"Masak di antara bambu yang tumbuh di sekitar ini nggak ada satu pun bambu petung", tanyaku dengan penasaran.
"Yang ada di sekitar kita ini, namanya 'bambu apus' Sam. Bedanya dengan bampu petung, hanya dari segi kekuatan dan kekokohan saja. Cuma, yaa bagus juga sih. Kalau hanya untuk sekedar buat lincak. Cuma itu tadi, soal kekuatan memang nggak sebagus bambu petung. Oh yaa, bisa itu juga, buat gedek dan anyaman. Biasanya warga sini ada manfaatin buat itu." Jawab Cak Soe dengan sabar.
"Terus yang 'bambu nori' tadi gimana?" tanyaku lagi.
Sambil berjalan Cak Soe menjelaskan, "Di Penjalinan sini mereka menyebutnya 'bambu nori' Sam. Cuma setauku bahasa populernya 'bambu ori atau bambu berduri'. Itu kualitasnya di bawah bambu petung dan bambu apus", jawabnya, melanjutkan "Bambu nori, kalau di Penjalinan sini, banyak. Termasuk di dekat kebunku juga ada."
"Berarti sedikit loh manfaatnya" gumamku.
"Ya banyak Sam manfaatnya. Tergantung kegunaan dan kebutuhan" balasnya singkat. Kemudian, tak berapa lama setelah bincang-bincang, Cak Soe spontan mengumam,
"Nah itu dia, itu. Yang kita cari".
Langkahnya semakin cepat, aku pun mengikutinya. Cak Soe mendekati bambu yang begitu kokoh menjulang tinggi. Kulihat wajahnya yang mendadak serius. Bola matanya mengisyaratkan ada sesuatu yang tersembunyi. Kemudian,
Cak Soe memberitahukan, ini yang namanya bambu petung. Nampak batangnya lebih besar dan kokoh hingga menjulang tinggi. Dari sini sudah terlihat beda dengan bambu apus.
Setelah memberitahu dan sedikit penjelasan. Cak Soe memutuskan untuk menebang 2 batang bambu saja. Menurutnya 2 batang sudah cukup untuk membuat lincak.
Ranting-ranting hasil penebangan bambu petung, kemudian dirapikan dan diikat olehnya. Kata dia, lumayan untuk tambah-tambah bahan bakar masak di tungku api.