Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan dan sejak 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer

Kakek yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Hari Pernikahan Itu

3 Agustus 2019   21:26 Diperbarui: 3 Agustus 2019   22:10 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gelombang tinggi (Foto Philip Stephen/Satumaluku.id) 

Ruangan itu tertata rapi dengan hiasan dekorasi yang sederhana namun membuat suasana sejuk dan khusyu.  Tamu yang datang hampir sebagian besar adalah kerabat dari kedua belah pihak. Ada juga tamu undangan yaitu teman-teman dekat Aini termasuk aku dan Alan Erlangga. 

Acara khitbahnya sendiri dikemas dengan sangat sederhana namun tidak mengurangi kekhusuan dari inti khitbah itu sendiri. Kulihat Aini Mardiyah begitu cantik dengan wajah yang memancarkan aura kebahagiaan. Di sampingnya, Mohammad Iqbal begitu gagah, terkesan diam namun penuh wibawa. 

Sungguh mereka adalah pasangan yang ideal.  Pada akhir acara aku menyampaikan ucapan selamat kepada mereka berdua.

"Aini dan Iqbal selamat ya!" kataku sambil menyalami mereka. Aini dan Iqbal hanya tersenyum sambil mengucapkan terima kasih hampir berbarengan. 

Saat aku berpamitan pulang Aini kembali mengucapkan kata-kata "Hensa terima kasih ya," dengan wajah berbinar. Wajah cantiknya, senyum dan tatapan dari mata yang indah itu benar-benar penuh dengan kebahagiaan. Dalam hatiku hanya berbisik , selamat berbahagia Aini.

Hari-hariku kembali pada rutinitas sebagai asisten praktikum kimia yang sebenarnya sangat menjemukan. Semester ganjil ini tinggal sepekan lagi. Pada hari-hari kedepan aku pasti sudah sibuk mempersiapkan bahan bahan untuk ujian praktikum. 

Kesibukanku kali ini juga semakin bertambah karena harus melakukan penelitian untuk skripsi di laboratorium sebagai tugas akhir. Untuk itu kadang-kadang setiap hari Minggu aku harus mengerjakan penelitian di laboratorium. 

Hari-hari lain biasanya aku melakukan pekerjaan penelitian ini selepas asistensi praktikum sehingga sudah beberapa pekan terakhir ini selalu pulang hampir larut malam. 

Semua ini aku lakukan karena aku punya target tahun ini harus sudah di wisuda. Wah hebat dan mantap. Aku benar-benar harus kerja keras.

Baca Juga : Seusai Praktikum Kimia

"Hensa! Ini aku datang siap jadi asisten laboratorium penelitianmu," suara Aini memecah kesunyian laboratorium sambil menghampiriku. Aku tersenyum menyambut Aini.

"Hai calon mempelai masih berani berkeliaran. Seharusnya kamu dipingit tidak boleh keluar kamar!" kataku berseloroh. 

Memang Aini setelah resmi menerima khitbah, bulan depan akan segera melangsungkan pernikahannya dengan Iqbal.

"Sekarang sudah bukan zamannya lagi pingit-pingitan!" suara Aini protes.  Aku hanya tertawa mendengar protes gadis cantik ini.

"Masih banyak sampelnya?" tanya Aini.

"Lumayan banyak Aini. Terutama sampel untuk analisis protein masih harus preparasi dulu" kataku.

"Siap Bos !" kata Aini sambil mengenakan jas laboratorium lalu menuju meja tempat preparasi sampel. Aku hanya tertawa melihat tingkah Aini.

Sejak acara khitbah Aini pada Ahad dua pekan yang lalu itu, aku sudah mampu lagi berpijak dalam dunia nyata bukan lagi dunia awang-awang. Aku sudah bisa dan mampu  memposisikan hatiku hanya sebagai sahabat Aini. 

Padahal sejak berpisah dengan Erika, gadis ini adalah sahabat pada saat kapan saja aku membutuhkan ketenangan. Ya Aini Mardiyah adalah sahabat yang istimewa dalam hidupku. 

Lebih istimewa lagi karena Aini adalah sahabat dekat Erika Amelia Mawardini. Aini selalu ada di sisiku saat keterpurukkanku. Dialah gadis yang berhasil membuatku selalu berusaha melihat ke depan. 

Hampir saja aku mulai berfikir bahwa Aini adalah calon teman hidupku yang mampu menggantikan Erika. Saat itu banyak rindu-rindu yang tak jelas menghampiriku. 

Rupanya rindu yang  tak jelas itu baru terjawab menjadi rindu yang jelas ketika Senin sore itu kembali Aini menemaniku menyelesaikan pekerjaan penelitianku di laboratorium dengan membantu analisa vitamin. Entah mengapa hari itu aku begitu bahagia melihat Aini. Kecantikan gadis ini memang membuat hati ini menjadi tentram.

Namun faktanya gadis itu memang bukan jodohku seperti halnya Erika. Aini sudah menerima khitbah Iqbal. Saat ini fokus menyelesaikan studiku menjadi prioritasku. 

Sisihkan saja dulu masa lalu atau keinginan dan harapan baru kepada seseorang. Apalagi Aini sudah menerima khitbah dari Mohammad Iqbal, seorang lelaki baik yang setara dengan gadis seperti Aini. 

Iqbal adalah seorang pria baik, ramah dan penuh tanggung jawab. Seorang mahasiswa fakultas kedokteran sebuah Perguruan Tinggi Negeri terkenal. Saat ini Iqbal sedang menempuh program internship atau magang dokter baru di sebuah kabupaten daerah terpencil Nusa Tenggara Timur.

"Saat acara khitbah itu, Mas Iqbal esoknya sudah kembali menyelesaikan program magangnya di NTT," kata Aini suatu hari ketika aku berbincang dengannya saat di laboratorium.

"Aini, Iqbal magangnya di daerah terpencil ya?"

"Untuk menuju ke sana harus menggunakan kapal kecil dari ibu kota provinsi!"

"Wah mengarungi laut harus melihat kondisi cuaca ya!"

"Iya padahal di perairan sana sering terjadi badai!"kata Aini penuh rasa khawatir.

Hanya tinggal sebulan lagi program itu bisa dirampungkan. Aku tidak tahu dimana dan kapan mereka saling mengenal. Aini dan Iqbal merupakan pasangan yang sangat ideal. Aku suka melihat mereka bersanding penuh dengan rasa bahagia. Pasangan yang harmonis.

Aku sendiri mencoba menawarkan apa saja yang bisa aku bantu dalam persiapan pernikahan Aini Mardiyah.

"Aini, aku siap menerima tugas apa saja untuk sukses acara pernikahanmu dengan Iqbal!" kataku. Mendengar ucapanku, Aini hanya tertawa.

"Lho kok kamu tertawa. Bener nih aku siap membantumu dalam persiapan sebulan ini!" kataku berusaha meyakinkan Aini.

"Iya Hensa, aku berterima kasih atas kesedianmu. Semua persiapan sudah aku serahkan kepada Wedding Organizer. Kamu siap saja nanti datang pada akad nikah dan resepsi!" kata Aini penuh dengan rasa bahagia. Ya aku melihat wajah Aini begitu bahagia menghadapi pernikahannya. Berbahagialah Aini.

"Atau aku jadi pendamping mempelai wanita ?" kataku bercanda. 

Kembali Aini tertawa renyah. Tawa kebahagiaan bagi seorang gadis yang sedang menghadapi hari yang paling ditunggu dalam hidupnya.

"Hensa menjadi tamuku saja dan kutunggu ucapan dan doa yang tulus agar aku dan Iqbal bahagia sampai lanjut usia!" suara Aini kali ini penuh dengan keharuan. Aku memandangnya tak berkedip.

"Aku jadi teringat Erika," kata Aini pendek namun bagiku nama itu sudah merupakan kalimat yang panjang sama dengan masa masa panjang bersama Erika. Aku juga heran kenapa Aini jadi teringat Erika.

"Kenapa kamu jadi teringat Erika?"

"Iya aku selalu berharap kamu bersama Erika berbahagia seperti yang aku rasakan saat ini. Maafkan aku Hensa!" suara Aini pelan. Aku sejenak terdiam namun segera harus mengakhiri suasana tidaknyaman ini.

"Ah sudahlah Aini. Sekarang ini kita harus bersyukur bahwa hari pernikahanmu dengan Iqbal tinggal menghitung pekan saja..ya tinggal sebulan lagi!" kataku dengan nada gembira. Berhasil, kulihat Aini kembali tersenyum.

"Aku baru ingat malam ini harus menyelesaikan daftar nama-nama untuk undangan agar besok sudah bisa tahu jumlahnya sebelum ke percetakan."

"Aku boleh membantumu, " kataku sambil memandang gadis yang aku kagumi ini. Aini hanya mengangguk sambil tersenyum tanpa menjawab pertanyaanku.

"Nanti malam kutunggu di rumah ya Hen" kata Aini.

"Baik Bu Iqbal",selorohku.

"Hai aku belum jadi nyonya Iqbal!" kata Aini protes sambil tertawa.

Persiapan demi persiapan sudah diselesaikan oleh Aini. Aku bisa tahu semua progresnya karena Aini selalu bertemu saat membantuku di laboratorium. Tentu saja semua persiapan pernikahannya selalu diceritakan kepadaku.

"Mas Iqbal sore ini sudah meninggalkan kota kabupaten menuju Kupang menggunakan kapal feri. Mudah-mudahan cuacanya baik."

"Ya Aini mudah-mudahan cuacanya bersahabat. Bogor saja masih hujan setiap hari," kataku kepada Aini. 

Bulan Desember memang penuh dengan hari-hari hujan apalagi kota Bogor memang Kota Hujan. Cuaca di beberapa daerah Indonesiapun masih banyak prakiraan hujan bahkan di Indonesia Timur di sertai dengan badai.

"Kapan rencana dari Kupang ke Jakartanya?" tanyaku.

"Besoknya pake penerbangan paling pagi. Insya Allah sorenya sudah tiba di Bogor," suara Aini nadanya penuh dengan kerinduan ingin segera bertemu dengan Iqbal Sang Pujaan Hati.

"Aini sudah kangen ya?" kataku menggoda.

"Siapa yang kangen? Ya pasti dong," kata Aini dengan wajah memerah jambu tanda rasa malu. Cantik sekali aku melihat wajah Aini saat merona merah jambu menahan rasa malu.

"Sudahlah Hensa. Ayo selesaikan pekerjaan analisa hari ini, " seru Aini sambil bergegas membawa sampel-sampel menuju ruangan Instrumen Analisa. 

Aku hanya tertawa melihat Aini salah tingkah. Melihat aku tertawa masih sempat Aini melempar pandangan mendelik sambil bibirnya pura-pura cemberut.   

Sementara itu di luar awan mulai membuat kota Bogor menjadi gelap dan hujan sudah mulai turun deras. Hingga pekerjaan analisa di laboratorium usaipun hujan masih belum reda. 

Aini menawarkan agar aku pulang bersamanya menggunakan mobilnya dan motorku dititipkan saja di parkiran kampus, namun aku lebih baik menunggu hujan reda. Aini akhirnya meninggalkanku sendirian di laboratorium yang sudah mulai sepi.

Hujan baru reda sehabis adzan Isya berkumandang. Aku baru meninggalkan laboratorium setelah selesai sholat Isya. Sebenarnya saat aku keluar dari tempat parkir motor masih ada gerimis tersisa namun aku meneruskan niatku untuk pulang apalagi perut sudah mulai lapar. 

Seperti biasa aku mampir di sebuah warung makan di komplek Ruko itu. Pengunjungnya malam itu cukup ramai juga mungkin karena hujan sehingga banyak diantara mereka yang masih tertahan di warung itu. 

Tapi sebenarnya warung itu cukup ramai karena masakannya cukup enak dan harganya terjangkau untuk kalangan mahasiswa.

Mengambil tempat duduk yang langsung berhadapan dengan Televisi yang sedang menyiarkan talk show tentang topik perseteruan KPK vs Polri. 

Ah tidak begitu menarik dialog mereka para pengamat itu sungguh sangat membosankan. Akhirnya akupun asyik melahap santap malam pesananku. 

Sesekali saja mataku menikmati acara televisi itu bukan karena menarik topiknya tapi menarik karena pembawa acaranya yang wajahnya cantik agak mirip mirip Erika. 

Ha ha ha memang payah aku ini rupanya tidak bisa move on walaupun sudah berkali-kali Aini selalu mengingatkanku bahwa hidup ini harus bergerak ke depan jangan mundur ke belakang. 

Aku masih menikmati hidangan makan malamku ketika mataku tertuju pada running text  yang menarik perhatian tertera di televisi tersebut.

Sebuah kapal Feri tujuan Kupang tenggelam dihantam badai di perairan Nusa Tenggara Timur karena cuaca buruk.

Kapal Feri?. Kenapa tiba-tiba saja aku teringat Iqbal calon suami Aini Mardiyah. Bukankah sore tadi Iqbal ada di kapal Feri itu menuju ke Kupang seperti diceritakan Aini?. 

Oh apakah ini kapal Feri yang ditumpangi oleh Iqbal. Ya Allah mudah-mudahan bukan kapal Feri yang ditumpangi Iqbal. Sudahlah aku harus membuang fikiran yang tidak enak itu. 

Tapi ketika aku kembali melihat running text di Televisi itu ada rasa yang tidak bisa aku jelaskan. Apa yang terjadi dengan Iqbal?. Mudah-mudahan dia selamat.

Malam itu aku benar-benar tidak bisa tidur. Walaupun sebenarnya rasa lelah sudah begitu mendera tubuh ini namun mata ini begitu susahnya terpejam. 

Bahkan jam di dinding kamarku sudah menunjukkan pukul 00.00 dini hari masih juga belum mampu membuat mataku terpejam. 

Malam begitu hening dan ketika telpon selulerku berbunyi rasanya aku seperti mendengar suara ledakan bom yang dasyat. Aku semakin terkejut dan berdebar ketika aku tahu yang menelpon itu adalah Aini Mardiyah. Oh Tuhan.

"Hensa..., Mas Iqbal, Mas Iqbal," suara Aini terbata-bata ditengah-tengah tangisnya. Selanjutnya aku hanya bisa mendengar tangisan duka Aini yang sangat menyayat hati. 

Aku hanya bisa mencoba menghiburnya agar Aini tetap sabar dan ikhlas walaupun aku tahu itu tidak mudah. Memang benar Takdir Tuhan itu tidak bisa terelakkan jika Dia sudah menghendaki. 

Apakah benar jika dibalik semuanya itu ada rencana terbaikNya untuk Aini?. Aku harus membenarkannya karena yakin bagaimanapun Allah sebaik-baik Perencana dan sebaik-baik Penentu.

Bandung 1 Maret 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun