Saat manusia bingung mencari tempat pulang, langit diam-diam menjadi ruang paling luas untuk menampung tangis yang tak bisa diceritakan. Di bawah langit yang kelabu, kita belajar arti menerima. Kadang, langit tidak memberi pelangi, tapi justru mengajarkan: hujan pun perlu turun agar beban ikut luruh.
Langit mungkin tak memberi jawaban, tapi ia menemani prosesmu hingga kamu tenang.
Menjadi Atap, Bukan Alasan Pergi
Langit adalah atap yang tidak pernah kabur. Ia bertahan, meski dilubangi pesawat, dicemari asap, dan dicueki manusia modern. Ia tidak menagih balas budi. Langit tetap biru untuk yang patah, tetap kelam bagi yang ingin menyendiri, tetap cerah bagi mereka yang ingin mulai lagi.
Dan di sanalah letak keindahannya: menjadi pelindung tanpa pamrih. Ia bukan Tuhan, bukan malaikat, tapi barangkali ia adalah cermin---tentang bagaimana kita bisa hidup lebih lapang, lebih ringan, dan lebih ikhlas.
Akhir Kata: Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Kalau langit saja bisa memberi tanpa pamrih, kenapa manusia sering menuntut balasan untuk setiap kebaikan?
Mari kita diskusi:
Pernahkah kamu merasa dihadiahi sesuatu oleh semesta, tanpa tahu siapa yang mengirimnya? Apakah itu juga bagian dari 'langit' yang bekerja?
Tulis pendapatmu di kolom komentar. Siapa tahu, dari sana kita sama-sama belajar menjadi manusia yang lebih tenang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI