"Buku adalah jendela dunia." Ungkapan ini begitu sering kita dengar sejak bangku sekolah. Namun, siapa sebenarnya yang menjaga agar jendela itu tetap terbuka? Jawabannya: pustakawan. Ironisnya, di balik peran vital mereka dalam dunia pendidikan dan literasi, pustakawan justru masih diperlakukan sebagai profesi kelas dua---bergaji rendah, jarang diperhatikan, bahkan sering kali luput dari pembicaraan kebijakan publik.
Realitas yang Mengkhawatirkan
Berdasarkan survei daring yang dilakukan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas pada 20--29 Agustus 2025, terungkap bahwa sebagian besar pustakawan masih bergaji rendah. Survei terhadap 616 responden pustakawan ini menunjukkan bahwa kondisi paling parah dialami pustakawan sekolah. Mereka yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam membangun budaya literasi anak-anak bangsa justru kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
Tidak berhenti di soal gaji, pustakawan juga mengeluhkan ketiadaan jenjang karier yang jelas. Alih-alih diberi ruang berkembang, profesi ini seakan dibiarkan berjalan di tempat. Bagaimana mungkin kesejahteraan meningkat jika tangga karier tidak tersedia?
Pustakawan: Penjaga Sunyi Pengetahuan
Mari kita tengok realitas di lapangan. Pustakawan bukan hanya "penjaga rak buku." Mereka adalah fasilitator literasi, kurator pengetahuan, sekaligus pemandu informasi di tengah banjir data digital. Di sekolah, pustakawan membantu siswa menemukan bacaan yang sesuai. Di perguruan tinggi, mereka mendampingi mahasiswa dalam riset. Di perpustakaan umum, pustakawan menjadi sahabat masyarakat yang haus akan bacaan murah dan berkualitas.
Namun, seberapa banyak kita benar-benar menghargai mereka? Bandingkan dengan profesi lain di sektor pendidikan. Guru, meski masih menghadapi banyak persoalan, memiliki jalur karier yang lebih terstruktur. Sementara pustakawan, sering kali terjebak dalam status kontrak atau honorer yang tak kunjung berubah.
Akar Masalah: Pandangan yang Menyempitkan
Ada persoalan kultural yang lebih dalam: profesi pustakawan masih dipandang sebelah mata. Dalam banyak kasus, pustakawan dianggap hanya "tukang jaga buku" tanpa kompetensi khusus. Padahal, mereka dituntut menguasai manajemen informasi, teknologi digital, hingga keterampilan literasi media. Ketika pemerintah berbicara tentang peningkatan kualitas pendidikan, pustakawan jarang masuk daftar prioritas.
Tidak heran bila banyak pustakawan merasa terpinggirkan. Mereka mengabdi di ruang sunyi perpustakaan, namun tidak pernah benar-benar didengar dalam forum-forum kebijakan pendidikan.
Dampak terhadap Masa Depan Literasi
Gaji rendah dan ketiadaan jenjang karier tidak hanya merugikan pustakawan sebagai individu, tetapi juga berdampak langsung pada masa depan literasi bangsa. Bagaimana mungkin kita berharap anak-anak mencintai buku jika pustakawannya sendiri tidak diberi penghargaan yang layak? Bagaimana bisa layanan perpustakaan berkembang jika para pengelolanya hidup dalam keterbatasan?
Negara yang ingin maju tidak cukup hanya membangun gedung perpustakaan megah. Lebih penting dari itu adalah memastikan pustakawan yang bekerja di dalamnya sejahtera, profesional, dan dihargai.
Belajar dari Negara Lain
Jika menengok ke negara-negara maju, posisi pustakawan jauh lebih strategis. Di Kanada dan beberapa negara Eropa, pustakawan diposisikan sejajar dengan tenaga pendidik lain. Gaji mereka tidak kalah kompetitif, bahkan ada program beasiswa dan pelatihan berkelanjutan untuk memastikan keterampilan mereka selalu relevan dengan perkembangan zaman.
Sementara di Indonesia, pustakawan sering kali dianggap "pekerjaan sambilan." Bahkan tidak jarang, posisi ini diisi oleh guru atau pegawai lain yang ditugaskan tanpa latar belakang ilmu perpustakaan. Akibatnya, profesi pustakawan kehilangan marwahnya sebagai profesi yang benar-benar spesialis.
Harapan yang Tersisa
Apakah kondisi ini akan dibiarkan berlarut-larut? Jawabannya tentu tidak boleh. Ada beberapa langkah yang bisa menjadi jalan keluar:
1. Kebijakan Upah Layak
Pemerintah perlu menetapkan standar gaji minimum khusus pustakawan, terutama di sekolah. Jika guru sudah memiliki tunjangan profesi, mengapa pustakawan tidak?
2. Jenjang Karier yang Jelas
Profesi pustakawan harus memiliki jalur kepangkatan seperti guru dan dosen. Dengan begitu, ada motivasi untuk terus meningkatkan kompetensi.
3. Pengakuan Profesional
Masyarakat perlu mengubah pandangan. Pustakawan bukan sekadar penjaga buku, melainkan bagian integral dari ekosistem pendidikan dan literasi nasional.
4. Pelatihan dan Teknologi
Era digital menuntut pustakawan melek teknologi. Investasi pada pelatihan dan infrastruktur digital perpustakaan adalah kunci agar profesi ini tidak tertinggal.
Refleksi Penutup
Ada ironi yang begitu terasa: bangsa yang ingin mencetak generasi cerdas justru melupakan mereka yang setiap hari bekerja menjaga kecerdasan itu. Pustakawan adalah profesi sunyi yang sering tak terlihat, tetapi tanpanya, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa akan pincang.
Mungkin inilah saatnya kita bertanya dengan serius: apakah kita benar-benar menghargai pengetahuan, atau hanya menjadikannya slogan kosong? Sebab, cara kita memperlakukan pustakawan adalah cermin dari seberapa besar komitmen kita terhadap masa depan literasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI