Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan hal-hal berikut:
a. Untuk mengetahui wujud alih kode campur kode pada mahsiswa yang berbahasa Jawa dan mahasiwa yang berbahasa Sunda.
b. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya alih kode campur kode pada mahasiswa yang berbahasa Jawa dan mahasiswa yang berbahasa Sunda.
D. Kajian  Teoritik
a. Sosiolinguistik
Manusia merupakan makhluk sosial. Manusia dalam kehidupan sehari-hari tidakterlepas dari kegiatan sosial, bermasyarakat. Kegiatan sosial tersebut dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya ialah berkomunikasi. Komunikasi merupakan kegiatan penyampaian informasi yang dilakukan dengan sengaja yang medianya  adalah bahasa (Yule, 2015: 17).
Sosiolinguistik mengkaji penggunaan bahasa di dalam masyarakat. Ditinjau dari nama, sosiolinguistik menyangkut sosiologi dan linguistik, karena itu sosiolinguistik mempunyai kaitan erat dengan kedua kajian tersebut. Sosio adalah masyarakat dan linguistikadalah kajian bahasa. Jadi, sosiolonguistik adalah kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan (Sumarsono, 2014: 1).
b. Bilingualisme atau Kedwibahasaan
Masyarakat Indonesia pada umumnya memiliki kemampuan menggunakan dua bahasa atau lebih. Mereka menguasai bahasa pertama dan bahasa Indonesia ataupun sebaliknya dalam penggunaannya di masyarakat tutur. Penggunaan kedua bahasa ini dilakukan secara bergantian. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa masyarakat tersebut mengalami kedwibahasaan. Kedwibahasaan atau bilingualisme adalah penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau suatu masyarakat (Kridalaksana, 2008:36).
Chaer dan Agustina (2010: 84) mengatakan bahwa kedwibahasaan atau bilingualisme merupakan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa.Kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih  secara bergantian (Weinreich dalam Aslinda dan Syafyahya, 2014: 23). Kedwibahasaan merupakan pemilikan kemampuan menggunakan dua bahasa, sedangkan pengguna dua bahasa ialah dwibahasawan atau bilingual. Seseorang yang terlibat dalam praktik penggunaan dua bahasa secara bergantian merupakan dwibahasawan (Weinreich dalam Aslinda dan Syafyahya, 2014:26). Tahu akan dua bahasa atau lebih merupakan bilingual atau dwibahasawan (Haugen dalam Chaer dan Agustina, 2010: 86).
Berdasarkan paparan para ahli di atas mengenai batasan kedwibahasaan, maka peneliti mengacu pada batasan yang dipaparkan oleh Macmanara yakni kepemilikan kemampuan sekurang-kurangnya dua bahasa pada seseorang serta kemampuan B2 tidak harus sebaik kemampuan B1. Batasan tersebut dinilai menghimpun dan memperjelas batasan dari para ahli yang lain, yakni penggunaan dua bahasa dan penggunaannya digunakan secara bergantian. Sedangkan dwibahasawan merupakan pemilikkan kemampuan menggunakan dua bahasa atau lebih.