Mohon tunggu...
Helen Tuhumury
Helen Tuhumury Mohon Tunggu... Dosen Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Pattimura

Quiet but an easy going person

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Masa Depan Bukan Daging, Tapi Ulat dan Jangkrik

25 Mei 2025   19:29 Diperbarui: 26 Mei 2025   12:37 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aneka menu serangga goreng di Talad Rod Fai Train Night Market, Bangkok, Thailand, Minggu (4/8/2019). Di Thailand, serangga goreng menjadi camilan yang dianggap sehat. | KOMPAS/RYAN RINALDY

Bayangkan suatu hari Anda duduk di restoran dan disodori menu dengan pilihan: "Nasi goreng jangkrik, sate ulat sagu, atau burger protein serangga." Apa reaksi pertama Anda? Jijik? Penasaran? Atau justru tertarik?

Meski terdengar eksotis (atau bahkan ekstrem) bagi sebagian orang, serangga sebagai makanan bukanlah hal baru. Di berbagai belahan dunia, seperti Meksiko, Thailand, dan Papua, serangga telah lama menjadi bagian dari kuliner tradisional. Tapi kini, mereka bukan lagi sekadar makanan etnik, serangga mulai dilirik sebagai solusi global untuk krisis pangan dan perubahan iklim.

 Serangga di pasar UK. Sumber: news.sky.com
 Serangga di pasar UK. Sumber: news.sky.com

Makanan Masa Depan: Lebih dari Sekadar Daging

Krisis iklim, melonjaknya populasi, dan terbatasnya sumber daya mendorong ilmuwan dan pelaku industri untuk mencari solusi pangan yang lebih berkelanjutan. Di tengah pencarian itu, muncul pertanyaan besar: dari mana kita akan mendapatkan sumber protein yang cukup di masa depan?

Jawabannya tak selalu daging sapi atau ayam. Saat ini, alternatif seperti jamur, mikroalga, dan serangga muncul sebagai solusi yang lebih efisien, ramah lingkungan, dan tak kalah bergizi.

Sate ulat sagu. Sumber: rri.co.id
Sate ulat sagu. Sumber: rri.co.id

Mengapa Serangga?

Dibandingkan dengan sapi atau ayam, serangga punya banyak keunggulan:

  • Tinggi protein, rendah emisi: Kandungan protein ulat dan jangkrik bisa menyaingi daging sapi, tapi dengan jejak karbon yang jauh lebih kecil.

  • Efisien dalam penggunaan lahan dan air: Serangga bisa dibudidayakan di ruang kecil dan tidak butuh air sebanyak ternak.

  • Daur ulang limbah organik: Beberapa jenis serangga bisa dibesarkan dengan limbah sayur dan sisa makanan.

Menurut FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia), lebih dari 2 miliar orang di dunia sudah mengonsumsi serangga. Jadi, mungkin bukan mereka yang aneh, tapi kita yang belum terbiasa. (Baca: fao.org)

Jamur dan Alga: Rival Sehat di Atas Piring

Tentu, tidak semua orang langsung siap menyantap jangkrik goreng. Bagi yang masih ragu, jamur dan mikroalga bisa jadi "pintu masuk" yang lebih mudah diterima.

Jamur tak hanya kaya akan vitamin B dan serat beta-glukan, tapi juga punya tekstur yang mirip daging --- menjadikannya bahan favorit dalam produk vegan. Sementara itu, mikroalga seperti spirulina dan chlorella mengandung protein lengkap, mudah dibudidayakan, dan tidak memerlukan lahan luas.

Pasta spirulina. Sumber: algavenice.com
Pasta spirulina. Sumber: algavenice.com

Kini banyak produk kreatif bermunculan: dari sosis jamur dan mie spirulina, hingga bakso serangga dan granola dengan taburan jangkrik. Kreativitas kuliner semakin menggoda, bukan?

Mana yang lebih kaya protein?

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Jijik atau Belum Terbiasa?

Respons "jijik" terhadap serangga sering kali lahir dari kebiasaan dan persepsi budaya. Di beberapa negara, serangga sudah menjadi makanan biasa. Belalang panggang populer di Meksiko, larva lebah disantap di Jepang, dan di Indonesia sendiri, ulat sagu serta belalang goreng punya penggemar setia.

Sayangnya, di kota-kota besar, stigma masih mengakar: serangga dianggap menjijikkan, kotor, bahkan berbahaya. Padahal, dalam bentuk olahan seperti tepung jangkrik atau bar energi, bentuk asli serangga sudah tidak terlihat. Yang tersisa hanyalah kandungan gizinya.

Regulasi dan Tantangan Industri

Meski menjanjikan, jalan menuju konsumsi serangga secara massal tidak tanpa hambatan. Ada sejumlah tantangan yang harus dijawab:

  • Keamanan pangan: Serangga dapat memicu alergi, terutama bagi mereka yang alergi terhadap udang dan kerang.

  • Labelisasi yang jelas: Konsumen harus tahu bahan yang mereka konsumsi, terutama jika mengandung serangga.

  • Standar produksi: Industri budidaya serangga memerlukan regulasi soal sanitasi dan etika.

Di Indonesia sendiri, regulasi tentang pangan berbasis serangga masih belum spesifik, meskipun secara tradisional sudah lama dikonsumsi di berbagai daerah.

Menu Masa Depan: Siapkah Kita?

Startup dan perusahaan rintisan di bidang teknologi pangan kini berlomba menghadirkan produk berbasis protein alternatif. Tidak lagi hanya imajinasi futuristik, makanan ini benar-benar sudah hadir di rak-rak toko: dari snack larva, burger jamur, hingga minuman kesehatan berbasis spirulina.

Tinggal satu pertanyaan besar: apakah masyarakat siap menerima inovasi ini, atau rasa jijik akan terus menjadi penghalang?

Coba Dulu, Baru Nilai!

Revolusi pangan mungkin tidak datang dari laboratorium canggih atau restoran mewah, melainkan dari sesuatu yang selama ini kita pandang sebelah mata, atau bahkan kita injak. Serangga, jamur, dan alga menyimpan potensi besar untuk menjawab tantangan pangan dan lingkungan masa depan.

Jadi, jika suatu hari Anda melihat keripik jangkrik rasa balado di minimarket, jangan buru-buru mengernyit. Bisa jadi, itulah makanan masa depan yang sedang menunggu Anda untuk mencicipinya, dan mungkin, menikmatinya.

"Kita tidak makan dengan mata, tapi dengan pikiran. Dan pikiran bisa berubah."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun