Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan dan sejak 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer

Kakek yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dialog Singkat di Kantin Kampus Jatinangor

23 September 2020   16:37 Diperbarui: 23 September 2020   20:58 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto Pixabay

Memang kadang-kadang wanita itu sulit diduga. Walau hanya sekedar ingin tahu, bagaimana perasaan hatinya, sedang sedih ataukah gembira. Apalagi menduga perasaan cintanya.

Sejak pertemuan terakhir di Bandung itu, Kinanti Puspitasari sudah jarang berkomunikasi denganku. Sudah hampir sebulan berlalu dan Kinanti hanya dua kali menghubungiku melalui ponselnya.

Itupun hanya berkaitan dengan urusan diskusi mengenai Penelitian di Kampusnya. Selebihnya tidak pernah lagi berbicara urusan pribadi.

Sebenarnya semakin jarang berkomunikasi, maka semakin baik baginya dan bagiku tentunya. Kinanti bisa fokus mempersiapkan pernikahannya yang hanya tinggal sebulan lagi dari sekarang. 

BACA JUGA : Fragmen Satu Babak

Bulan depan Kinanti Puspitasari sudah menjadi istri Eko Priotomo. Saat-saat seperti ini bagaimana sebenarnya yang kurasakan.

Hati yang hampa? Hanya karena tiadanya cinta dari dambaan hati selama ini? Hati terasa hampa, kosong akibat dari kesendirian? Entahlah.

Aktivitasku hari ini benar-benar super sibuk. Menjadi Penguji dalam ujian skripsi beberapa Mahasiswa S1.

Lalu setelah jam istirahat, meeting di Gedung Rektorat sampai sore.  Acara tersebut adalah pembahasan program fakultas dan rencana kerja sama penelitian dengan Perguruan Tinggi di Indonesia.

Kesibukan-kesibukan seperti itu ternyata tidak juga mampu menghilangkan rasa kesendirianku. Aku tetap merasa sepi dalam kesibukan yang padat sekalipun.

Aku di ruang kerjaku masih termangu. Memegang ponsel sambil membaca berulang-ulang pesan melalui ponsel dari Kinanti tempo hari.

"Kadang aku merasakan cintamu seperti yang pernah kau katakan dulu padaku. Kadang pula aku ingin meraih cintamu itu namun aku menyadari aku tidak layak menerima cintamu karena ada cinta yang jauh lebih luhur untukmu yaitu cinta Daisy Listya"

Mungkin hanya kalimat-kalimat ini yang sekarang bisa menghiburku. Bagiku ini sangat berharga karena aku bisa merasakan ternyata Kinanti juga mencintaiku.

Hanya saja Kinanti merasa tidak layak cintanya harus disamakan dengan cinta Daisy Listya yang dianggapnya jauh lebih tulus dan lebih luhur daripada cintanya.

Namun apakah mungkin aku masih bisa meraih cinta Daisy Listya? Jelas tidak mungkin. Sebenarnya yang paling mungkin adalah aku bisa meraih cinta Kinanti Puspitasari.

Tapi kenapa Kinanti masih juga tidak mau membuka hatinya untukku? Terakhir aku ketahui bahwa Intan, putrinya lebih merestui diriku sebagai teman hidupnya namun kenapa Kinanti memilih Eko?

Dalam dua hari ini aku kembali berada di Bandung. Menjadi Pembicara dalam Seminar Farmasi Universitas Pajajaran di Jatinangor.

Aku teringat kalau Intan sekarang kuliah di Kampus ini. Mumpung aku masih ada di sini, maka kucoba menghubunginya melalui nomor selulernya.

"Hallo! Om Alan," suara seorang gadis menjawab panggilan ponselku.

"Intan bagaimana kabar?"

"Alhamdulillah baik Om. Bagaimana dengan Om Alan sendiri? Kok lama gak pernah telpon ke Bandung?" Mendengar ini aku hanya tertawa.

"Sekarang Om Alan justru sedang di Bandung bahkan sedang di Kantin Fakultasmu," kataku.

"Ah jangan bercanda Om. Aku kepingin ketemu. Tunggu disitu ya Om."

Suara Intan penuh rasa gembira. Hanya beberapa menit aku lihat Intan memasuki Kantin Kampus dan langsung menuju mejaku.

"Assalaamu alaikum Om Alan!" Sapa gadis cantik ini.

"Wa alaikum salaam. Silahkan duduk Intan!"

Aku lama tidak berjumpa dengan Intan. Kecantikan ibunya tampak sekali ada dalam diri gadis berusia 19 tahun ini.

Terutama matanya yang indah. Wajah oval dibalut jilbab dengan hidung bangir dan bibir selalu penuh dengan senyum. Sungguh Intan Permatasari adalah gadis penuh pesona.

Intan bagiku seperti Kinanti muda. Melihat Intan aku jadi teringat Kinanti. Anak gadis Kinanti ini benar-benar mewarisi semua kecantikan ibunya termasuk kecerdasannya.

"Om Alan sudah kangen Intan," kataku sungguh sungguh.

"Kangen aku, apa kangen Ibu?" Goda Intan sambil tertawa.

Ketika Intan bertanya ada urusan apa aku berada di Kampusnya. Aku menjelaskan, sedang ada acara Seminar selama dua hari ini.

"Oh ya bagaimana Ibu, baik-baik? Persiapan pernikahannya lancar-lancar saja?"

Aku memang sengaja bertemu Intan hanya ingin mencari kabar tentang Kinanti, Ibunya. Sambil berharap semua rencana pernikahannya berjalan lancar.

"Iya Om mudah-mudahan lancar. Sedang mencetak Undangan tapi belum selesai." Jawan gadis yang memancarkan pesona luar biasa ini. "Tapi Om Alan, "lanju Intan. "Akhir-akhir ini Ibu sering murung. Aku tidak berani bertanya," suara Intan pelan.

"Mungkin bukan murung. Ibumu sedang fokus memikirkan acara pernikahan itu," kataku mencoba menetralkan anggapan Intan.

"Om, pernah suatu hari Ibu bertanya padaku. Apakah Ibu pantas menerima cinta Om Alan. Lalu aku menjawab tentu saja Bu. Namun aku jadi heran yang terjadi Ibu malah menerima lamarannya Om Eko," kata Intan lagi.

Mendengar ini aku terdiam. Aku yakin Kinanti memang mencintaiku apalagi jika membaca untaian kalimat di ponsel itu isinya sudah bernada mengutarakan cintanya.

Memang kadang-kadang wanita itu sulit diduga. Begitu sulit diduga, walau hanya sekedar ingin tahu bagaimana perasaan hatinya sedang sedih ataukah gembira. Apalagi menduga perasaan cintanya.

"Hei Om Alan, kok melamun?" Suara Intan mengagetkanku. Aku hanya tersenyum.

"Oh ya Om, apakah Ibu tahu sekarang Om Alan sedang ada di Bandung?"

"Tidak Intan. Ibumu tidak tahu. Sengaja tidak memberitahu Ibu. Takut mengganggu kesibukannya," jelasku. Intan hanya mengangguk tanda setuju.

Dialog kecil di sebuah Kantin Kampus itu bagiku sangat berarti. Banyak informasi tentang Kinanti yang aku dapat dari Intan.

Ada hal yang menarik dalam pertemuan di Kantin itu, ketika kami berpisah Intan masih sempat berkata kepadaku.

"Om Alan, tetap semangat dong. Cinta sejati harus diperjuangkan," kata Intan sambil tersenyum menawan.

Aku tertawa mendengar kata-kata itu.  Akhirnya kamipun berpisah diujung pintu Kantin itu.

Sejak dialog kecil di Kantin Kampus tiga hari yang lalu itu rupanya komunikasi dengan Intan semakin sering saja.

Pembicaraan yang diceritakan Intan adalah seputar kemurungan Ibunya dan persiapan pernikahannya. Setiap malam ada saja yang diceritakan Intan melalui ponselnya.

Kadang-kadang aku sendiri yang sengaja telpon Intan untuk mengetahui situasi terkini tentang Kinanti.

"Om, aku pernah cerita kepada Ibu, bahwa lelaki yang cocok untuk Ibu itu hanya Om Alan. Aku juga bilang bahwa Om Alan pantas menjadi Ayahku," kata Intan suatu malam ketika kami berbincang.

"Oh begitu lalu bagaimana jawaban Ibumu?" Tanyaku penasaran.

"Ibu menjawab bahwa Ibu tidak layak menerima cinta Om Alan. Karena ada wanita lain yang cintanya lebih luhur dan tulus, begitu kata Ibu."

Mendengar cerita itu aku hanya terdiam. Rupanya Kinanti tetap sangat menghormati Daisy Listya.

Padahal Listya sendiri rela jika aku menjadi suami Kinanti. Oh Tuhan harus bagaimana aku menghadapi dua wanita luhur budi ini.

Faktanya aku harus merelakan mereka menikah dengan pilihannya masing masing. Listya sudah menjadi istri Rizal Anugerah dan Kinanti sebentar lagi menjadi istri dari Eko Priotomo.

Aku tidak tahu rahasia Tuhan. Terbukti ada tiga wanita yaitu Diana Faria, Daisy Listya dan Kinanti Puspitasari. Namun ketiganya belum diizinkan Allah untuk menjadi teman hidupku.

Mereka adalah wanita-wanita pilihanNya yang sangat istimewa dalam hatiku. Sementara usiaku semakin lama semakin menuju ujung hari senja.

Tetap optimis dalam menjalani hidup ini. Aku jadi ingat kata-kata Intan ketika bertemu di Kantin itu. "Om Alan tetap semangat dong. Cinta sejati harus diperjuangkan."

Malam itu aku baru saja selesai mengoreksi beberapa skripsi dan masih sedang membaca sebuah thesis S3 ketika tiba-tiba Intan menelponku. Ada berita yang sangat penting sekali.

"Om Alan maaf Intan telpon malam-malam begini karena ada berita yang tidak menggembirakan." Kata Intan gusar di ujung telpon.

"Ada berita apa Intan?" Tanyaku penasaran.

"Ibu membatalkan pernikahannya dengan Om Eko!" Jelas Intan.

"Apa yang terjadi dengan Ibumu?"

"Ceritanya panjang Om. Ibu sekarang masih menangis di kamarnya," kata Intan.

Aku sebenarnya ingin bicara dengan Kinanti namun saat ini bukan saat yang tepat untuk bicara dengannya.

"Om Alan mau menolong Intan?" Tanya Intan.

"Tentu saja mau tapi maksud Intan bagaimana?"

"Temui Ibu di Bandung dan Om Alan harus bisa membuat Ibu tidak bersedih karena peristiwa ini." Kata Intan.

"Baik Intan. Hanya saja masih belum mengerti kenapa pernikahan ini harus dibatalkan." Tanyaku masih keheranan.

"Menurut Ibu ada pihak yang berhianat dan Ibu menyaksikannya sendiri penghianatan itu."

"Ibumu menyaksikan sendiri apa yang terjadi dengan penghianatan itu?" Tanyaku.

"Biar nanti saja ceritanya Om," kata Intan.

"Oke Intan besok pagi Om Alan ke Bandung tapi apakah Ibumu mau bertemu dengan Om Alan," kataku ragu.

"Tentu saja mau Om. Ini saja Intan disuruh Ibu untuk telpon Om Alan," kata Intan.

Batalnya pernikahan Kinanti jujur saja membuat hati merasa lega. Apakah itu artinya aku kembali memiliki harapan terhadap Kinanti? Belum tentu.

Aku hafal betul siapa Kinanti Puspitasari. Wanita tangguh yang sangat sukar ditundukkan. Bagiku cinta wanita itu harus diperjuangkan sepenuh hati.

Semakin sulit perjuangan itu maka semakin tinggi mutu dari cinta yang aku peroleh karena cinta dengan mutu tinggi tidak mudah untuk didapatkan.

"Om Alan tetap semangat dong. Cinta sejati harus diperjuangkan."

Inilah kata-kata Intan Permatasari, putri Si Mata Wayang Kinanti yang membuat aku kembali bersemangat untuk mengejar cintaku yang hilang.

@hensa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun