Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan dan sejak 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer

Kakek yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Harapan Kandas Dosen Jomblo

28 Januari 2020   14:13 Diperbarui: 7 November 2020   14:06 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Instrumen Analisis Kimia (Foto Dokumen Hensa)

Allah aku tidak mengerti dibalik maksudMu mengirimkan dia padaku? Apakah Kau juga mau mengizinkanku untuk memilikinya? Ataukah ini hanya ujian bagiku agar aku segera tergugah untuk mengikuti sunah NabiMu, menikah. Walaupun ternyata bukan dengan Daisy Listya. Lalu dengan siapa? Aku hanya berpasrah diri kepadaMu.

Rutinitas mengajar seperti biasa aku jalani sebagai sebuah pengabdian. Hari ini hari Jumat, berarti Listya sudah tiga hari ini mengerjakan sampel-sampel penelitiannya. Sehabis memberikan kuliah untuk mahasiswa semester 6, aku menyempatkan diri berkunjung ke Laboratorium HPLC di Gedung sebelah Timur.

BACA JUGA : Masih Ada Cinta di Ruang Hampa

Laboratorium ini ada di lantai 2 khusus untuk kegiatan praktikum mahasiswa dengan menggunakan instrumen laboratorium yang mutakhir seperti HPLC, GC, TLC-Densitometer, IR-Spectrophotometer, GC-Mass Spectrophotometer. Ruangannya luas, dikelilingi jendela kaca lebar yang terbuka sehingga segala kegiatan di dalamnya bisa dilihat dari luar.

Sore itu hampir semua kegiatan praktikum sudah selesai sekitar pukul 15.00 WIB tadi. Aku baru memiliki waktu untuk mengunjungi Listya walaupun sudah sesore ini mudah-mudahan Listya masih berada disana.

Aku menaiki tangga satu demi satu untuk menuju ke lantai 2. Dari koridor setelah pintu masuk aku dapat melihat melalui jendela berkaca lebar, Listya sedang asyik bekerja dengan alat analisa HPLC. Balutan jilbab di wajahnya justru menambah aura kecantikannya semakin bercahaya. Ada juga dua mahasiswa lain di ruangan Spektrofotometer yang bersebelahan, juga sedang bekerja menyelesaikan penelitian skripsi mereka.

Beberapa saat aku berdiri disitu menikmati wajah Bidadari itu. Dalam hati aku berbisik. Ya Allah aku belum habis mengerti yang sebenarnya dibalik maksudMu mengirimkan dia padaku? Apakah Kau juga mau mengizinkanku untuk memilikinya?

Ataukah ini hanya ujian bagiku agar aku segera tergugah untuk mengikuti sunah NabiMu. Menikah walaupun ternyata bukan dengan Daisy Listya. Lalu dengan siapa? Aku hanya berpasrah diri kepadaMu.

Entah sudah berapa lama aku berdiri di situ dan memang Laboratorium di lantai dua itu sudah tutup kecuali Laboratorium HPLC. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara yang memanggilku.

"Hai! Pak Alan lagi ngintip ya," suara seorang gadis mengagetkanku. Ternyata dia adalah Amelia, teman akrab Daisy Listya yang tiba-tiba saja sudah berdiri di situ. Biasanya Listya selalu ditemani Amelia pada saat mereka bekerja di laboratorium. Demikian pula sebaliknya. Mereka memang bersahabat dan mereka juga sama-sama menjadi mahasiswa tingkat skripsi bimbinganku.

"Amel! Bikin kaget saja kamu ini, mau jemput Listya ya?" Tanyaku.

"Bukan. Saya mau pamit pulang duluan. Oh iya apakah pak Alan mau ketemu Listya? Kebetulan Pak, tolong bisa temani Listya ya."

Lalu Amelia menemui Listya. Mereka kelihatan berbincang-bincang. Akupun akhirnya masuk juga menemui mereka.

"Terima kasih Pak. Mau menemani saya," kata Listya tersenyum sambil memandang ke arahku.

"Lis, tadi Pak Alan ngintip kamu lho," kata Amelia. Mendengar seloroh Amel aku hanya tertawa untuk menghilangkan kegugupanku. Aku tetap berusaha untuk tenang. Bidadari itu hanya tersenyum mendengar selorohan Amelia.

Selama ini Amelia memang sering berseloroh dan menyindir-nyindir seperti itu.  Tampaknya Amelia tahu gelagat bahwa aku menyukai Daisy Listya.

"Tak usah didengar Lis omongan Amel. Masa saya ngintip melalui kaca jendela sebesar ini. Padahal kalau mengintip kan harus melalui lobang yang kecil misalnya lobang kunci," kataku sambil tertawa yang sebenarnya agak gugup juga kepergok ngintip. Mendengar penjelasanku, Amelia dan Listya juga tertawa.

Tidak begitu lama, Amelia berpamitan, pergi meninggalkan kami. Masih ada beberapa sampel lagi yang belum di inject. Sambil menunggu running kami mulai mengobrol.

Tadinya aku bingung dari mana aku mulai bercerita. Hanya beberapa saat saja kebingungan itu terjadi. Akhirnya kalimat demi kalimat terucap dengan lancar dari relung hatiku seakan aku berada pada peristiwa yang terjadi hampir 20 tahun yang lalu. Maka cerita tentang Diana Faria akhirnya usai juga.

Kini ada rasa lega dalam dadaku ketika cerita itu bisa juga diucapkan didepan Daisy Listya. Aku melihat raut wajah Listya melukiskan kesedihan setelah mendengar ceritaku.

"Saya turut berduka Pak. Walaupun sekarang sudah terlambat 20 tahun yang lalu. Bapak sangat mencintai mbak Diana Faria?" Pertanyaan Listya ini sebenarnya tidak perlu. Karena dia pasti tahu bagaimana perasaanku kepada Diana Faria.

"Ya begitulah tapi ternyata Allahlah yang memilikinya. Saya sendiri kadang-kadang heran mengapa kita harus saling memiliki kalau pada akhirnya harus kehilangan?" Kataku penuh emosional.

Daisy Listya masih terdiam. Wajah teduhnya tetap tenang. Kutunggu tutur kata apa yang nanti keluar dari bibir yang indah itu. Hening beberapa saat lalu aku mendengar ucapan pelan dari bibir gadis cantik ini.

"Kita sebenarnya tidak pernah memiliki apapun maka oleh sebab itu kita tidak pernah kehilangan apapun. Hanya Allah Yang Maha Memiliki!" Katanya.  

Singkat dan jelas kalimat yang diucapkan Listya. Kalimat itu sangat bijak dan memiliki arti dalam. Aku benar-benar terdiam dan terpaku dalam ketermenunganku.  

Daisy Listya adalah gadis yang istimewa. Jika berbicara, tutur katanya sangat ramah dan santun. Walaupun periang tapi bukan berarti banyak bicara dan berlebihan, bahkan dia hanya berbicara hal-hal yang perlu saja. Setiap perbincangan dengannya selalu saja ada pembicaraan yang mengandung hikmah kebaikan.

Aku semakin merasa nyaman berada di sisi gadis ini. Terutama dengan yang dikatakan Listya baru saja sangat membuka pintu hati yang seakan selama ini terkunci rapat. Harus aku sadari bahwa aku tidak pernah memiliki apapun maka akupun seharusnya tidak pernah kehilangan apapun. Selama ini aku telah membuang waktu hamper 20 tahun hanya karena merasa kehilangan Diana Faria.

"Pak sudahlah lupakanlah yang telah lalu. Lebih baik melihat hari esok!" Kembali kata gadis itu memberikan dukungan kepadaku.

"Oke Listya. Terima kasih, kata-katamu tadi benar-benar sangat menyentuh." Kataku masih dalam kekaguman dengan apa yang dikatakan Listya.

Rasanya aku seperti baru tersadar dari mimpi berkepanjangan. Mimpi adalah mimpi yang tetap menjadi sia-sia karena bukan alam nyata. Aku harus membuka lembaran baru.

"Sebenarnya beberapa bulan ini ada seseorang yang telah mampu mencairkan kebekuan hati selama 20 tahun." Tetiba saja aku berkata jujur kepada Listya.

"Wah bagus dong Pak. Berarti Bapak sudah mulai bisa move on. Siapa gadis yang beruntung itu?"

"Ya benar Lis. Dia adalah seorang gadis yang sangat aku kagumi. Dia memang bukan Diana Faria tapi dia adalah orang yang telah kembali membuat hidupku menjadi semangat penuh gairah. Dia yang telah mampu menyentuh hatiku seperti Diana Faria dulu." Kataku menjelaskan dengan kalimat yang meluncur begitu saja.

Tiba-tiba saja aku tersadar sebenarnya hal tersebut tidak perlu dikatakan kepada Listya. Maka buru-buru aku meminta maafnya karena sangat emosional.

"Tidak apa-apa Pak Alan. Sebaiknya Bapak harus mengeluarkan seluruh perasaan.  Jangan didiamkan saja. Saya juga bersyukur jika Bapak sekarang sudah menemukan orang yang telah membuat Bapak merasa bersemangat kembali." Kata Daisy Listya sambil memandangku diiringi senyumnya yang menawan.  

"Ya Lis terima kasih.  Oke tidak terasa hari sudah sore begini."

"Betul Pak, kita harus segera pulang!" Ajak Listya.

"Sebaiknya Listya pulang bareng saya. Kostnya dimana?"

"Karang Menjangan. Tetapi masuk gang. Nanti berhenti di depan gang saja. Terima kasih Pak." Ujar gadis anggun yang ramah ini sambil tersenyum.

Sore itu kami meninggalkan laboratorium HPLC dan seperti permintaan Listya mobilku berhenti di depan gang lalu Listya pun pamit kepadaku, tersenyum sambil melambaikan tangan.

Mobil Kijang Kapsulku kembali meluncur di jalan Kota Surabaya yang padat dengan kendaraan pada sore hari itu. Terutama sepeda motor yang memenuhi jalan. Mereka adalah para karyawan pabrik yang pulang kerja sore itu.

Dari arah Kertajaya aku meluncur lurus menuju jalan Dr Sutomo tidak berbelok ke arah jalan Darmo. Sengaja aku menggunakan Tol Dalam Kota sehingga langsung bisa masuk akses Mesjid Al-Akbar. Jalur ini bisa lebih cepat dan menghemat waktu untuk menuju Menanggal, tempat kediamanku.  

Hari itupun terasa begitu panjang namun ada rasa lega ketika aku ingat bahwa Daisy Listya sudah tahu semuanya tentang Diana Faria.

Sejak pertemuan di Laboratorium HPLC itu, aku hampir dua pekan tidak bertemu dengan Daisy Listya. Dua hari sebelumnya Listya menyerahkan hasil revisi skripsi yang terakhir untuk kutanda tangani. Setelah aku menyetujui skripsinya maka Listya bisa mengikuti sidang skripsi pada awal November ini.

Akhirnya tiba juga hari sidang skripsi itu. Ada tiga Profesor termasuk aku dan dua orang Doktor yang menguji Daisy Listya. Gadis cantik ini begitu tenang menjawab semua pertanyaan para Penguji. Ruang ujian skripsipun tidak membuat gadis itu menjadi gugup dan tegang.

Para Penguji terkesan dengan semua jawaban Listya. Aku juga merasa bangga ketika hasil ujian skripsi Listya mendapat nilai A. "Lis! Selamat ya. Perjuanganmu sudah membawa hasil. Saya turut gembira dan bahagia!" Mendengar ucapanku, Listya balik mengucapkan terima kasih dengan wajah yang berbinar penuh kebahagiaan.

Sejak bertemu di Ruang Ujian skripsi itu selanjutnya aku sudah tidak pernah lagi bertemu dengan Daisy Listya. Seakan itulah pertemuan terakhir dengannya. Entah kemana gadis itu seolah menghilang.

Setelah hampir dua pekan tidak bertemu Daisy Listya maka kesempatan bertemu dengannya terbuka. Pada hari wisuda ini, aku berharap bisa bertemu Daisy Listya. Upacara wisuda itupun berjalan dengan lancar sejak dimulai dari pukul 8.00 WIB. Mahasiswa dengan wajah-wajah begitu gembira merayakan kelulusan mereka bersama orang-orang tercinta.

Di halaman luas di depan Aula itu aku berusaha mencari sosok yang selama ini kurindukan yaitu Daisy Listya. Tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggilku. Aku menoleh ke arah suara panggilan itu. Aku melihat Daisy Listya bersama kedua orang tuanya dan seorang lelaki di sampingnya. Siapa dia?

"Listya selamat sudah lulus!" Aku mengucapkan rasa gembira sambil menjabat tangannya.

"Terima kasih Pak Alan. Atas bimbingan Bapak, akhirnya saya lulus." Suara Listya terdengar penuh haru.

"Alhamdulillah. Semua itu hasil jerih payah dan perjuangan Listya yang tidak kenal lelah. Saya hanya membantu saja. Listya lulus karena memang cerdas." Kataku berusaha menjelaskan bahwa peranku sebagai pembimbngnya hanya sekedar membantu.

"Terima kasih Pak. Oh ya perkenalkan. Ini Ayah, Ibu dan ini Mas Rizal calon suami saya!" Kata Daisy Listya sambil memperkenalkan orang-orang yang ada di sampingnya. Aku mengangguk ramah dan sambil tersenyum menyambut jabatan tangan mereka.

Ketika mendengar kata calon suami, maka tiba-tiba saja rasa hatiku seperti hancur berkeping-keping. Aku harus tegar menghadapi kenyataan ini. Mereka berpamitan namun Listya masih sempat berkata padaku, "Pak Alan. Jangan lupa undangannya jika nanti menikah dengan gadis yang telah menggugah hati Bapak."

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum dengan perasaan hampa. Daisy Listya pun pamit meninggalkan harapanku yang terhempas kandas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun