Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Ke Mana BPKN dan YLKI dalam Kebijakan Kantong Plastik?

4 Juli 2022   19:35 Diperbarui: 4 Juli 2022   19:54 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Stop melarang penggunaan kantong plastik, sachet plastik dan PSP lainnya. Sumber: DokPri.

"Dalam isu ramah lingkungan, rakyat dan/atau konsumen selalu jadi pesakitan, disalahkan dan dirugikan, bahkan dianggap tidak peduli terhadap bumi. Isu ini menyorot plastik dan masih terus diangkat untuk dijadikan pengalihan isu atas kebijakan kantong plastik berbayar yang ingin ditutupi masalahnya oleh oknum penguasa dan pengusaha sejak 2016 sampai sekarang" H. Asrul Hoesein, Founder Yayasan Kelola Sampah Indonesia (Yaksindo) Surabaya.

Dalam UU. No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS), khususnya Pasal 15 bahwa industri produk berkemasan yang harus bertanggungjawab untuk ikut menarik kembali kemasannya (segala jenis kemasan) melalui pola Extanded Producer Responsibility (EPR) yang menjadi sampah dan bukan hanya menyorot kantong plastik, tapi semua jenis kemasan. Kantong plastik bagian terkecil dari sampah plastik yang ada. Sementara sampah plastik yang tergolong sampah anorganik merupakan sampah terkecil dari sampah organik yang dominan di Indonesia.

Kantong plastik bukan pula merupakan kemasan yang langsung menjadi sampah setelah dipergunakan atau isi produk dari kemasan itu terpakai. Tapi kantong plastik adalah wadah (tempat alat atau produk secara umum) dan bukan kemasan, berarti masih bisa dipakai berulang, dapat diguna ulang dan bahkan berfungsi sebagai wadah sampah di rumah maupun di tempat lainnya sebagai alat bantu pelapis di tempat sampah serta mudah di daur ulang, mempunyai nilai ekonomi.

Berdasar fenomena kegunaan plastik antara fungsi sebagai wadah dan fungsi sebagai kemasan itu tidak bisa digeneralisir dalam karakteeistik yang sama, baik untuk atau bisa diguna ulang (wadah) maupun untuk di daur ulang (kemasan) dalam mencegah atau mengurangi sampah.

Baca Juga: 100% Kantong Plastik Berbayar Pemicu Darurat Sampah di Indonesia

Fungsi plastik sebagai wadah produk atau barang dagangan maupun fungsi sebagai kemasan produk, dalam memenuhi standar pengelolaan sampah yang benar, keduanya bisa dikurangi atau terjadi pengurangan sampah dengan cara redesain, lagi-lagi bukan dilarang pakai pada kantong atau kemasan Plastik Sekali Pakai (PSP) untuk mengurangi sampah, tapi ex-produk (sampah) itu di kelola sesuai amanat UUPS, agar bisa berdaya guna selain fungsi utamanya tersebut sebagai wadah barang/produk.

Seharusnya produk sebagai wadah ataupun kemasan berbahan plastik bukan menjadi masalah yang perlu dibesar-besarkan bertahun-tahun oleh pemerintah pusat dan daerah. Seakan PSP itu tidak punya solusi, sehingga menjadi momok bagi semua pihak. Solusi sampah (jenis apapun) aturannya sudah sangat jelas dalam UUPS, yaitu sampahnya di kelola dan bukan dengan cara melarang penggunaannya, itu cara yang tidak manusiawi karena terjadi pembohongan publik dengan alasan ramah lingkungan.

Malah ahir-ahir ini muncul lagi protes kepada perusahaan yang memproduksi produk berkemasan sachet (terahir yang disorot adalah produk sachet PT. Unilever Indonesia), ini semua akibat isu ramah lingkungan yang di salah artikan yang berpotensi terjadi persaingan bisnis (pengalihan isu) dan bisa menimbulkan komplik horizontal. Karena seakan publik diajak berpikir kebelakang, menolak kemajuan peradaban.

Padahal produk sachet itu merupakan kreasi produsen untuk menjangkau konsumennya, di Indonesia produk sachet tidak terhindarkan karena daya beli masyarakat yang rendah, jangan samakan luar negeri yang kemasan produknya minim sachet. Penggunaan produk sachet di Indonesia umumnya dipakai oleh masyarakat kelas menengah-bawah.

Baca Juga: Negara Kalah dan Rakyat Menderita dalam Urusan Sampah

Lembaga Perlindungan Konsumen

Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK 8/1999), dua belas pasalnya mengatur Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN). Peran BPKN menurut Pasal 31 UUPK 8/1999 yaitu mengembangkan upaya perlindungan konsumen.

Sementara di Pasal 32 UUPK 8/1999 bahwa BPKN bertanggungjawab kepada presiden. Bukan malah menjauh dari masyarakat atau konsumen. Sebagaimana pengamatan dan dugaan penulis sejak kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB) diberlakukan pada tahun 2016 sampai sekarang. Sepertinya menghindari kebijakan KPB-KPTG yang awalnya ikut mengetahui atau menyetujui pelaksanaannya (2016) sampai sekarang.

Perlindungan konsumen dibutuhkan untuk menciptakan rasa aman bagi para konsumen dalam melengkapi kebutuhan hidup. Kebutuhan perlindungan konsumen juga harus bersifat tidak berat sebelah dan harus adil. Sementara kebijakan KPB-KPTG ini berpihak pada pedagang toko ritel.

Sebagai landasan penetapan hukum, asas perlindungan konsumen diatur dalam Pasal 2 UUPK 8/1999, harus selalu memperhatikan daripada asas manfaat, asas keadilan, asas keseimbangan, asas keamanan dan keselamatan ataupun asas kepastian hukumnya.

Baca Juga: EPR Dana Pengelolaan Sampah Dibayar Rakyat, Jangan Korupsi!

asrul-kpb-kptg-gif-yaksindo-2022-62c2d30c02c50e674b513a62.jpg
asrul-kpb-kptg-gif-yaksindo-2022-62c2d30c02c50e674b513a62.jpg

BPKN dan YLKI dalam KPB-KPTG 

Dalam kaitan KPB-KPTG, pihak BPKN dan termasuk Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang ikut mengetahui pelaksanaan kebijakan KPB melaui Surat Edaran (SE) yang kedua, yaitu SE Dirjen PSLB3 Kementerian LHK No. S.1230/PSLB3-PS/2016 tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar.

Seharusnya BPKN dan YLKI ikut aktif mengawal dan melindungi konsumen dengan melakukan monitoring dan evaluasi (monev) dari kebijakan KPB-KPTG agar tidak merugikan konsumen. Penulis sejak awal (2016) protes kebijakan KPB-KPTG ini karena menganggap keliru atau diduga terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) oleh Dirjen PSLB3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), berpotensi terjadi gratifikasi atas kebijakan tersebut.

BPKN dan YLKI harus lebih konsentrasi pada perlindungan atas pemenuhan hak konsumen oleh pedagang yang tidak memenuhi kewajibannya dalam transaksi jual beli barang pada aspek perlindungan (hak konsumen) yang menggunakan wadah (kantong plastik, kertas dan lainnya). Karena wadah itu wajib disiapkan oleh para pedagang secara gratis. Bukan membiarkan penjualan produk kantong plastik, yang seharusnya digratiskan (fungsi pelayanan) yang juga hal tersebut diatur dalam KUH Perdata.

Dalam kebijakan KPB-KPTG, nampak nyata oknum pejabat PSLB3 KLHK berpihak pada toko ritel anggota/non anggota Aprindo yang tetap saja memberlakukan kebijakan KPB-KPTG atau membiarkan konsumen belanja tanpa diberikan kantong atau wadah belanjaan oleh pedagang di ritel modern, demi menghindari sampah plastik. Padahal wadah pengganti kantong plastik yang dijual juga berbahan plastik, semua juga menjadi sampah.

Baca Juga: Solusi Sampah Laut Dalam Perspektif Hukum Laut Bugis Amanna Gappa

BPKN dan YLKI juga perlu mengambil sikap tegas untuk tidak membiarkan kebijakan para kepala daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati) termasuk pihak kementerian dan lembaga yang melakukan pelarangan penggunaan kantong plastik di toko ritel dan pasar, termasuk pelarangan penggunaan Plastik Sekali Pakai (PSP) lainnya, karena ini berdampak buruk pada konsumen dan produsen. Karena sama saja Gubernur atau Bupati dan Walikota menyuruh pedagang melanggar atas kewajibannya.

"Sebagaimana langkah penulis melalui Green Indonesia Foundation menolak KPB-KPTG sejak 2016, seharusnya pihak BPKN atau YLKI dengan kekuatan yang dimilikinya, ikut pula meminta PSLB3 KLHK untuk mencabut kebijakan KPB-KPTG, agar pihak toko ritel menyiapkan kembali dengan gratis wadah kantong plastik belanjaan. Atau wadah apapun jenisnya, karena ini merupakan kewajiban pedagang dan hak pembeli atau konsumen." 

Segera hentikan penjualan wadah belanjaan yang menjadi hak konsumen, bukan menyerahkan barang dagangan atau jualan pada konsumen tanpa wadah. Sebuah fenomena pembodohan atau pembohongan publik yang sangat kejam dengan alasan pengurangan sampah.

Akibat dari kebijakan KPB-KPTG, sangat merugikan konsumen atau masyarakat secara umum dan industri kantong plastik. Wajib bagi BPKN dan YLKI menyetopnya dan mempertanyakan dana KPB-KPTG yang dipungut oleh pedagang ritel sejak tahun 2016 sampai sekarang 2022 untuk dikembalikan lagi ke masyarakat sesuai mekanismenya yang diatur bersama pemda. Bukan diatur sepenuhnya oleh pemerintah pusat cq: PSLB3 KLHK.

Baca Juga: Gubernur Jakarta dan Bali Keliru Sikapi Sampah Plastik

Wadah kantong belanja yang menjadi kewajiban pedagang itu adalah menjadi Hak konsumen yang terlepas dari tanggungjawab pengelolaan sampah, harus dibedakan kebijakannya dan jangan dibarter dengan cara yang keliru, karena ada aturan tersendiri menyangkut kewajiban masyarakat dan perusahaan dalam pengelolaan sampah. Serta menyangkut produk kemasan termasuk kantong plastik itu punya alur tersendiri sebagai kewajiban produsen dan penjual serta konsumen atau masyarakat.

Kalau beban kantong plastik itu semua ditanggung oleh konsumen (baca: rakyat) melalui kebijakan KPB-KPTG, tanpa tanggung jawab produsen produk dan penjualnya (baca: pedagang), sama saja kebijakan ini merugikan konsumen dan menguntungkan pihak pedagang toko ritel, ini tidak adil alias memihak pada pedagang toko ritel.

Baca Juga: Di Ambon, Kantong Plastik Berbayar Ditetapkan Rp 5.000

SE Dirjen PSLB3 KLHK No. S.1230/PSLB3-PS/2016 atas KPB, Tanggal 17-2-2016. Sumber: KLHK
SE Dirjen PSLB3 KLHK No. S.1230/PSLB3-PS/2016 atas KPB, Tanggal 17-2-2016. Sumber: KLHK

Meluruskan KPB-KPTG

Pada ahir 2015, Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3) KLHK, mengeluarkan SE pertama oleh Dirjen PSLB3 tertanggal 15 Desember 2015, kepada seluruh Gubernur, Bupati dan Walikota atas perihal rencana kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB).

Selanjutnya, pada tanggal 17 Februari 2016, Dirjen PSLB3 KLHK menerbitkan lagi SE kedua Nomor S.1230/PSLB3-PS/2016 tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar, atas kebijakan KPB tersebut telah diberlakukan dan di launching oleh Menteri LHK tanggal 21 Februari 2016 di Bundaran HI Jakarta bersamaan HPSN 2016.

Dalam SE kedua tersebut, Dirjen PSLB3 KLHK tanpa persetujuan lagi dengan Gubernur, Bupati dan Walikota sebagaimana maksud SE pertama (2015). Tapi hanya melibatkan dalam pembahasan bersama (persetujuan) dari BPKN, YLKI dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) yang kemudian menjadi eksekutor melalui toko ritel seluruh Indonesia, anggota dan non anggotanya.

Baca Juga: Kantong Plastik Berbayar Digugat ke MA

Dalam kebijakan KPB tersebut berulang kali berubah SEnya, sampai ahirnya di tahun yang sama (2016), berubah nama dari KPB ke Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG). Pergantian nama ini sesungguhnya terbaca "akal-akalan" saja oleh oknum PSLB3 KLHK atau hanya ingin mengganti atau membuang prasa "berbayar" agar tidak terkesan bahwa kantong plastik itu dijual. Artinya KPB sama saja maknanya dengan KPTG, dari pergantian nama ini sudah teranalisa adanya dugaan permainan kotor oleh oknum PSLB3 KLHK dalam kebijakan KPB-KPTG ini yang keluar dari maksud keberadaannya.

Publik perlu ketahui bahwa, kantong plastik yang diserahkan pedagang ritel pada konsumennya itu sesungguhnya merupakan kewajiban pedagang, tidak boleh dijual. Kalaupun di jual, maksud dan peruntukannya harus sesuai dengan aturan yang ikut mengikatnya dan keputusan kebijakannya bukan dalam bentuk SE.

BPKN dan YLKI harus melindungi konsumen, bukan malah membiarkan toko ritel anggota/non anggota Aprindo melakukan penjualan kantong plastik atau wadah jenis lainnya melalui toko ritel anggotanya di seluruh Indonesia. Untuk memenuhi kewajiban toko ritel, tidak ada istilah ramah lingkungan. Karena soal sampah mempunyai kebijakan tersendiri, bukan menjual dan melarang kantong plastik.

Baca Juga: Sampah Plastik Dijadikan Tirai Kebobrokan Pengelolaan Sampah Indonesia

Jelas kebijakan KPB-KPTG tersebut sangat merugikan konsumen atau rakyat. Walau alasannya ingin merubah paradigma kelola sampah di masyarakat, tapi cara dan strateginya keliru. Karena kebijakan ini melabrak UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS).

Juga SE KPB-KPTG itu melanggar KUH Perdata khususnya Pasal 612, selain itu, surat edaran kantong plastik berbayar juga dianggap bertentangan dengan Pasal 1320 KUH Perdata.  Hal ini karena barang yang mencemari lingkungan seharusnya tidak boleh diperjualbelikan, termasuk kantong plastik.

Seharusnya pihak BPKN dan YLKI fokus dan konsentrasi pada perlindungan konsumen atas pemenuhan hak dalam transaksi jual beli menggunakan wadah yang menjadi kewajiban toko ritel. Bukan loncat mengurus sampah yang diduga ikut menyetujui kebijakan KPB-KPTG yang di jalankan oleh anggota dan non anggota Aprindo. Hal sampah sudah memiliki rule atau kebijakan tersendiri di UUPS.

Baca Juga: YLKI: Mayoritas Konsumen Masih Gunakan Kantong Plasti

Sejak lama kami mempertanyakan keberadaan dan sikap tegas BPKN dan YLKI dalam SE tersebut, seharusnya tidak membiarkan kebijakan KPB itu tanpa dasar yang kuat, harusnya BPKN dan YLKI membela konsumen dengan penuh disiplin, jangan tinggalkan konsumen. Harusnya dari awal BPKN dan YLKI menolak kebijakan KPB-KPTG, sebagaimana penulis lakukan penolakan melalui Green Indonesia Foundation Jakarta dengan tegas dan memberi solusi kepada Menteri LHK cq: Dirjen PSLB3 dengan tembusan Presiden Joko Widodo pada tahun 2016 yang lalu.

Dalam isu ramah lingkungan, rakyat dan/atau konsumen yang selalu disalahkan sekaligus dirugikan. Padahal nyata dalam UUPS Pasal 15, industri produk berkemasan yang harus tanggung jawab dan bukan hanya menyorot kantong plastik semata. Kantong plastik bagian terkecil dari sampah PSP yang ada. KLHK dan para pihak sangat prematur melarang PSP dalam konteks mengatasi sampah.

Namun satu sisi, apresiasi pada YLKI, telah melakukan penelitian tentang uji coba kebijakan kantong plastik berbayar pada periode 1 Maret-6 April 2016, secara nyata menemukan tidak efektifnya kebijakan KPB-KPTG tersebut, artinya kebijakan KPB-KPTG wajib dihentikan dan mencari jalan terbaik untuk mengembalikan duit hasil penjualan kantong plastik selama kurun waktu 2016-2022 kepada rakyat melalui program berbasis UUPS dengan kordinasi bupati/walikota dan gubernur di masing-masing daerah.

Artinya YLKI seharusnya sejak 2016, dengan tegas ikut juga meminta KLHK untuk stop kebijakan KPB-KPTG sesuai hasil penelitiannya. Juga memang tidak boleh pakai SE dalam memungut uang dari masyarakat atau konsumen secara serampangan. Perbuatan Dirjen PSLB3 KLHK atas KPB-KPTG bisa saja diduga sebagai pungutan liar (pungli), sebaiknya unsur aparat hukum masuk melakukan penyelidikan dan penyidikan atas masalah tersebut.

Kalau BPKN segan menegur PSLB3 KLHK karena satu kesatuan dalam unsur atau lembaga pemerintah, karena sepertinya mereka para pejabat kementerian dan lembaga ini tidak saling mengingatkan dan abai. Namun seharusnya YLKI sebagai institusi perlindungan konsumen dari unsur swasta atau lembaga swadaya masyarakat yang harus proaktif, ditunggu.

YLKI harus serius dan jangan diam seperti BPKN yang seakan tertidur membiarkan kebijakan KPB-KPTG menyerap duit rakyat tanpa norma yang berlaku alias kebijakan pemerintah tanpa tuan, yang diduga keras terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) oleh oknum pejabat PSLB3 KLHK yang berujung pada gratifikasi.

Surabaya, 4 Juli 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun