Mohon tunggu...
Hendra Purnama
Hendra Purnama Mohon Tunggu... Freelancer - Seniman yang diakui negara

Penulis yang tidak idealis, hobi menyikat gigi dan bernapas, pendukung tim sepakbola gurem

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Surat Untuk Lee

20 November 2022   05:16 Diperbarui: 20 November 2022   18:59 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lee, kusertakan sebuah gambar buram yang pasti membuatmu terpingkal-pingkal. Pada suatu titik di kejauhan ada seseorang memegang gitar, sendirian.

Baiklah, itu aku, dan kau tahu aku tidak bisa bermain gitar. Jadi mungkin ada pertanyaan aneh yang keluar darimu, apa yang aku lakukan dengan gitar itu? Atau mungkin tepatnya sedang apa aku disitu? Entahlah, siang itu aku hanya memetik sembarang senar-senar gitar, mendengarkan nada acak yang keluar, menikmati pantai yang terbentang. Sendirian.

Saat itu aku memikirkan banyak hal. Memikirkan teman-teman yang hanya berjarak puluhan langkah dariku---mereka akan menjelajah gua-gua---memikirkan pantai yang terlalu putih dan terlalu sepi, memikirkan angin yang sedikit tidak nyaman, memikirkan sakit kepalaku, memikirkan dirimu. Mengapa kamu tidak datang padahal kamu mengatakan sudah sampai di... terminal? Seharusnya kamu datang dan melihat betapa konyolnya seorang yang tidak bisa bermain gitar tapi berpose seolah dirinya maestro gitar.

Tapi tak apa, biarlah aku bercerita saja. Meski aku bukan pencerita yang baik tapi aku ingin membagi apa yang kulihat disana. Ketika matahari sedikit bergeser dari titik tengah, betapa pasir putih itu berkilauan. Aku memandanginya dan merasakan cahaya pasir jauh bergerak menerangi sekitar. Cahayanya jatuh pada pohon yang daunnya lebat, monyet-monyet yang berpapasan, tanduk rusa yang meranggah ke udara, perempuan ungu yang tengah bersin---dia cantik, kata bung Alit---lalu perempuan itu mungkin mengucapkan doa singkat, seorang dosen bertopi yang selalu mengigaukan teori linguistik dalam tidurnya, perempuan kuning yang mengirim SMS padaku---dia menyuruhku menutup pintu, sialan betul!---,rumput yang tipis, pagar kayu seperti dalam peternakan kuda, papan petunjuk dan larangan memberi makan monyet (seolah monyet itu bisa mencari makan sendiri), dinding kayu rumah tinggal, kibar jemuran celana dalam entah milik siapa...

Aku ingin meneleponmu Lee, tapi aku tak bisa, tak ada sinyal masuk ke telepon genggamku, entah kenapa. Padahal aku ingin berbagi cerita ini, seperti sahabat lama. Seperti saat ku melihatmu pertama kali, dengan seragammu yang serba merah, dengan kulitmu yang putih dan berjerawat, dengan wajahmu yang... jelek! (Aku ingin bercanda, tapi kamu memang jelek Lee...). Apa kabar istrimu? Perempuan yang akhirnya bisa kau tipu (Sekali lagi, aku ingin bercanda, tapi kamu memang pandai membuat perempuan mabuk dan tertipu...)

Maka kali ini biarlah aku menuliskannya saja semuanya, mungkin memang harus begitu sebab suara tidak menimbulkan jejak kecuali jika kamu merekamnya. Sementara tulisan suka tidak suka akan terus terkenang dan bisa ditarik sembarang waktu manakala kita saling rindu. Aku kadang merindukanmu Lee, meski kelamin kita hampir sejenis (punyaku lebih besar, punyamu lebih putih). Maksudku, ternyata rindu tidak terkait dengan bentuk kelamin.

Ah, lupakan soal kelamin! Aku hanya ingin mengenang sesuatu kala sendirian, memandangi teman-teman yang mulai bergerak meninggalkanku di pondokan kayu, ditemani semesta yang terpapar sejauh mataku mampu merekamnya. Begini kenangan itu datang: di sebuah panggung, pada jeda antar lagu, ketika di pertengahan lagu orang-orang beranjak pergi (aku tahu kita memang jelek dan lagu kita tidak bisa dinikmati, tapi muka kita memang setebal kulit badak waktu itu!). Saat itu aku sudah ingin pergi, harga diri tercabik---sebab mukaku tak sebadak mukamu---tapi urung demi melihatmu masih meraung di panggung, berekspresi seolah tidak terjadi apa-apa, aku berpikir andaikan ada asap muncul tentu aksimu terlihat lebih heroik sekaligus menyembunyikan fakta bahwa kursi penonton telah kosong (Tapi sialan betul, kita selalu bernyanyi di tempat yang tak berasap, asap rokok sekalipun!)

Ketika akhirnya kita turun panggung, aku bertanya mengapa kamu tidak peduli pada penonton yang pergi? Kamu menjawab singkat, "Karena harus ada yang melakukannya...". Aku tidak yakin kamu ingat, tapi aku selalu ingat kalimat itu. Dan kini kalimat itulah yang membuatku sendirian memetik gitar dengan nada tak jelas.

Ya, harus ada yang melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil agar yang besar menjadi lancar. Aku tidak ingin membanggakan diri Lee, tapi kalimat anak pemilik penginapan ketika aku kan pulang sedikit menohok: "Kamu yang paling rugi datang ke sini, ini pantai, tapi dua hari di sini kamu hanya diam di kamar saja!"

Lee, barangkali kamu dengan ringannya akan berkata bahwa aku tidak usah peduli dengan kalimat itu. Apakah arti sebuah kalimat yang menggores perasaan kecuali fakta bahwa ada yang berubah tentang sudut pandang pemilik perasaan? Ah, kalimatku membingungkan, jadi lebih baik tak usah dipikirkan.

Tapi sudahlah Lee, memang faktanya aku bertekun diam di kamar membereskan data-data ketika sebagian teman kita pergi mencari jalur yang tepat untuk memeriksa gua, dan kesendirianku di penginapan terpencil dalam gambar itupun semata-mata karena aku merasa perlu ada yang menjaga barang-barang (kau tahu, hari itu ada kehilangan!) juga mencetak beberapa piagam penghargaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun