Antara lima atau enam tahun lalu, mungkin, aku bertemu dengan seorang perempuan di kereta. Kami lama saling-tatap, menerka: sepertinya kita kenal dan pernah bertemu.
Penumpang semakin ramai. Kami saling (men)dekat akhirnya. Harry, katanya lebih dulu menyapa. Hooh, jawabku sambil manggut. Ternyata dia adalah temanku yang dulu pernah pindah sekolah sewaktu SD. Kami lama saling bercerita dan bertanya kabar. Temanku ini ketika kuliah mengambil jurusan psikologi. Aku terkagum. Sebab dulu aku memang ingin masuk jurusan itu sampai akhirnya dilarang oleh gomba. Katanya aku tidak cocok masuk jurusan seperti itu. Buku ajarnya banyak dan tebal-tebal.
"lu kagak bakal kuat, ambil yang lain aja, pala lu bisa ngebul tiap hari," seingatku gomba mengingatkan begitu.
Namun, di ujung perbincanganku dengan temanku itu, ia menanyakan hal yang tidak aku tahu arah-tujuannya: kamu gak bisa bikin garis lurus ya?
Aku jawab iya dan tanya alasannya kenapa pada temanku itu menanyakan hal demikian. Maksudnya bagaimana ia bisa tahu? Aku sendiri tidak pernah cerita sebelumnya. Bahkan sampai guru kesenian semasa sekolah kejuruan bilang kalau aku tidak semestinya tidak masuk smk yang banyak menggambarnya. Guruku melihat tugas-tugasku tidak ada yang bagus ketika disuruh membuat baris-kolom dengan luas yang ukuran terbesar hingga setengah sentimeter.
Selama menunggu jawaban temanku itu, aku perhatikan wajahnya. Duh, cantiknya.
"Eh, kenapa ngeliatin?"
"Nungguin jawaban yang tadi, abis masa nanya kagak bisa garis lurus," elakku yang ternyata ketahuan terlalu lama memerhatikan wajahnya. Sebenarnya malu.
"Yang aku tahu," katanya, "selama kita ngobrol ini, kamu punya kepribadian yang beda sama orang-orang pada umumnya."
Ia mulai bercerita dari apa yang ia tahu dan pahami tentang bidang psikologis. Aku hanya manggut dan mendengarkan. Lebih kepada tidak paham dan masih kagum sama kecantikannya.
Aku orangnya memang begitu. Susah fokus sama yang cantik. Bawaannya pengin bilang sayang aja gitu.