Mohon tunggu...
Hasrianti
Hasrianti Mohon Tunggu... Lainnya - Wanita, Indonesia

.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengunjungi Kompleks Makam Raja-Raja Tallo, Momen Refleksi Sejarah Kerajaan Gowa-Tallo

16 Februari 2023   02:10 Diperbarui: 19 Februari 2023   18:49 1948
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompleks Makam Raja-Raja Tallo. Dok. Pribadi, 2022

Dibalik megah dan indahnya makam-makam ini menyimpan kisah sejarah terkait Kerajaan Tallo yang bermula pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-6 bernama Tunitangka Lopi. Raja membagi dua Kerajaan Gowa kepada putra-putranya yang saling berebut tahta bernama Batara Gowa dan Karaeng Loe ri Sero. Batara Gowa diberikan daerah-daerah Gallarang Kerajaan Gowa yaitu, Gallarang Paccellekang, Pattalassang, Bontomanai, Tombolo, dan Mangasa, yang menjadi wilayah Kerajaan Gowa. Batara Gowa lalu dinobatkan sebagai Raja Gowa ke-7. Sedangkan kepada Karaeng Loe ri Sero diserahkan Gallarang Samata, Panampu, Moncongloe, dan Parangloe, yang menjadi wilayah Kerajaan Tallo. Karaeng Loe ri Sero selanjutnya dinobatkan sebagai Raja Tallo ke-1 (1460-1490).

Pertumbuhan Kerajaan Tallo sebagai sebuah kerajaan tunggal hanya mampu bertahan sampai di masa pemerintahan I Mangngayoang Berang Karaeng Tunipasuru (Raja Tallo ke-3, 1500-1543), dikarenakan adanya perang saudara dengan Kerajaan Gowa yang saat itu diperintah oleh Raja Gowa ke-9 bernama Tumapakrisi Kallonna. Dalam perang itu, Kerajaan Tallo mengalami kekalahan dan berakhir dengan sebuah perjanjian perdamaian yang intinya berisi "siapa saja yang ingin memperselisihkan Gowa dan Tallo akan dilaknat oleh Dewata". Maka, terbentuklah kerajaan kembar Gowa-Tallo. Pasca terbentuknya federasi Gowa-Tallo tersebut, Raja-raja Tallo harus menjadi Tuma'bicara Butta (semacam juru bicara) atau Perdana Menteri Kerajaan Gowa, dengan Gowa sebagai Somba (raja tertinggi). Dalam hakikatnya, Gowa dan Tallo adalah satu kesatuan, satu rakyat dan pemerintahan, sehingga memunculkan istilah "Rua Karaeng na Se're Ata" yang berarti "dua raja tetapi rakyat satu".

Kerajaan Gowa-Tallo di bawah pemerintahan Raja Gowa ke-9 tumbuh berkembang menjadi satu kerajaan besar. Kemudian, di masa pemerintahan Raja Gowa ke-10 bernama I Manriwagau bersama Perdana Menterinya bernama I Mappakatana (Raja Tallo ke-4, 1543-1576), Kerajaan Gowa-Tallo berhasil memperluas wilayah kerajaan melalui penaklukan maupun diplomasi dengan kerajaan-kerajaan lain di wilayah Sulawesi Selatan.

Di masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 bernama I Mangarangi Daeng Manrabia dan Perdana Menterinya bernama I Malingkaan Karaeng Katangka (Raja Tallo ke-7, 1593-1623), agama Islam mulai masuk ke dalam tubuh kerajaan. Pada hari Jumat tertanggal 22 November 1605 Karaeng Katangka menjadi orang pertama di Kerajaan Gowa-Tallo yang menerima agama Islam dan digelari Sultan Abdullah Awalul Islam (Sultan Mudaffar), kemudian disusul oleh Raja Gowa ke-14 bernama Sultan Alauddin, karena upaya Datuk ri Bandang. Tanggal 9 November 1607 Islam diterima sebagai agama resmi kerajaan, ditandai dengan pelaksanaan sholat Jumat pertama di  Masjid Tua Katangka, Kaluku Bodoa, Tallo.

Setelah Raja Gowa ke-14 mangkat ia digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Malikussaid sebagai Raja Gowa ke-15 dan Perdana Menterinya bernama I Mangadacing Karaeng Pattingalloang (Raja Tallo ke-9, 1641-1654). Peranan Karaeng Pattingalloang sebagai seorang cendekiawan di masa itu sangat besar terutama dalam penulisan buku-buku ketatanegaraan, hukum, dan astronomi, termasuk di dalam perubahan sistem pemerintahan Kerajaan Gowa-Tallo. Wilayah pemerintahan Kerajaan Gowa-Tallo semakin luas dan mampu menghimpun kerajaan-kerajaan lainnya dalam ikatan Kerajaan Gowa. Raja Gowa ke-15 wafat tahun 1655.

Sultan Hasanuddin menggantikan ayahnya Raja Gowa ke-15 menjadi Raja Gowa ke-16, dengan didampingi oleh Karaeng Pattingalloang sebagai Perdana Menteri. Namun, hanya beberapa tahun menjadi Perdana Menterinya, Karaeng Pattingalloang wafat dan digantikan oleh putranya yang bernama Karaeng Karunrung (Raja Tallo ke-10, 1654-1673). Pemerintahan Sultan Hasanuddin membawa Kerajaan Gowa-Tallo ke puncak kejayaan, yaitu menjadi pusat perdagangan terbesar di Indonesia bagian timur. Karaeng Karunrung memiliki peranan besar dalam pembangunan benteng-benteng pertahanan di daerah sekitar Somba Opu. Keduanya dengan berani menentang usaha bangsa Belanda untuk menguasai Kerajaan Gowa-Tallo, yang berujung pada banyaknya peperangan meskipun berakhir dengan kekalahan, dan Sultan Hasanuddin terpaksa menyetujui Perjanjian Bongaya pada Juni 1669 dan menyerahkan tahtanya kepada putranya bernama I Mappasomba Sultan Amir Hamzah.

Raja-raja Gowa setelah Sultan Hasanuddin tidak lagi memiliki kemerdekaan dalam menentukan arah langkah politik kenegaraan, pun juga tentara dan armada kapal. Perjanjian Bongaya telah menghancurkan hegemoni kekuatan terbesar di bagian timur nusantara bersama dengan semua benteng pertahanan Kerajaan Gowa-Tallo termasuk benteng Tallo.

Referensi:

Ramli, M. 1990. Buku Petunjuk Singkat Kompleks Makam Raja-Raja Tallo. Ujung Pandang: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulselra. 

Rosmawati. 2011. Tipe Nisan Aceh dan Demak-Troloyo pada Kompleks Makam Sultan Hasanuddin, Tallo dan Katangka. Jurnal Walennae, 13(2), 209--220. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun