Mohon tunggu...
Hendra Yohanes
Hendra Yohanes Mohon Tunggu... -

Penulis adalah seorang mahasiswa Teologi yang sebelumnya telah menyelesaikan strata 1 dalam Fisika Murni di sebuah universitas negeri.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pokemon Go: Tertenung atau Merenung?

21 Juli 2016   18:21 Diperbarui: 22 Juli 2016   13:06 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Juli 2016. Dunia dilanda oleh fenomena global. Apa lagi kalau bukan permainan mobile bernama Pokemon Go

Sejak dirilis pada 6 Juli 2016 di Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat, game ini terus meraup profit hingga memunculkan sebutan “Pokemania” bagi para penggemar game ini. Penulis menjadi begitu heran mengapa video game yang pertama kali dirilis pada Februari 1996, kini kembali popular dan bahkan melampaui pemakaian rata-rata harian Twitter, Facebook, dan Instagram [1]! Penulis mencoba memikirkan fenomena tren Pokemon Go sebagai “tertenung” dan “merenung.” Imbas masif dari game berbasis lokasi ini telah membuat para Pokemon Trainer seakan-akan “tertenung” dan membuat saya “merenung.” Berharap bulir-bulir perenungan ini cukup bernas untuk dipikirkan atau setidaknya mengusik kesenangan pembaca yang tengah larut dalam euforia pencarian Pocket Monsters.

Antusiasme Pencarian: Siapa Mencari Siapa?

Dari berbagai kesibukan dan kesenggangan, para pemain Pokemon Go tergerak untuk mencari makluk virtual yang ada di dalam realitas augmentatif (AR: augmented reality). Dengan memanfaatkan perkembangan teknologi AR yang mumpuni, game ini telah menenung jutaan orang. Game ini menghadirkan makhluk virtual Pokemon ke dalam realitas di sekitar pemain. Sederhananya, game ini menggabungkan informasi lokasi pemain yang diperoleh dengan teknologi GPS, pengenalan objek, dan menghadirkan makhluk virtual secara real-time dengan manipulasi digital. Secara interaktif, informasi virtual ditambahkan alias ditumpangtindihkan alias di-augmentasi-kan ke dunia real di mana pemain berada.

Siapa saja yang mencari Pokemon? Tua-muda, laki-perempuan, teis-ateis, lintas agama, lintas suku, lintas budaya, lintas profesi, dst. Tapi, bagaimana dengan aparat keamanan di negeri ini? Kapolri Jenderal Tito Karnavian secara resmi memberikan arahan agar para anggotanya tidak bermain Pokemon Go [2].  Mereka dikhawatirkan akan melalaikan tugas dan tanggung jawab jika dibiarkan leluasa bermain Pokemon Go. Tetapi, apakah hanya polisi yang perlu sadar akan tugas dan tanggung jawab diri? Bagaimana dengan kita? Apakah setiap kita menyadari “siapa mencari siapa” ketika memainkan game ini? Apakah yang real layak menghabiskan waktu dengan loyal untuk mencari yang virtual? Bagaimana pula dengan pencarian spiritual? Apakah yang insani mencari Yang Ilahi? Atau Yang Ilahi mencari yang insani? Di manakah keduanya bertemu di tengah-tengah realitas bahwa dosa menjadi jurang antara Yang Tak Bernoda Tak Bercela dengan yang berlumuran noda dan cela?

Virtual dan Real: Apa yang Seharusnya Dicari?


Di dalam Fisika, khususnya Optika, kata “virtual” diterjemahkan sebagai “maya” atau “semu.” Kata ini merupakan antonim dari istilah “nyata” yang merujuk pada sifat bayangan dari objek yang diletakkan di depan cermin. Pokemon Go bagaikan cermin, di mana kita mencari perenungan di balik fenomena kegandrungan game ini. Sedangkan, di dunia komputer, kata “virtual” didefinisikan dalam pengertian: disimulasikan dengan perangkat lunak komputer.

Pokemon Go pun menjadi sebuah contoh simulasi bagi keberadaan yang berbau mitos (mythical beings). Di antara yang maya dan yang nyata, kita dapat mengomparasikan ide-ide yang berseliweran di panggung sejarah perjalanan umat manusia. Bukankah Pokemonmerupakan makhluk yang dimodifikasi dari dunia mitos Jepang? Menurut seorang psikolog, Carl Jung, arketipe berupa figur-figur mythical muncul di dalam berbagai kebudayaan suku-suku bangsa di dunia [3]. Di antara berbagai macam mitos dan apa yang dianggap mitos oleh orang-orang tertentu, manakah yang diejawantahkan dalam true reality? Meminjam perkataan C. S. Lewis, sastrawan ternama sekaligus cendekiawan Kristiani, yaitu “mitos yang menjadi kenyataan” (the myth that became reality) [4]. Apakah Tuhan yang dianggap sekadar mythical being benar-benar menjadi real dalam kehidupan manusia di muka bumi ini?

Berbicara tentang objek pencarian, bagaimana dengan dunia keseharian kita? Insan dewasa hidup terbiasa mencari nafkah untuk diri dan keluarga. Insan muda bergulat dengan pencarian jati diri dan makna hidup. Insan kanak-kanak mencari kesenangan di tengah gurau dan canda, tanpa menghiraukan beban hidup. Insan tetua mencari kebakaan di balik kefanaan hidup yang telah dijalani dari dasawarsa ke dasawarsa. Ternyata manusia tanpa sadar telah menjadi “pencari” di sepanjang tahap kehidupannya. Namun, pertanyaannya: Apa objek pencarian yang cukup bernilai (worthy enough to be sought)? Sesuatu yang fana ataukah yang baka?

Sementara itu, di dalam Pokemon Go, apa yang sibuk kita cari dalam segala daya upaya yang dikerahkan? Bahkan kuota internet pun rela dibeli lebih banyak daripada biasanya demi pencarian Pokemon. Berjalan kaki tanpa memperhitungkan jauh dekat sambil pantengin hape tiada jemu. Jika kita menyadari bahwa Pokemon ini virtual, lalu mengapa kita memperlakukan seolah ini adalah real? Bahkan ironisnya, Yang Real menjadi terpinggirkan dan juga realitas-virtualitas makin menjadi kabur. Apakah Sang Sejati kini telah terganti oleh koleksi sang maya? Apakah kita membiarkan saja adiksi menelan para korbannya tanpa disadari?

Menelisik Nurani: Mengapa Kita Mencari?

Mengapa kita tertarik untuk mencari makhluk virtual ini? Berbagai macam alasan dapat diberikan. Mungkin di antaranya ialah keinginan kita untuk memiliki (desire to possess). Untuk naik level, perlu sejumlah Pokemon yang dikoleksi beserta item-item lainnya. Ketika battle dilangsungkan, keinginan untuk menang tentu bersemayam di dalam diri pemain. Mungkinkah Pokemon Go menjadi simulasi bagi pemenuhan ketamakan kita, building our pride, dan mengejar perasaan satisfied atau entertained? Semua ini mungkin saja terjadi. Tetapi, saya sama sekali tidak bermaksud bahwa setiap pemain Pokemon Go pasti tengah bermain dengan pengejaran yang demikian.

Bagaimana dengan kehidupan kita? Mengapa kita banting tulang menimbun harta? Mengapa kita menjalani hidup ini dengan cara hidup yang sedang kita jalani? Mengapa kita berjerih lelah di dalam beribadah dan beramal baik? Mengapa kita mengejar “tujuan hidup” kita? Pokemon Go yang menggunakan teknologi augmented reality merupakan simulasi dari semacam “pencarian.” Lalu, apa yang sebenarnya ada di balik “pencarian” dalam hidup keseharian kita?

Ruang: Ke mana Mencari?

Wah, di belakang pintu belakang, ada Charmander.” 

Di mana yah tempat yang ada Pokemon legendaris?

pokemon-go-legendary-pokemon-57919e86577b613310f94313.jpg
pokemon-go-legendary-pokemon-57919e86577b613310f94313.jpg
Bagaimana kalau sang maya yang dicari itu ada di kompleks militer? Kolonel M. Hasyim Lalhakim melarang warga untuk menjadikan asrama TNI dan instalasi militer sebagai arena bermain Pokemon Go [5]. Bahkan, di Istana Kenegaraan, berbagai selebaran telah ditempelkan, yang bertuliskan, “Dilarang bermain atau mencari Pokemon di lingkungan Istana” [6]. Bagaimana pula dengan tempat-tempat ibadah (religious sites)?

Baru-baru ini, seorang rohaniwan menyampaikan pada penulis bahwa ia menjumpai seorang pemuda sekitar jam 10 malam di rumah peribadatan. Pemuda ini tak dikenal oleh rohaniwan tersebut. Singkat cerita, si pemuda ditanyai sang rohaniwan dan menjawab sambil cengar-cengir, “Lagi cari pokemon, pak …” Bagi penulis, hal ini sungguh lucu. Orang bela-belain datang ke tempat ibadah hanya untuk mencari Pokemon! Ketika justru makhluk virtual yang menggerakkan langkah kaki dari raga seseorang untuk menjejakkan kaki di sekitar rumah ibadah. Kehadiran seseorang di tempat yang dianggap sakral kini digerakkan oleh motivasi yang sekular atau setidaknya oleh makhluk virtual. Ini membuat saya merenung daripada tertenung dengan fenomena ini: Apakah kehadiran saya di tempat ibadah benar-benar digerakkan oleh Real Being atau malah oleh mythical beings ataupun motivasi yang sama sekali tidak sakral?

Jika kehidupan ini diandaikan laksana “pencarian,” Ke manakah kita akan mencari? Kiranya pertanyaan ini menjadi bahan perenungan kita.

Waktu: Kapan Mencari?

Tidak heran tengah malam pun, pemain Pokemon Go rela keluar rumah. Apakah Pokemon Go sedemikian powerful dalammengontrol kapan manusia akan bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain? Kapankah terakhir kali langkah kaki kita digerakkan oleh belas kasihan bagi orang yang nyata-nyata menderita dan memerlukan bantuan? Atau kita, ironisnya, justru lebih sibuk dengan pocket monsters yang maya?

Seorang pemuda sembari bermain Pokemon Go di Auburn, NY, mengalami kecelakaan [7]. Semoga kejadian serupa tidak terulang. Adiksi mempengaruhi konsentrasi kita di dalam beraktivitas. Kepolisian Auburn pun memperingatkan agar waspada alias sadar dengan lingkungan di sekitar kita. Apakah kita makin menyadari realitas ruang dan waktu di mana kita hidup? Do we realize the reality of space-time where we live in? Atau yang virtual dan yang real kini menjadi membaur dan semakin kabur?

Kalau hidup ini diumpamakan sebagai “pencarian,” kapankah kita memulai pencarian Yang Sejati? 
Atau mungkin ... kita lebih senang larut dalam “pencarian” yang maya?

Diskusi: Bagaimana Mencari?

Pokemon Go dirancang untuk “memaksa” penggunanya keluar dari rumah, sehingga game ini menawarkan interaksi berbeda antara pemain satu dengan pemain yang lain [8]. Para Pokemon Trainer berdiskusi bagaimana mencari monster-monster virtual di dunia real di sekitar mereka. “Eh, kamu tau gak? Di dekat bundaran situ ada Eeves. Terus gereja itu Poke-stop lho…

Gamedan social media tertentu dianggap mengurung dan meng-individual-isasi para pengguna teknologi ini. Namun, kehadiran Pokemon Go membuat orang-orang berkeliaran di luar rumah (di tempat-tempat umum) dalam pencarian makhluk virtual ini. Keinginan orang-orang akan kehidupan berkomunitas akhirnya diekspresikan (homo socius). Meskipun demikian, tentu dibutuhkan komunitas yang lebih dari sekadar komunitas berdasarkan hobby pada game yang sama. Apakah dasar hidup berkomunitas yang lebih bernilai? Tentu hal ini jauh lebih berharga untuk dicari tahu dan dikejar daripada sekadar mencari makhluk virtual. Semoga diskusi yang terjadi ialah diskusi mengenai bagaimana mencari hal-hal yang bermakna baka daripada sekadar bagaimana mencari Pokemon yang diidam-idamkan.

Klimaks

Pertanyaan-pertanyaan yang menjadi judul dan kerangka dari artikel ini adalah klimaks dari artikel ini, baik bagi para Pokemon Trainer maupun bukan.

  • Pokemon Go: Tertenung atau Merenung?
  • Antusiasme Pencarian: Siapa mencari siapa?
  • Virtual dan Real: Apa yang Seharusnya Dicari?
  • Menelisik Nurani: Mengapa Kita Mencari?
  • Ruang: Ke mana Mencari?
  • Waktu: Kapan Mencari?
  • Diskusi: Bagaimana Mencari?

Jawaban yang kita berikan atas semua pertanyaan ini menjadi cerminan diri kita di hadapan fenomena Pokemon Go yang lagi booming ini di dalam realitas ruang dan waktu di mana kita menjalani kehidupan sebagai pencarian Sang Ilahi.

========

Sumber [1] 

Sumber [2] 

Sumber [3]. Sebuah kamus daring mendefinisikan “archetype” sebagai “gagasan yang tanpa sadar diwarisi secara kolektif, pola pemikiran, gambar, dlsb. yang secara universal hadir dalam tiap jiwa-jiwa perseorangan” (terjemahan penulis dari http://www.dictionary.com/browse/archetype). Saya tidak menyatakan bahwa saya menyetujui pemikiran Jung, baik sebagian maupun keseluruhan.

Sumber [4] 

Sumber [5] 

Sumber [6] 

Sumber [7] 

Sumber [8]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun