"Pustakawan di Tanah Air umumnya bergaji rendah."
Kalimat ini terasa sederhana, tetapi menyimpan ironi yang dalam. Profesi yang seharusnya berada di garda depan literasi bangsa ternyata masih berjuang di garis ketidakpastian. Bukan hanya soal gaji, tetapi juga soal penghargaan terhadap profesi.
Hasil survei daring Tim Jurnalisme Data Harian Kompas pada 20--29 Agustus 2025 yang melibatkan 616 responden pustakawan membuka fakta mengejutkan. Sebanyak 41,7 persen pustakawan mengaku bergaji di bawah Rp2 juta per bulan. Sementara itu, 12,2 persen lainnya hanya menerima Rp2 juta--Rp3 juta. Dengan kata lain, lebih dari separuh pustakawan (53,9 persen) memperoleh gaji di bawah Rp3 juta per bulan---angka yang bahkan masih berada di bawah rata-rata nasional Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025.
Pustakawan: Penjaga Ilmu, Bukan Sekadar Penjaga Rak
Bayangkan sejenak: tanpa pustakawan, bagaimana kita bisa menelusuri buku-buku langka, mengakses informasi terpercaya, atau sekadar menemukan novel favorit di rak yang tepat? Pustakawan adalah kurator pengetahuan, pemandu literasi, dan penjaga warisan intelektual. Namun ironisnya, peran strategis ini masih sering dianggap remeh---sekadar "penjaga buku."
Bukankah ini sebuah paradoks? Kita selalu menyerukan pentingnya meningkatkan budaya literasi, tetapi mengabaikan orang-orang yang menjaga ekosistem literasi itu sendiri. Seakan-akan pustakawan hanya pelengkap, bukan pemain utama.
Mengapa Profesi Ini Kurang Dihargai?
Ada dua persoalan utama. Pertama, jalur karier pustakawan yang tidak jelas. Banyak dari mereka bekerja tanpa jenjang yang pasti, sehingga sulit untuk berharap pada kenaikan gaji yang signifikan. Kedua, persepsi masyarakat terhadap pustakawan yang masih minim. Selama profesi ini dipandang "biasa saja", sulit rasanya menuntut apresiasi lebih.
Padahal, di era digital, peran pustakawan semakin kompleks. Mereka tidak hanya mengatur katalog, tetapi juga harus paham teknologi informasi, manajemen data, hingga literasi digital. Bukankah itu tuntutan yang tidak ringan?
Saatnya Mengubah Cara Pandang
Jika gaji guru dan tenaga kesehatan menjadi isu penting dalam pembangunan manusia, mengapa pustakawan tidak? Tidakkah kita sadar bahwa keberlanjutan literasi bangsa ada di tangan mereka? Tanpa pustakawan, akses informasi bisa menjadi kacau, perpustakaan bisa kehilangan arah, dan generasi muda kehilangan pintu masuk menuju pengetahuan.
Apakah kita akan terus membiarkan mereka hidup di bawah bayang-bayang upah minimum? Atau sudah saatnya menempatkan pustakawan sebagai profesi strategis yang layak dihargai setara dengan peran pentingnya?
Refleksi untuk Kita Semua
Mungkin inilah pertanyaan yang perlu kita renungkan: jika bangsa ini benar-benar ingin maju, sudahkah kita menghargai para penjaga pengetahuan? Atau jangan-jangan kita hanya sibuk membanggakan gedung perpustakaan megah, tetapi lupa memperhatikan kesejahteraan orang-orang yang menjaganya?
Pustakawan bukan sekadar profesi, melainkan panggilan untuk menjaga peradaban. Dan peradaban tidak akan tumbuh jika para penjaganya terus diremehkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI