Tatkala Sekutu telah memasuki wilayah Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945, suasana di seluruh kota semakin memanas. Lantaran banyak informasi yang beredar, bahwa kedatangan mereka ke Bandung bukan hanya mengurus tawanan perang, melainkan untuk menjajah kembali Indonesia. Terlebih berbagai pertempuran di utara Jawa Barat sudah tersiar dengan cepat dikalangan pejuang.
Hal ini diperkuat dengan kabar terjadinya pelucutan senjata di berbagai daerah Jawa Barat lainnya. Para pejuang yang dalam status siaga tentu saja merespon kehadiran mereka (Sekutu) dengan penuh persiapan dan kewaspadaan.Â
Senjata-senjata yang telah dimiliki banyak yang kemudian disimpan/sembunyikan, bila sewaktu-waktu terjadi penggeledahan.
Nah, benar saja. Pasukan Sekutu yang datang dibawah komando Mc. Donald, hari itu juga langsung menyisir area Bandung utara untuk melakukan pelucutan senjata. Secara tegas, pasukan Sekutu menindak dan menangkap para pejuang yang kedapatan membawa senjata di ruang publik. Selain itu, interogasi pun dilakukan untuk mencari tahu kekuatan bersenjata dari para pejuang.
Bukan hanya kepada para pejuang, intimidasi juga ditujukan terhadap rakyat. Pasukan Sekutu kerap menakut-nakuti bahwa akan terjadi pertempuran besar bila tuntutannya tidak dituruti oleh Pemerintah Republik di Bandung.
Tetapi bukan respon positif yang didapat oleh Sekutu, melainkan tantangan. Seluruh badan perjuangan rakyat seketika langsung melakukan konsolidasi antara satu dengan yang lainnya. Berikut pula dengan pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dibawah komando A.H. Nasution. Sepertinya ini yang menjadi pelengkap betapa hebatnya perlawanan dari para pejuang di Bandung kelak.
Di lain pihak, sebuah kesatuan tentara perempuan pun dibentuk untuk melengkapi unsur perjuangan semesta. Sosok Sumarsih Subiyati menjadi tokoh dibalik pembentukan organisasi perempuan pejuang bernama Laskar Wanita Indonesia (Laswi). Seperti yang dikisahkan dalam buku "Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi '45", karya Irna H.N. Hadi Soewito.
Laswi pun didirikan pada tanggal 12 Oktober 1945 di Bandung. Para kombatan perempuan yang tergabung, lantas diberikan pelatihan kemiliteran dasar disertai berbagai teori dan siasat bertempur. Mereka ini dilatih oleh pejuang dari TKR, dan badan perjuangan lain. Selain itu, mereka dibekali dengan pelatihan sebagai anggota Palang Merah yang bertugas di garis depan.
Walau ada diantaranya yang dibekali dengan pelatihan intelijen, dengan tujuan mampu menyusup ke wilayah musuh. Banyak kisah yang kemudian dapat diangkat dari peristiwa Bandung Lautan Api, dan kontribusi Laswi dalam peristiwa tersebut kelak. "Maung bikang", adalah julukan bagi perempuan pejuang Laswi.
Para anggota Laswi ini terdiri dari para perempuan-perempuan muda, janda, atau ibu rumah tangga yang sedia lahir batin berjuang demi amanat menjaga kemerdekaan Indonesia.Â
Mungkin tujuannya satu, yakni, mereka tidak mau bila anak-anaknya kelak lahir dan berkembang dibawah penjajahan bangsa asing.
Maka, jangan ditanya soal militansinya. Pokoknya gak kalah sama pejuang lain yang selalu didominasi oleh laki-laki. Kelak, di suatu peristiwa, para perempuan pejuang inilah yang sangat ditakuti oleh tentara Gurkha. Mereka bisa tiba-tiba berubah menjadi mode beserk ketika berada di garis depan, atau bahkan ketika berhasil menyusup ke daerah lawan.
Beberapa aksi mereka justru membuat bulu kuduk berdiri, dimana seorang pejuang perempuan bernama Willy, membawa bagian tubuh seorang Gurkha untuk diberikan kepada komandannya. Tidak ada rasa takut sedikitpun ketika berada di medan juang, seperti yang dikisahkan oleh Sumarsih Subiyati.
Walau adakala sisi kewanitaan keluar ketika dalam suasana pertempuran, ketika dalam peristiwa pengungsian penduduka Bandung ke wilayah Majalaya. Anak-anak kecil yang terpisah dari keluarga, kerap digendong dengan kain, sampai tiba di lokasi pengungsian. Dimana sebenarnya tugas mereka adalah mengamankan perjalanan dari para pengungsi.
Area Ciparay yang kala itu dijadikan lokasi dapur dan logistik bagi para pejuang pun tak luput dari aksi mereka. Tugas distribusi makanan dan bahkan amunisi juga menjadi tugas utama selain bertempur dan mengurus korban perang.Â
Ada suatu kisah yang menceritakan, bahwa salah seorang Laswi sampai rela berdandan layaknya orang gila hanya demi melintasi pos penjagaan Belanda.
Hal ini sesuai instruksi dari A.H. Nasution kala itu, bahwa harus tetap ada para pejuang yang menyusup ke Bandung utara untuk melakukan sabotase dan bertugas sebagai informan. Bayangkan, rata-rata para spy ini adalah para pejuang perempuan. Selain itu, mereka yang diamanatkan kerap menyamar sebagai tukang jamu, pedagang, petani, dan bahkan penduduk setempat.
Nah, disini kita bisa sama-sama ketahui. Bahwa apa yang diperjuangkan oleh kaum perempuan kala itu sudah sepatutnya dapat kita kisahkan kini. Khususnya bagi para pejuang wanita, yang rela angkat senjata dan berjuang di garis depan.Â
Fyi, beberapa waktu kemudian, berdiri pula Laskar Puteri Indonesia di Solo. Mereka sama-sama bergerak dalam bidang kemiliteran perempuan.
Sekiranya inilah yang kelak menjadi cikal bakal tentara perempuan Indonesia. Organisasi militer yang terdiri dari perempuan dan terkoordinasi dengan TKR secara langsung.
Walau kemudian dibubarkan usai kedaulatan Indonesia diakui secara de facto dan de jure. Tetapi tidak bubar, melainkan dilebur menjadi satu kesatuan langsung dibawah TNI.
Masa bersiap tentu akan panjang dikisahkan dalam berbagai kisah pertempurannya. Sedianya, berbagai kiprah perempuan Indonesia pun jangan sampai luput dari perhatian bila kita membahas soal masa-masa perjuangan. Semoga bermanfaat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI