Ketiga, minimnya edukasi yang kontekstual membuat pesan kesehatan gagal menembus masyarakat. Banyak kampanye kesehatan masih kaku, tidak menggunakan bahasa atau simbol budaya yang dekat dengan warga. Alhasil, masyarakat lebih mudah mempercayai mitos daripada fakta.
Keempat, anggapan bahwa campak adalah penyakit biasa memperburuk keadaan. Ketika orang tua merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan, motivasi untuk vaksinasi pun rendah.
Gabungan faktor inilah yang menjadikan campak sebagai "bom waktu" yang akhirnya meledak di Sumenep.
Upaya Pemerintah dan Masyarakat
Menjawab situasi ini, Dinas Kesehatan Sumenep menggelar imunisasi massal Outbreak Response Immunization (ORI) untuk 73.000 anak, yang berlangsung hingga 13 September 2025.
Pemerintah daerah juga menggandeng tokoh agama, tokoh masyarakat, serta organisasi besar seperti NU, Muhammadiyah, dan MUI untuk meluruskan hoaks dan menguatkan kepercayaan masyarakat. Kementerian Kesehatan turut menerbitkan surat edaran kewaspadaan dini, sebab wabah serupa kini terjadi di 37 kabupaten/kota di Indonesia.
Melawan Hoaks dengan Strategi Cerdas
Namun, upaya teknis seperti imunisasi massal tidak cukup. Jika akar masalahnya adalah ketidakpercayaan dan informasi keliru, maka jawabannya harus berupa promosi kesehatan yang kontekstual dan kreatif.
Promosi kesehatan berbasis budaya dan sosial terbukti lebih efektif. Pesan tentang imunisasi bisa dikemas lewat cerita rakyat, simbol adat, atau seni tradisional, sehingga terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Melibatkan tokoh agama dan adat menjadi kunci, karena suara mereka lebih dipercaya daripada spanduk atau poster medis. Pendekatan interaktif seperti diskusi kelompok, permainan edukasi, atau simulasi lapangan juga lebih berdampak dibanding ceramah satu arah.
Selain itu, media lokal dan media sosial harus dimanfaatkan secara bijak. Dari radio komunitas hingga grup WhatsApp desa, pesan kesehatan perlu hadir dengan gaya bahasa yang sederhana, relevan, dan konsisten.