Mohon tunggu...
Harry Dethan
Harry Dethan Mohon Tunggu... Health Promoter

Master of Public Health | Praktisi Perilaku dan Promosi Kesehatan | Menulis dan membuat konten kesehatan, lingkungan, dan sastra | Email: harrydethan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Wabah Campak di Sumenep: Ketika Hoaks, Ketakutan, dan Minim Edukasi Mengorbankan Generasi

24 Agustus 2025   20:12 Diperbarui: 24 Agustus 2025   20:12 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: mediaindonesia.gumlet.io

Dalam kurun Januari hingga Agustus 2025, campak kembali menunjukkan wajah mematikannya. Sebanyak 12 anak meninggal dan 1.944 kasus tercatat di Kabupaten Sumenep. Angka ini melonjak tajam dibanding tahun sebelumnya yang hanya 319 kasus, hingga pemerintah menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB).

Lonjakan ini bukan sekadar angka statistik. Ia adalah cermin rapuhnya sistem perlindungan kesehatan anak ketika imunisasi terhambat oleh ketakutan, hoaks, dan minimnya edukasi.

Campak yang Diremehkan, Nyawa yang Hilang

Di ruang perawatan Puskesmas Guluk-Guluk, Ahmad Mufidan (7 tahun) dan Moh Syaiful Bahri (3 tahun) terbaring lemah. Keduanya menderita demam tinggi, batuk, dan ruam merah khas campak. Fakta yang menyedihkan: mereka belum pernah divaksin.

Kasus seperti ini banyak ditemukan di Sumenep. Bagi sebagian orang tua, vaksin dianggap menakutkan, bahkan ada yang percaya pada isu "vaksin haram". Ditambah lagi, pandemi Covid-19 membuat ribuan anak kehilangan kesempatan imunisasi. Ketika virus campak kembali merebak, mereka menjadi kelompok paling rentan.

Padahal, campak bukanlah penyakit ringan. Virus ini bisa berujung pada komplikasi serius: pneumonia, radang otak, hingga kematian. Namun anggapan keliru bahwa campak hanyalah penyakit biasa yang akan sembuh dengan sendirinya, masih mengakar di sebagian masyarakat.

Mengapa Kasus Meledak?

Wabah campak di Sumenep adalah hasil dari kombinasi faktor budaya, sosial, agama, dan informasi palsu.

Pertama, hoaks tentang vaksin haram menjadi pemicu utama. Di media sosial, narasi menyesatkan ini menyebar lebih cepat daripada edukasi medis. Bagi banyak keluarga, suara di dunia maya lebih dipercaya dibanding penjelasan tenaga kesehatan.

Kedua, tertundanya imunisasi rutin selama pandemi Covid-19 membuat ribuan anak tidak mendapatkan vaksinasi tepat waktu. Herd immunity melemah, dan begitu ada celah, virus campak langsung merebak luas.

Ketiga, minimnya edukasi yang kontekstual membuat pesan kesehatan gagal menembus masyarakat. Banyak kampanye kesehatan masih kaku, tidak menggunakan bahasa atau simbol budaya yang dekat dengan warga. Alhasil, masyarakat lebih mudah mempercayai mitos daripada fakta.

Keempat, anggapan bahwa campak adalah penyakit biasa memperburuk keadaan. Ketika orang tua merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan, motivasi untuk vaksinasi pun rendah.

Gabungan faktor inilah yang menjadikan campak sebagai "bom waktu" yang akhirnya meledak di Sumenep.

Upaya Pemerintah dan Masyarakat

Menjawab situasi ini, Dinas Kesehatan Sumenep menggelar imunisasi massal Outbreak Response Immunization (ORI) untuk 73.000 anak, yang berlangsung hingga 13 September 2025.

Pemerintah daerah juga menggandeng tokoh agama, tokoh masyarakat, serta organisasi besar seperti NU, Muhammadiyah, dan MUI untuk meluruskan hoaks dan menguatkan kepercayaan masyarakat. Kementerian Kesehatan turut menerbitkan surat edaran kewaspadaan dini, sebab wabah serupa kini terjadi di 37 kabupaten/kota di Indonesia.

Melawan Hoaks dengan Strategi Cerdas

Namun, upaya teknis seperti imunisasi massal tidak cukup. Jika akar masalahnya adalah ketidakpercayaan dan informasi keliru, maka jawabannya harus berupa promosi kesehatan yang kontekstual dan kreatif.

Promosi kesehatan berbasis budaya dan sosial terbukti lebih efektif. Pesan tentang imunisasi bisa dikemas lewat cerita rakyat, simbol adat, atau seni tradisional, sehingga terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat.

Melibatkan tokoh agama dan adat menjadi kunci, karena suara mereka lebih dipercaya daripada spanduk atau poster medis. Pendekatan interaktif seperti diskusi kelompok, permainan edukasi, atau simulasi lapangan juga lebih berdampak dibanding ceramah satu arah.

Selain itu, media lokal dan media sosial harus dimanfaatkan secara bijak. Dari radio komunitas hingga grup WhatsApp desa, pesan kesehatan perlu hadir dengan gaya bahasa yang sederhana, relevan, dan konsisten.

Yang tak kalah penting adalah dukungan komunitas: kader posyandu, kelompok ibu, hingga karang taruna bisa menjadi agen perubahan yang menyebarkan pesan vaksinasi dari mulut ke mulut.

Wabah campak di Sumenep adalah peringatan keras. Bukan hanya virus yang berbahaya, tetapi juga hoaks, ketakutan, dan minim edukasi yang melemahkan perlindungan anak-anak kita.

Imunisasi bukan sekadar prosedur medis, melainkan hak anak dan tanggung jawab bersama. Dengan pendekatan yang peka budaya, dukungan tokoh masyarakat, serta komunikasi kreatif, kita bisa mematahkan rantai hoaks dan mengembalikan kepercayaan pada vaksin.

Karena di balik setiap suntikan vaksin, ada harapan yang lebih besar: generasi masa depan yang sehat, terlindungi, dan bebas dari ancaman penyakit yang seharusnya bisa dicegah.

Sumber: BBC News Indonesia

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun