Langit Tak Pernah Menagih Balas
"Belajar Keikhlasan dari Atap Dunia yang Tak Pernah Meninggalkan Kita"
Puisi Pembuka
Langit itu sabar
Ia menampung semua tatapan,
dari bocah yang bertanya
hingga orang tua yang hanya ingin diam.
Ia tak menagih pujian
saat senjanya memesona,
atau meminta maaf
saat hujannya menghanyutkan doa.
Manusia suka melupakan
bahwa langit pun punya perasaan,
tapi ia memilih menjadi atap,
bukan alasan untuk pergi.
Di Bawah Langit yang Tidak Pernah Bertanya
Setiap pagi kita menengadah ke atas tanpa benar-benar memperhatikan. Langit, sejak dahulu, tak pernah meminta apa pun selain dilihat---dan bahkan itu pun bukan permintaan. Ia tetap hadir meski tak pernah dipuji, tetap membentang luas meski tak pernah dipeluk. Sementara manusia terus menagih validasi, langit malah mengajarkan diam yang menenangkan.
Langit tidak butuh kita untuk merasa cukup. Tapi mungkin kitalah yang sebenarnya butuh langit, lebih dari yang kita sadari.
Panggung Sunyi Tanpa Penonton
Pernahkah kamu tertegun melihat semburat senja, lalu menyadari betapa indahnya sesuatu yang tidak menunggu disorot? Langit adalah panggung yang tak pernah kehabisan pertunjukan, tapi sering kali kehilangan penonton yang benar-benar hadir. Kita terlalu sibuk menjepret, mengunggah, dan menuliskan caption bijak---tanpa menyerap makna dari warnanya.
Langit tidak protes. Ia tahu, keindahan tak harus dikenal untuk terus memberi. Dan justru karena itu, ia semakin tulus.
Tempat Paling Jujur Menangis
Saat manusia bingung mencari tempat pulang, langit diam-diam menjadi ruang paling luas untuk menampung tangis yang tak bisa diceritakan. Di bawah langit yang kelabu, kita belajar arti menerima. Kadang, langit tidak memberi pelangi, tapi justru mengajarkan: hujan pun perlu turun agar beban ikut luruh.
Langit mungkin tak memberi jawaban, tapi ia menemani prosesmu hingga kamu tenang.
Menjadi Atap, Bukan Alasan Pergi
Langit adalah atap yang tidak pernah kabur. Ia bertahan, meski dilubangi pesawat, dicemari asap, dan dicueki manusia modern. Ia tidak menagih balas budi. Langit tetap biru untuk yang patah, tetap kelam bagi yang ingin menyendiri, tetap cerah bagi mereka yang ingin mulai lagi.
Dan di sanalah letak keindahannya: menjadi pelindung tanpa pamrih. Ia bukan Tuhan, bukan malaikat, tapi barangkali ia adalah cermin---tentang bagaimana kita bisa hidup lebih lapang, lebih ringan, dan lebih ikhlas.
Akhir Kata: Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Kalau langit saja bisa memberi tanpa pamrih, kenapa manusia sering menuntut balasan untuk setiap kebaikan?
Mari kita diskusi:
Pernahkah kamu merasa dihadiahi sesuatu oleh semesta, tanpa tahu siapa yang mengirimnya? Apakah itu juga bagian dari 'langit' yang bekerja?
Tulis pendapatmu di kolom komentar. Siapa tahu, dari sana kita sama-sama belajar menjadi manusia yang lebih tenang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI