Keharuan pada momen-momen wukuf itu karena tetiba teringat Ibunda di Tanah Air yang sedang dirawat di Rumah Sakit. Selama wukuf itu hanya panjatan doa-doa terbaik untuk Ibunda dengan penuh rasa rindu dan haru.Â
Entah mengapa ada perasaan yang berbeda saat teringat Ibunda. Teringat waktu pamit ketika mau berangkat haji, sebuah firasat seakan itu adalah perjumpaan terakhir.Â
Beliau hanya berpesan agar melakukan ibadah dengan sungguh-sungguh hanya kepada Allah. Jagalah setiap perbuatan, baik ucapan lisan, perasaan hati maupun segala tindakan.Â
Jika air mata ini tidak terasa terurai di pipi, maka itu adalah ungkapan rasa cinta yang mendalam untuk Ibunda yang tengah menderita sakit parah.Â
Ketika TakdirNya menjemput Ibunda, maka tidak ada cara terbaik yang harus dilakukan seorang hamba yang pasrah kepada keputusanNya.Â
Sesungguhnya kita berasal dari Allah dan kembali kepada Allah. Firasat waktu berangkat itu ternyata terbukti nyata. Ya Allah Engkaulah Yang Maha Memiliki ketika mengambil Ibunda adalah HakMu, maka hamba hanya mampu berserah diri.Â
Menuju Muzdalifah dan MinaÂ
Usai melakukan wukuf di Arafah, para jemaah serentak bergerak menuju Muzdalifah untuk mabit dan mengambil batu kerikil yang nanti digunakan dalam ritual melempar jumroh di Jamarat.Â
Kegiatan melempar jumroh tersebut dimulai dengan melempar ke tiang batu yang disebut Jumrah Aqobah. Jumroh Aqabah memiliki makna simbolis sebagai perlawanan terhadap godaan setan, yang dilakukan dengan melemparkan kerikil sebanyak tujuh kali.Â
Melempar Jumrah Aqobah ini dilaksanakan pada hari 10 Zulhijah setelah tengah malam. Nabi Muhammad SAW melaksanakan lempar jumroh Aqobah pada waktu Dhuha sehingga banyak para jemaah melakukanya pada waktu tersebut yang menyebabkan kepadatan jemaah di Jamarat.Â
Bagi jemaah haji yang ingin menghindari risiko berdesak-desakan, maka lakukanlah melempar jumroh Aqobah pada waktu setelah Subuh atau tengah malam usai beristirahat di Muzdalifah,Â