Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Yang Serupa dan Tak Sama, Menulis dan Menggambar

20 September 2018   06:18 Diperbarui: 20 September 2018   16:51 1941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Agar supaya boleh temenan sama kang motulz, aing gambar ginian. gimans?

Menulis itu menggambar, tapi menggambar belum tentu menulis. Menurutku gitu. Benar atau tidak, paling tidak pengalaman yang membawaku berpikir seperti itu.

Aku sendiri masih ingat ketika menyadari aku tidak bisa menggambar. Saat lomba 17-an, saat kelas 3 atau 4, aku lupa tepatnya. Aku diberi kertas kosong oleh kakak-kakak panitia, seukuran A4 mungkin. Temanku yang 2 atau 3 tahun usinya di bawahku juga ikut menggambar. 

Sekadar pembelaan: dia ini yang tiap tahunnya juara mewarnai sejak masih TK, orangtuanya ada guru kertakes di sekolah. Seingatku sudah sejak kecil ia dikenalakan dengan kanvas dan cat air. Bagian atas rumahnya lebih mirip bengkel menggambar.

Ada tema untuk lomba menggambar. Standar, memang, tentang 17-an. Kamu tahu apa yang aku gambar? Dua gunung dengan jalan raya yang membelah kedua gunung tersebut. Di sebelah kanannya aku gambar sehamparan lahan padi. Dan pada bagian kirinya beberapa rumah dengan jarak yang cukup dekat antara satu dengan lainnya. Lalu agar supaya nyambung dengan tema yang diberikan, aku hiasi dengan bendera merah-putih: di puncak gunung, di tiap sudut lahan padi, dan sekeliling rumah.

Nasionalismeku saat itu memang sebatas bendera merah-putih. Semakin banyak pasang bendera, semakin nasionalis. Wajar. Aku gitu logh~

Gambarku lebih dulu selesai daripada temanku. Aku lihat gambar miliknya: sebuah gedung pencakar langit yang di luar gedungnya ada anak-anak bermain sepakbola.

Dan aku tidak akan lupa bagaimana ia mewarnai gambarnya: gedungnya diberi warna abu-abu dengan campuran warna putih; langitnya antara biru dengan oranye, lengkap dengan bayangan gedung dan cahaya yang mewarnai bagian tengah gedung. Yang kemudian menjadi pertanyaanku: di mana 17-an yang diminta sebagai tema?

"Ini," katanya, sambil menunjuk tiang bendera kecil di gawang yang tengah dimainkan anak-anak di luar gedung tersebut. Oh, jawabku.

Singkat cerita, temanku menang dan aku tidak. Namun di lomba lain aku yang menang, sedangkan dia tidak.

Oia, kalau ada yang mau lihat karya-karya temanku ini, 3 (tiga) tahun lalu aku ajak kolaborasi e-book "MeWarkop". Aku dan beberapa teman lain menuliskan cerita dan dia yang membuat ilustrasi ceritanya. Silakan longok di sini: Melankoli Warung Kopi.

***

Antara lima atau enam tahun lalu, mungkin, aku bertemu dengan seorang perempuan di kereta. Kami lama saling-tatap, menerka: sepertinya kita kenal dan pernah bertemu.

Penumpang semakin ramai. Kami saling (men)dekat akhirnya. Harry, katanya lebih dulu menyapa. Hooh, jawabku sambil manggut. Ternyata dia adalah temanku yang dulu pernah pindah sekolah sewaktu SD. Kami lama saling bercerita dan bertanya kabar. Temanku ini ketika kuliah mengambil jurusan psikologi. Aku terkagum. Sebab dulu aku memang ingin masuk jurusan itu sampai akhirnya dilarang oleh gomba. Katanya aku tidak cocok masuk jurusan seperti itu. Buku ajarnya banyak dan tebal-tebal.

"lu kagak bakal kuat, ambil yang lain aja, pala lu bisa ngebul tiap hari," seingatku gomba mengingatkan begitu.

Namun, di ujung perbincanganku dengan temanku itu, ia menanyakan hal yang tidak aku tahu arah-tujuannya: kamu gak bisa bikin garis lurus ya?

Aku jawab iya dan tanya alasannya kenapa pada temanku itu menanyakan hal demikian. Maksudnya bagaimana ia bisa tahu? Aku sendiri tidak pernah cerita sebelumnya. Bahkan sampai guru kesenian semasa sekolah kejuruan bilang kalau aku tidak semestinya tidak masuk smk yang banyak menggambarnya. Guruku melihat tugas-tugasku tidak ada yang bagus ketika disuruh membuat baris-kolom dengan luas yang ukuran terbesar hingga setengah sentimeter.

Selama menunggu jawaban temanku itu, aku perhatikan wajahnya. Duh, cantiknya.

"Eh, kenapa ngeliatin?"

"Nungguin jawaban yang tadi, abis masa nanya kagak bisa garis lurus," elakku yang ternyata ketahuan terlalu lama memerhatikan wajahnya. Sebenarnya malu.

"Yang aku tahu," katanya, "selama kita ngobrol ini, kamu punya kepribadian yang beda sama orang-orang pada umumnya."

Ia mulai bercerita dari apa yang ia tahu dan pahami tentang bidang psikologis. Aku hanya manggut dan mendengarkan. Lebih kepada tidak paham dan masih kagum sama kecantikannya.

Aku orangnya memang begitu. Susah fokus sama yang cantik. Bawaannya pengin bilang sayang aja gitu.

***

Dengan penuh kesadaran dan kerelaan, pada akhirnya aku terima: aku tidak bisa menggambar. Anehnya aku tersadar karena masa-masa galau diputusin pacar. Aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan buku. Menyendiri sampai luka hati terobati.

Dari sanalah aku belajar menulis sampai sekarang ini. Karena tidak bisa menggambar, aku coba menulis dengan memvisualkan semua. Peristiwa, latar tempat, hingga perasaan. Semua aku coba gambarkan dengan kata-kata. Dari cerita pendek, catatan harian biasa, dan puisi pada akhirnya. Susah, memang. Dan memang tidak ada yang mudah. Terus dan terus belajar menggambarkan yang aku ingin ceritakan lewat kata-kata.

Lalu pada satu pagi maz pinot bilang lewat cuitannya: everyone can draw. Period. Ask your inner child, ignore those adult's pride & fear.

Uuuggghhh. Waktu rasa-rasanya berputar ke belakang. Aku yang tidak menggambar --wabilkhusus garis lurus-- ini seperti dingatkan kembali tentang harapan semasa kecil. Kang Denny membalas cuitan itu. Katanya, saya kalau mendorong anak untuk menggambar selalu pakai jurus logis gambar itu hanya terdiri dari garis lurus dan garis lengkung.

"Siapapun yang bisa membuat dua garis itu, pasti bisa menggambar. Bagus atau tidak itu soal latihan," tulisnya.

Aku curhat saja soal masalahku sedari dulu. Bahkan sampai bertemu dengan tetua komunitas sketcher bogor, aku lupa namanya, tapi aku ingat dulu ada seorang yang ingin belajar menggambar mendatangi komunitas tersebut yang sedang roadshow di beberapa lokasi di bogor. Orang itu, katanya, sepertiku ini: bukan hanya tidak bisa menggambar, tapi tidak bisa membuat garis lurus.

Itu ada penyakit, katanya. Yha. Pada titik itu aku ingat teman petempuanku itu. Namun, yang terpenting adalah ia dibimbing langsung oleh komunitas sketecher itu. Diajari dan bisa. Sedangkan aku tidak. Saat itu aku sedih tentu saja.

Sialnya ada yang terlupa. Masih ada maz pinot pada convo tersebut. Curhatku ke kang denny masuk juga ke linimasa maz pinot. Lalu aku dinasihati(?) Langsung oleh maz pinot. Ada 3 (tiga) poin pesannya padaku:

(1) basic menggambar itu ada dicoretan, apa pun bentuknya. Lalu kombinasi dengan berbagai coretan. Kembali seperti anak balita, TK yg tidak mengenal mesti ini mesti itu. Bebaskan. (2) dan tiap orang unik. Ada yang bisa lurus, ada yang miring, ada yang gradakan kayak gue. Apa pun garis yg ditarik, yang penting dengan hati senang, bercerita, berimajinasi. Di sini (Amerika, maksudnya) ada komunitas sketcher juga, pesertanya dari balita hingga eyang-eyang. Sangat variatif, sangat unik.

Terakhir, (3) yang balita dan tk gambar sesuai imajinasi dia, yang tua belajar lagi tentang spontanitas dari mereka. Sementara gue, udah kadung kaku karena pengalaman bertahun-tahun, belajar lagi untuk kembali luwes dan berani salah.

Karena waktu tidak bisa kuputar ke belakang dan menyesal seperti sekarang, aku ingin bisa memulai laiknya maz pinot: belajar lagi untuk kembali luwes dan berani salah.

Kantuk mulai terasa. Kerja malam membuat pagi tidak ada cerah-cerahnya. Mata hampir terpejam dan kang denny mengomentari gambarku:

"Itu garis-garis jendela, itungannya garis lurus. Bahkan garis sisi gedung itu itungannya garis lurus. Bukan lengkung. Jadi ga masalah.

Menulis itu juga menggambar (huruf) dengan garis lurus dan lengkung. Sepanjang bisa membuat huruf b pasti bisa menggambar." katanya.

Kembali aku sedih. Apa yang aku gambarkan tidak tersampaikan ternyata. Aku balas begini: itu bukan jendela, kang. Kotak-kotak kecil itu (mestinya) bangku. Bangku apa yha namanya... Bangku metromini gitu. :(((

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun