Pernahkah kita bertanya dengan sungguh-sungguh kepada diri sendiri: "Jika besok adalah hari terakhirmu, apa yang akan kamu lakukan hari ini?"Â
Pertanyaan ini terdengar sederhana, bahkan sering kita dengar dalam kutipan motivasi. Namun di balik kesederhanaannya, tersimpan kekuatan reflektif yang dalam.Â
Ia menampar kesadaran kita bahwa hidup ini tidak dijamin akan terus berjalan seperti yang kita rencanakan. Kita terlalu sering berasumsi bahwa masih ada hari esok untuk meminta maaf, untuk mencintai, untuk bermimpi, dan untuk melakukan hal-hal yang penting.Â
Akibatnya, banyak dari kita terjebak dalam rutinitas yang hambar, menjalani hari demi hari seperti robot, tanpa gairah, tanpa arah, dan tanpa makna.
Kita hidup dalam kecepatan yang tinggi, tetapi tidak pernah benar-benar hadir dalam detik yang sedang berjalan. Kita lupa bahwa setiap hari yang diberikan adalah anugerah. Kita menunda untuk memulai kembali hubungan yang renggang, menunda untuk mengejar panggilan hidup, dan menunda untuk berdoa atau merenung.Â
Padahal, waktu tidak pernah menunggu. Ia berlalu tanpa peduli apakah kita mengisinya dengan hal baik atau tidak.
 Kesadaran bahwa hidup bisa berakhir kapan saja seharusnya membuat kita lebih bijak dalam memilih prioritas. Jika esok adalah akhir, apakah kamu akan tetap menghabiskan harimu bersedih karena komentar orang lain? Apakah kamu akan tetap sibuk membandingkan dirimu dengan pencapaian orang lain di media sosial?
Jika kita tahu bahwa waktu kita tinggal sedikit, mungkin kita akan lebih berani mencintai, lebih rendah hati untuk meminta maaf, dan lebih lembut dalam berkata-kata. Kita akan lebih sering menatap wajah orang tua dengan syukur, memeluk teman dengan tulus, dan menghargai momen-momen kecil yang sering kita abaikan.
 Kita akan lebih serius memaknai setiap pertemuan, setiap detik, dan bahkan setiap nafas yang kita tarik. Kita akan berusaha meninggalkan jejak, bukan hanya sekadar jejak digital, tetapi warisan nilai dan kebaikan yang bisa dikenang orang lain.
Hidup seakan-akan mati besok bukan berarti kita hidup dalam ketakutan, tetapi dalam kesadaran penuh. Justru dengan menyadari bahwa hidup ini sementara, kita akan lebih menghargai setiap momen.Â
Kita tidak akan mudah marah, tidak akan membuang waktu untuk dendam, dan tidak akan hidup dalam penyesalan berkepanjangan. Kita akan memilih untuk hadir, utuh, dan sadar dalam menjalani hari ini. Kita akan berani memulai hal baru, berkata jujur tentang perasaan, dan mengejar tujuan hidup dengan sepenuh hati.
Hidup bukan soal berapa lama kita hidup, tetapi bagaimana kita mengisinya. Seseorang yang hidup 30 tahun dengan makna bisa lebih dikenang daripada mereka yang hidup 80 tahun tapi tidak meninggalkan nilai apa-apa.
 Kita tidak pernah tahu kapan akhir dari cerita kita di dunia ini. Tapi kita bisa memilih bagaimana menuliskan bab hari ini.Â
Kita bisa memilih untuk hidup dengan kebaikan, dengan kasih, dan dengan pengampunan. Kita bisa memilih untuk menjadi versi terbaik dari diri kita bukan nanti, tetapi sekarang.
Maka, jika hari ini adalah hari terakhirmu, apa yang akan kamu lakukan? Apakah kamu sudah berkata "aku mencintaimu" kepada orang-orang terdekat? Apakah kamu sudah memaafkan orang yang pernah menyakitimu?
 Apakah kamu sudah melakukan sesuatu yang berguna untuk sesama? Apakah kamu sudah berdamai dengan dirimu sendiri dan dengan Tuhan?
Mari kita hidup seakan-akan esok tidak dijanjikan. Mari kita mengisi hari ini dengan hal-hal yang layak dikenang: cinta yang tulus, kata-kata yang membangun, dan tindakan yang membawa terang.Â
Karena saat kita menyadari bahwa waktu adalah karunia, kita akan berhenti menyia-nyiakannya. Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan penyesalan. Terlalu berharga untuk hanya dijalani tanpa kesadaran.Â
Maka, hiduplah hari ini seakan-akan esok kamu akan menghadap Sang Pencipta.
 Dan ketika saat itu benar-benar tiba, kamu bisa tersenyum dan berkata: "Aku sudah hidup dengan sungguh-sungguh."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI