jelasnya dengan masih bersuara centil.
 O iya?, Bibi tau" jawab Bu Sumarni tersenyum.
Ku tunggu ya Bi? pesannya sambil beranjak pergi.
 Iya Mbak?.
Pembeli itupun  permisi setelah memperoleh kepastian dari Bu Sumarni.
Satu lagi rezeki datang tanpa terduga. Seorang wanita muda ingin berpesan janur kelapa untuk riasan dalam acara pengantinannya. Janur sendiri kerap tidak terpakai dan hanya menjadi salah satu tumpukan dahan yang kian kering dihajar panas mentari. Beruntung sekali, janur tersebut ada yang mencari.
Perempuan tadi juga sempat membuat Bu Sumarni heran, kenapa gadis-gadis muda sekarang, cepat sekali untuk membina rumah tangga. Toh yakinlah Bu Sumarni, bila calon yang dipilih gadis-gadis itupun, pasti masih tergantung dengan orang tuanya. Belum sepenuhnya mampu untuk berdiri sendiri. Beda benar dengan zamannya dahulu, wanita-wanita santai saja mencari suami. Laki-laki juga demikian. Jika calon suami belum mapan-mapan benar. Maka suami itu berprinsip, tak ingin menikahi pasangannya dulu. Malu.
Sekarang sudah beda, lamun Bu Sumarni.
*