Keprihatinan Gereja Terhadap Krisis Ekologis
Gereja semakin menyuarakan keprihatinannya terhadap krisis ekologis global. Dalam Ensiklik Laudato Si’ (2015), Paus Fransiskus membuka pesannya dengan sebuah keprihatinan yang mendalam: “Saudari ini (bumi) sekarang menjerit karena segala kerusakan yang telah kita timpakan padanya, karena penggunaan dan penyalahgunaan kita yang tidak bertanggung jawab atas kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya.” (LS 2). Bumi, yang adalah rumah kita bersama, sedang tidak baik-baik saja. Ekosistem dunia menghadapi ancaman serius akibat eksploitasi berlebihan, perubahan iklim, pencemaran air dan udara, serta kehilangan keanekaragaman hayati.
Delapan tahun setelah diterbitkannya Ensiklik Laudato Si’ Paus Fransiskus menyadari “bahwa tanggapan kita belumlah memadai, sementara dunia tempat kita hidup sedang menuju keruntuhan dan mungkin mendekati titik puncaknya” (LD 2). Inilah yang melatarbelakangi Paus Fransiskus menerbitkan Seruan Apostolik Laudate Deum (2023). Paus Fransiskus mengingatkan bahwa dampak perubahan iklim akan semakin merugikan kehidupan banyak orang dan keluarga. Dengan tegas Paus Fransiskus mengungkapan bahwa manusialah penyebabnya. Tidak hanya Paus Fransiskus, para pendahulunya seperti Paus Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI juga mengingatkan akan pentingnya perlindungan terhadap ciptaan.
Akar Krisis Ekologis
Berdasarkan Laudato Si’ dapat dipahami bahwa akar masalah krisis ekologis bukanlah bersifat teknis atau ilmiah semata, tetapi berakar pada cara pandang manusia terhadap dunia, dirinya sendiri, dan Tuhan. Krisis ekologis berasal dari krisis moral, spiritual, dan struktural yang lebih dalam. Paus Fransiskus menyoroti beberapa hal. Pertama, terkait dengan antroposentrisme modern yang sesat dan dominasi paradigma teknokratis. Antroposentrisme modern merupakan cara pandang manusia yang menempatkan dirinya sebagai pusat dan penguasa atas alam semesta. Pandangan ini menyebabkan menusia seolang-olah berhak menguasai dan mengeksploitasi alam. Sementara itu, paradigma teknokratis yang mendominasi dunia modern memperlakukan alam sebagai objek yang dapat dikuasai tanpa mempertimbangkan keterkaitan yang mendalam antar mahluk ciptaan. Kedua, menguatnya budaya konsumerisme berlebihan dan budaya ‘membuang’ yang mempercepat krisis ekologis. Ketiga, krisis ekologis menunjukkan rusaknya relasi antara manusia dengan ciptaan yang pada dasarnya mencerminkan rusaknya ralasi manusia dengan Allah. Keempat, hilangnya dimensi etika dan spiritual dalam memperlakukan ciptaan.
Dalam konteks Etika Lingkungan, akar krisis ekologis sejalan dengan pemikiran Arne Naess dalam bukunya Ecology, Community and Lifestyle, khususnya ketika ia mengangkat gagasan Deep Ecology. Deep Ecology, baik sebagai paham filosofis (yang oleh Arne Naess disebut Ecosophy) maupun sebagai gerakan, pada dasarnya melihat bahwa kerusakan lingkungan terkait erat dengan cara manusia melihat diri sendiri dalam relasi dengan alam yang antroposentris. Manusia modern telah menjauh dari rasa keterhubungan dengan alam dan justru memandang alam sebagai objek konsumsi. Lingkungan alam tidak dianggap memiliki nilai intrinsik dalam dirinya (1989: 23-34). Dengan kata lain akar krisis ekologis adalah cara pandang manusia yang keliru tentang posisinya di dunia dan hubungannya dengan ciptaan dan Allah.
Menghadapi krisis ekologis ini, Gereja mengajak umat beriman untuk melakukan pertobatan ekologis. Melakukan pertobatan berarti melakukan sebuah perubahan hati dan pola hidup yang lebih selaras dengan kehendak Allah atas ciptaan. Meminjam rumusan Laudato Si’ bertobat secara ekologis berarti membiarkan seluruh buah perjumpaan mereka dengan Yesus Kristus berkembang dalam hubungan mereka dengan dunia di sekitar mereka. Menghayati panggilan untuk melindungi karya Allah adalah bagian penting dari kehidupan yang saleh, dan bukan sesuatu yang opsional atau aspek sekunder dalam pengalaman kristiani. (LS, 217)
Menjadikan Keluarga sebagai rumah pendidikan spiritualitas ekologis.
Menginisiasi pertobatan ekologis dalam keluarga merupakan sebuah langkah yang penting dan tepat. Hal ini terkait dengan usaha bagaimana menanamkan atau membentuk hati dan pola hidup keluarga yang lebih selaras dengan kehendak Allah atas ciptaan. Keluarga menjadi rumah pendidikan spiritualitas ekologis bagi para anggotanya yang perlu dilakukan sedini mungkin. Seperti yang disampaikan Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Familiaris Consortio, keluarga merupakan lingkungan pembinaan pertama dan paling mendasar bagi hidup bermasyarakat. (FC, 37). Di sinilah peran orang tua sebagai pendidik menjadi kunci. Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama. Tugas mendidik ini berakar dalam panggilan suami-istri untuk berperan serta dalam karya penciptaan Allah (FC, 36). Memang, sebagaimana yang disampaikan Paus Fransikus dalam Laudato Si’, Pendidikan ekologis dapat terjadi dalam berbagai konteks: sekolah, keluarga, media komunikasi, dan lain-lain. Namun demikian ia menekankan penting dan sentralnya peran keluarga. Keluarga adalah tempat pembinaan integral, di mana pematangan pribadi dikembangkan dalam pelbagai aspeknya yang saling berkaitan. (LS, 213).
Keluarga dipanggil untuk menanamkan dan membentuk spiritualitas ekologis dalam kehidupan mereka. Senafas dengan spiritualitas ekologis, Arne Naess, dalam bukunya Ecology of Wisdom, merekomendasikan apa yang disebutnya sebagai gaya hidup yang sejalan dengan gerakan ekologi dalam (2008: 140-141). Vatikan sendiri (dalam hal ini adalah Dicastery for Promoting Integral Human Development) meluncurkan Laudato Si' Action Platform. Platform ini menyediakan sumber daya konkret dan terencana untuk membantu individu, keluarga, komunitas, dan organisasi dalam mengambil tindakan nyata untuk melindungi bumi sebagai rumah bersama.
Upaya dan langkah kongkret