Mohon tunggu...
Harry Wijaya
Harry Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Asal Depok, Jawa Barat.

Deep thinker. Saya suka menulis esai, cerpen, puisi, dan novel. Bacaan kesukaan saya sejarah, filsafat, juga novel.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sundel Bolong

3 Januari 2020   03:41 Diperbarui: 3 Januari 2020   03:44 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Isma, kamu keluar duluan! Aku jaga kamu dari belakang..." Kata Iwan yang kemudian membuka pintu kamar yang tadi dikunci.

  Dasar pengecut! Bilang saja takut untuk keluar duluan. Aku pun memberanikan diri keluar kamar dengan pelan sambil berharap-harap cemas. Berharap tak melihat apa yang tak ingin ku lihat. Setelah ku pastikan aman, aku meminta Iwan membuka pintu depan agar aku bisa segera pulang. Namun ternyata, Iwan sendiri masih berada di dalam kamar.

"Iwan! Ayo keluar!" Kataku yang kembali berjalan ke depan pintu kamar.

"Isma ... badanku kaku!" Kata Iwan yang berdiri mematung di dalam kamar

  Saat Iwan tak bisa menggerakkan badannya itulah, aku melihat sudah Saras berdiri di belakang Iwan. Penampilannya berbeda, menyerupai kuntilanak dengan wajah pucat dan menyeramkan. Di sekitar matanya terlihat hitam lebam seperti terkena pukulan. Rambutnya panjang, berantakan dan tak terawat. Aku pun berdiri ketakutan melihatnya, sekilas jantungku berhenti saking kagetnya.

Aku tak bisa teriak atau mengatakan apa-apa sambil terus menatap sosok Saras itu.

"Minumannya habisin ya mbak." Kata Saras kepadaku dengan suara yang menyeramkan. Kemudian pintu tertutup sendiri. Iwan masih ada di dalam. Tak lama kemudian terdengar suara jeritan Iwan dari dalam kamar. Oh tuhan, apa yang terjadi? Aku jatuh terduduk dilantai depan kamar Iwan.

  Pintu terbuka kembali dengan sendirinya, aku masih duduk di depan pintu kamar dengan badan yang sudah lemas karena ketakutan. Setelah pintu dibuka, Iwan sudah tergeletak kaku tak bernyawa di lantai. Mata Iwan masih melotot, terlihat bekas cekikan di lehernya yang membiru.

  Di dekat Iwan, ada Saras yang kembali berubah wujudnya. Kini Saras terlihat memakai baju kebaya sambil menari tarian ronggeng. Dengan gerakan lembut nan gemulai Saras menari serta memainkan selendangnya di tangan. Ia terlihat benar-benar layaknya seorang penari ronggeng yang sedang menari-nari dengan indah, aku menatapnya beberapa saat. Sampai akhirnya ia memutar badan, dan aku menemukan sebuah lubang besar di punggungnya! Dari lubang itu aku bisa melihat organ-organ tubuh dan juga isi perutnya. Darah segar juga masih mengalir dari lubang itu yang seketika menebarkan bau amis sekaligus busuk, aku yang sudah lemas pun tak tahan sampai akhirnya pingsan di tempat.

Cerpen karya Harry Wijaya

Depok, 8 Desember 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun