Minggu terakhir ini, jalanan Indonesia kembali dipenuhi massa dengan tema “Indonesia (C)emas”. Aksi ini muncul bukan tanpa alasan—ada keresahan yang mengendap di masyarakat: mulai dari penolakan tunjangan DPR, revisi RKUHAP, sampai tuntutan penghentian intimidasi aparat. Semua itu menyatu dalam satu suara: keadilan sosial yang lebih nyata.
Kalau kita lihat lebih dalam, demonstrasi ini bukan hanya soal teriakan di jalan atau spanduk yang terbentang. Ada dimensi pembangunan sosial yang bisa kita pahami lewat tiga kacamata: struktur, kultur, dan proses sosial itu sendiri.
1. Struktur.
Giddens (1967) menyebut struktur sosial sebagai tatanan norma, nilai, dan fenomena kultural. Nah, demonstrasi kali ini jelas mempertanyakan apakah norma dan nilai yang ada masih berpihak pada rakyat. Melalui aksi kolektif, mahasiswa, buruh, dan masyarakat mencoba mengubah arah struktur sosial agar lebih adil.
2. Kultur.
Unjuk rasa sudah lama menjadi bagian dari kultur demokrasi kita. Di satu sisi, ini menandakan partisipasi publik masih hidup. Tapi di sisi lain, kita juga bisa melihat ketegangan dalam budaya politik: dialog antara pemerintah dan rakyat belum berjalan selaras. Kultur di sini bukan sekadar kebiasaan turun ke jalan, tapi juga tentang bagaimana nilai dan tradisi demokrasi dijalankan.
3. Proses Pembangunan Sosial.
Supardi mendefinisikan pembangunan sosial sebagai proses untuk meningkatkan kesejahteraan melalui perubahan sosial maupun ekonomi. Jika dipahami demikian, demonstrasi sebenarnya adalah bagian dari proses itu. Masyarakat dan aparat sama-sama berada dalam dinamika mencari titik temu—tujuan akhirnya sama: menghadirkan masyarakat yang lebih baik.
Kesimpulan.
Bagi kami, demonstrasi “Indonesia (C)emas” bukan sekadar protes, tapi refleksi nyata bahwa rakyat masih peduli. Mereka mau bersuara, meskipun jalannya keras dan penuh risiko. Struktur sosial kita sedang diuji, kultur demokrasi kita sedang bergerak, dan pembangunan sosial kita sedang dipertaruhkan.
Mungkin inilah tanda bahwa Indonesia masih punya harapan. Karena bangsa yang masih mau bertanya, menggugat, dan menuntut keadilan adalah bangsa yang tidak tinggal diam.