***
Sore yang dinanti telah tiba. Dengan antusias, Paimin bergegas menuju rumah Surti sambil membawa sebuah kado permintaan istimewa sang pujaan hati. Sebentuk cincin emas bermata merah.Â
Demi membuktikan rasa cinta dan kesungguhan, Paimin telah menyisihkan sebagian uang gajinya untuk membeli kado itu selama beberapa bulan ke belakang. Dia pandangi cincin emas bermata merah  yang tampak lebih berkilau di bawah cahaya lampu.Â
"Alhamdulillah, akhirnya apa yang aku impikan terwujud juga," gumamnya sambil tersenyum-senyum sendiri. Tidak pernah dia merasa menjadi laki-laki yang paling jantan seperti saat ini sebelumnya.Â
"Paimin, kamu segera menikah tahun ini !" pekik gembira memenuhi ruang hati Paimin yang berbunga-bunga laksana berada di taman surga. Segera dia mengambil motor jadul kesayangan dan bergegas menuju rumah Surti.
Tiupan angin senja seolah tidak membuat Paimin menyerah dari rasa dingin yang mulai menggoda. Memakai kemeja batik warna biru muda, Paimin mengemudikan motornya dengan agak sedikit cepat. Tanpa jaket pun, dia merasa badannya sudah cukup terlindungi dari cuaca dingin saat itu. Baginya, hari ini adalah hari teristimewa dalam hidupnya.
Sosok Surti telah mengubah sejarah hidup Paimin. Semula, dia hanyalah pemuda yang pendiam dan tidak terlalu bisa bergaul dengan wanita. Namun, sejak kehadiran Surti, Paimin merasa memiliki semangat tersendiri terutama dalam hal karirnya sebagai tenaga pengajar honorer.
Surti gadis desa yang lugu dan sederhana. Bayangkan saja, sebagai gadis tercantik di desa, banyak para pemuda yang ingin menjadikannya istri. Mulai dari anak lurah, anak tuan tanah, hingga duda petani yang paling sukses di desanya tidak berhasil menambatkan hatinya pada gadis itu.
Paimin, pemuda desa yang paling beruntung. Hanya bermodal sebentuk cincin emas bermata merah ini, dia akan segera memiliki si Surti secara lahir dan batin. Matanya berbinar-binar. Rona muka bahagia seolah tidak sabar lagi membayangkan saat yang paling indah itu.
"Calon manten ...calon manten...," sayup-sayup bunyi gesekan daun yang tertiup hembusan angin seakan berteriak mengucapkan kata-kata itu di sepanjang perjalanan yang dia lalui.
Dari kejauhan, rumah Surti mulai tampak. Dengan dada yang semakin berdegup kencang, Paimin berusaha untuk mencoba menenangkan diri. Optimis. Sesekali, mulutnya terlihat komat-kamit mengucapkan doa, berharap dapat berbicara secara lancar ketika berhadapan dengan orang tua Surti, calon mertuanya nanti.